Ruang lingkup Fikih Muwazanah (Pertimbangan)
- Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
- Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan, madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
- Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, ntara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain.
Pertimbangan Antara Berbagai Kemaslahatan Satu Dengan Lainnya
Pada kategori pertama (kemaslahatan), kita dapat menemukan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syari’ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli usul fiqh. Mereka membagi kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyyat, dan tahsinat.
Dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali dengannya; dan hajjiyyat ialah kehidupan memungkinkan tanpa dia, tetapi kehidupan itu mengalami kesulitan dan kesusahan; dan tahsinat ialah sesuatu yang dipergunakan untuk menghias dan mempercantik kehidupan, dan seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).
Fiqh pertimbangan mengharuskan kita:
* Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap tahsinaf;
* Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.
Pada sisi yang lain, dharuriyyat sendiri terbagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian. Para ulama menyebutkan bahwa dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta kekayaan. Sebagian ulama menambahkan dharuriyyat yang keenam, yaitu kehormatan.
Agama merupakan bagian pertama dan terpenting daripada dharuriyyat. Ia harus didahulukan atas berbagai macam dharuriyyat yang lain, sampai kepada jiwa manusia. Begitu pula, jiwa harus diutamakan atas dharuriyyat yang lain di bawahnya.
Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:
- Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan.
- Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
- Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.
- Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.
- Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan yang sementara dan insidental.
- Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas epetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
- Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi shallahu ‘alahi wa sallam yang mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental, serta kepentingan masa depan atas kepentingan yang bersifat formalitas dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia. Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga bahwa penerimaan itu tidak adil bagi kaum Muslim, sehingga mereka harus menerima bagian yang kurang . Pada saat itu baginda Nabi shallahu ‘alahi wa sallam yang mulia menerima permintaan orang kafir untuk menghapuskan “basmalah” yang tertulis pada lembar perjanjian, dan sebagai gantinya ditulislah “bismika allahumma.” Selain itu, beliau juga merelakan untuk menghapuskan sifat kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi shallahu ‘alahi wa sallam yang mulia “Muhammad Rasulullah” dan cukup hanya dengan menuliskan nama beliau saja “Muhammad bin Abdullah”. Semua itu dilakukan oleh Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam untuk mendapatkan ketenangan dan perdamaian di balik itu, sehingga memungkinkannya untuk menyiarkan dakwah Islam, dan mengajak raja-raja di dunia ini untuk memeluk Islam. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam itu disebut di dalam al-Qur’an al-Karim dengan istilah kemenangan yang nyata (fath mubin). Contoh-contoh serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.
Pertimbangan Antara Kerusakan dan Madharat yang Satu Dengan Lainnya
Pada bagian kedua –kerusakan dan Madharat– kita dapat menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan, sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan.
Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat adalah berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat, atau tahsinat.
Kerusakan yang dapat membahayakan harta benda tidak sama tingkatannya dengan kerusakan yang dapat membunuh jiwa; dan juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama dan aqidah.
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain.
“Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.”
“Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan.”
“Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar.”
“Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan”
“Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang lebih besar.”
“Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum.”
Pertimbangan Antara Maslahat dan Kerusakan Apabila Kedua Hal yang Bertentangan Ini Bertemu
Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan kerusakannya, ada bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan betul. Kita harus mengambil keputusan terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hukum yang menyeluruh.
Kalau misalnya kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dalam suatu perkara dibandingkan dengan manfaat yang terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini mesti dicegah, karena kerusakan lebih banyak, kita terpaksa mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya. Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan oleh al-Qur’an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi ketika dia memberikan jawaban terhadap orang-orang yang bertanya mengenai kedua hal itu:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar danpada manfaatnya …” (al-Baqarah: 219)
Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Di antara kaidah penting dalam hal ini ialah:
“Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat.”
Kaidah ini kemudian disempurnakan dengan kaidah lain yang dianggap penting:
“Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar.”
“Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan.”
“Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya.”
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam masalah Siyasah Syari’ah (politik syari’ah), karena ia merupakan landasan bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.
Sumber: Fiqih Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Yusuf Qardhawi, Rabbani Press.