Hukum Berpuasa Sepanjang Tahun

Puasa satu tahun penuh secara berurutan dalam pandangan Islam disebut sebagai puasa dahr atau shaum abad. Dalam puasa ini terdapat dua keadaan. Keadaan pertama adalah seseorang berpuasa satu tahun penuh bahkan di hari-hari yang diharamkan puasa, yaitu dua hari raya dan 3 hari tasyri’. Sesuai dengan nash yang telah ditetapkan, puasa ini hukumnya adalah haram. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhuma bahwasannya nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 لا صام من صام الأبد

Artinya: “Tidak (dianggap) puasa bagi siapa yang berpuasa selamanya.” (HR. Bukhari no. 1977 dan Muslim 1159)

Keadaan kedua adalah ketika seseorang melaksanakan puasa setiap hari secara berurutan selama satu tahun penuh kecuali pada hari-hari yang diharamkan, yaitu dua hari raya dan tiga hari pada hari-hari tasyri’. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, mereka dibagi menjadi dua kelompok.

Pertama, kelompok yang melarang untuk berpuasa dahr secara mutlak. Baik mereka berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah, Ibnu Qudamah, dan Imam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi madzhabnya, yaitu madzhab Hambali. (Ikhtiyar Lajnah Daimah lil Ifta’ juz. 23/221) maupun yang berpendapat bahwa hukumnya adalah haram sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm.

Imam Ibnu Hamam Al-Hanafi berkata,

يكره صوم الدهر لأنه يضعفه أو يصير طبعا له ، ومبنى العبادة على مخالفة العادة

“Puasa selamanya hukumnya adalah makruh karena melemahkan badan atau menjadikannya  bukan sebagai ibadah lagi, melainkan sebagai kebiasaan baginya. Sedangkan ibadah dibangun atas dasar menyelisihi kebiasaan.” (Fathul Qadir 2/350)

Imam Ibnu Qudamah juga berkata,

 الذي يقوى عندي أن صوم الدهر مكروه وإن لم يصم هذه الأيام – يعني العيد والتشريق -, فإن صامها قد فعل محرما , وإنما كره صوم الدهر لما فيه من المشقة والضعف , وشبه التبتل المنهي عنه

“Adapun pendapat yang kuat menurutku adalah bahwa puasa dahr hukumnya adalah makruh jika seseorang tidak melaksanakan puasa pada hari raya dan hari tasyri’. Namun apabila seseorang juga melaksanakan puasa dahr setahun penuh, termasuk puasa pada hari raya dan hari tasyri’, maka hukumnya adalah haram. Puasa dahr dimakruhkan lantaran ia memberatkan dan membuat orang yang melakukannya menjadi lemah. Ia menyerupai orang yang sengaja membujang hanya untuk beribadah, dan itu dilarang.” (Al-Mugni 3/53)

Sedangkan Imam Ibnu Hazm yang mengharamkan secara mutlak, beliau mengatakan,

لا يحل صوم الدهر أصلا

“Pada dasarnya, tidak dibenarkan seseorang untuk melaksanakan puasa dahr.” (Al-Muhalla 4/41)

Dalil Yang Mereka Gunakan

Mereka yang berpendapat akan haram atau makruhnya puasa dahr bersandar dengan beberapa dalil. Diantara adalah sebagai berikut.

  1. Sabda Nabi Muhammad

 لا صام من صام الأبد

Artinya: “Tidak (dianggap) puasa bagi siapa yang berpuasa selamanya.” (HR. Bukhari no. 1977 dan Muslim 1159)

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik

جَاءَ ثَلاثُ رَهطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَسأَلُونَ عَن عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخبِرُوا كَأَنَّهُم تَقَالُّوهَا ، فَقَالًوا : وأَينَ نَحنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ؟ قَد غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ، قَالَ أَحَدُهُم : أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي الَّليلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهرَ وَلَا أُفطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَنتُمُ الَّذِينَ قلُتُم كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخشَاكُم للَّهِ وَأَتقَاكُم لَه ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَن رَغِبَ عَن سُنَّتِي فَلَيسَ مِنِّي

“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), mereka menganggap ibadah mereka itu sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya menimpali, “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya lagi berkata, “Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.” Kemudian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Bukhari no. 5063 dan Muslim 1401)

Mereka berdalil dengan sabda nabi (Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa) … Maka, barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.) bahwa puasa dahr adalah bentuk penyelisihan terhadap sunnah nabi Muhammad.

  1. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa dia bertanya kepada nabi Muhammad

كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ ؟ قَالَ : لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ

“Bagaimana pendapatmu wahai Rasulullah tentang orang yang berpuasa selamanya? Rasulullah menjawab, “Tidak (dianggap) puasa bagi orang yang yang berpuasa selamanya.” (HR. Muslim 1162)

  1. Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasannya dia berkata

 قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ ! أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ ؟ فَقُلْتُ : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَالَ : فَلَا تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا إِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Rasulullah telah berkata kepadaku, “Wahai Abdullah, telah diberitakan bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan qiyamullail semalan suntuk?” aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi isterimu juga punya hak atas dirimu.” (HR Bukhari 1975 dan Muslim 1159)

Bantahan

Telah menjawab dalam masalah ini orang-orang yang beranggapan bahwa puasa dahr hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Mereka membantah dalil-dalil diatas dengan beberapa bantahan. Di antaranya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi, beliau berdalih:

  1. Jawaban Aisyah Radhiyallahu anha dan para pengikutnya dari kalangan ulama’. Mereka mengartikan bahwa puasa dahr yang dilarang adalah puasa yang termasuk di dalamnya hari-hari yang dilarang, yaitu hari raya dan hari tasyri’. Sudah menjadi ijma’ para ulama bahwa puasa seperti ini adalah dilarang. Sedangkan puasa yang setahun penuh kecuali puasa-puasa di hari yang sudah dilarang, maka hukumnya adalah mustahab.
  2. Adapaun hadits “Tidak ada puasa bagi orang yang berpuasa selamanya.” mengandung makna bahwa itu tidak memberatkan. Adapaun orang yang berpuasa selamanya, kemudian hal itu memberatkannya, maka puasa itu dilarang. Sementara orang yang tidak merasa terbebani, karena sudah terbiasa berpuasa, maka puasa dahr boleh-boleh saja dan ia mendapat pahala dari puasa tersebut.
  3. Barang siapa yang dengan puasa dahr, kemudian keadaanya menjadi bahaya, maka ia dikenakan oleh hadits Abdullah bin Amru di atas. (Lihat Al-Majmu’ 6/443, Fathul Barri 4/222-224, Al-Mausuah Al-Fiqhiyah 18/16)

Kedua, disunnahkan untuk melaksanakan puasa dahr. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Adapun Syafi’iyah dan dan Malikiyah mereka berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah. Adapun Hanabilah, mereka mengatakan bahwa hukumnya hanya sebatas boleh. Namun hukum ini terikat dengan keadaan bahwa puasa yang mereka kerjakan ini tidak akan menggagu kewajiban dan hak-hak mereka, atau menjadikan mereka menjadi lemah dan sakit. Jika hal ini terjadi, maka hukum puasa ini berubah dari sunnah menjadi makruh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, dan hukumnya tetap dibolehkan menurut Malikiyah.

Ditulis dalam kitab milik madzhab Malikiyah, Mawahibul Jalil,

( وصوم دهر ) يعني أنه جائز ، وهل هو الأفضل أو الأفضل خلافه ، قال مالك سرد الصوم أفضل . قال ابن رشد : معنى كلام مالك أن سرد الصوم أفضل إذا لم يضعف بسببه عن شيء من أعمال البر

Artinya: “Adapaun puasa dahr, maka hukumnya adalah boleh untuk dikerjakan. Apakah hukumnya lebih utama? Atau lebih utama untuk menyelisihinya? Berkata Imam Malik, “Melaksanakan puasa dahr lebih utama.” Berkata Ibnu Rasyd mengomentari perkataannta Imam Malik, “Maksud dari pernyataanya Imam Malik adalah bahwa puasa dahr lebih utama jika puasa tersebut tidak melemahkannya dari perbuatan baik yang lain.” (Mawahib Al-Jalil 2/433)

Imam An-Nawawi juga berkata,

وصوم الدهر – غير العيد والتشريق – مكروه لمن خاف به ضررا أو فوت حق، ومستحب لغيره

“Adapun puasa dahr -selain hari raya dan tasyri’- hukumnya adalah makruh jika ditakutkan bahwa ia akan mendatangkan bahaya atau menghilangkan hak-haknya. Jika tidak ditakutkan apapun, maka dianjurkan untuk melaksanakannya.” (Tuhfatul Muhtaj 3/459)

Dalil Yang Mereka Gunakan

  1. Keumuman dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang menyatakan keutamaan ibadah dan amal baik. Allah berfirman,

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَ

Artinya: “Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (Al-An’am 160)

  1. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Barangsiapa melakukan puasa satu hari di jalan Allah (dalam melakukan ketaatan pada Allah), maka Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh perjalanan 70 tahun.” (HR. Bukhari no. 2840)

Dua dalil ini dibantah dengan pernyataan bahwa keduanya masih bersifat umum. Dan telah datang hadits yang mengkhususkannya, yaitu hadits yang melarang untuk melaksanakan puasa dahr.

  1. Diriwayatkan oleh Abu Musa, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Siapa yang melakukan puasa sepanjang masa, neraka jahanam akan disempitkan untuknya seperti ini.” Kemudian beliau menggenggamkan tangannya.” (HR. Ahmad 19713).

Namun hadits ini terindikasi dhaif dan mauquf kepada shahabat.

  1. Diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Hamzah bin Amr bertanya kepada rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku terbiasa puasa secara terus-menerus, apakah aku tetap puasa ketika aku sedang bersafar?” Rasulullah menjawab, “Puasalah jika engkau menghendakinya, dan berbukalah (tidak puasa) jika engkau menghendakinya.” (HR Muslim no. 1121)

Dari hadits tersebut diambil kesimpulan bahwa nabi Muhammad tidak mengingkari orang yang berpuasa selamanya.

  1. Diriwayatkan dari Urwah, bahwasannya Aisyah Radhiyallahu anha berkata, “Aku berpuasa dahr baik ketika aku safar maupun ketika aku menetap.” (HR Baihaqi dengan sanad yang Shahih)

Bantahan

Ibnu Hazm membantah dalil diatas bahwa para shahabat Nabi yang melaksanakan puasa berturut-turut bukanlah melaksankan puasa dhar setahun penuh. Bahwasannya mereka melaksanakan puasa yang memang disunnahkan sampai beberapa bulan berturut-turut (seperti puasa Sya’ban disambung dengan Ramadhan -pen). Sedangkan terdapat riwayat yang jelas seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab yang melarang untuk berpuasa satu tahun penuh.

Kesimpulan

Adapaun pendapat yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa puasa dahr hukumnya adalah makruh dan dilarang untuk melaksanakannya. Hal itu lantaran kuatnya dalil yang mereka gunakan untuk menyimpulkan bahwa puasa dhar adalah makruh.  Sedangkan dalil yang digunakan oleh kelompok kedua tidak kuat dan masih mengandung banyak makna, dan juga dalil tersebut telah banyak dibantah oleh para ulama.

Wallahu A’lam