Salah satu prioritas yang mesti kita perhatikan adalah memprioritaskan hak orang umum daripada hak pribadi (individu). Seseorang tidaklah dapat hidup sendirian; karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk bermasyarakat; seperti yang dikatakan oleh para ilmuwan Muslim terdahulu. Manusia adalah makhluk sosial sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan modern. Seseorang akan sedikit nilainya kalau dia sendirian, dan akan banyak nilainya kalau dia bersama-sama orang lain. Bahkan dia dianggap tiada ketika dia sendirian, dan baru dianggap ada ketika dia dengan kumpulannya. Atas dasar itu, kewajiban yang berkaitan dengan hak orang banyak atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan apabila terjadi pertentangan antara kewajiban berperang –yang hukumnya fardhu kifayah– dengan berbakti kepada orangtua, maka berbakti kepada orangtua harus didahulukan, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shahih yang telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, apabila perang berubah hukumnya menjadi fardhu ain, yaitu apabila orang-orang kafir menyerang negeri kaum Muslimin, maka perang diwajibkan atas semua penduduk negara itu untuk mempertahankan negara mereka. Jika ada bapak atau ibu –karena alasan-alasan emosional– menolak keikutsertaan anaknya dalam perang mempertahankan negara, maka sesungguhnya penolakan itu tidak dibenarkan oleh agama.
Memang benar, sesungguhnya berbakti dan mentaati kedua orangtua merupakan fardhu ain, dan perang dalam keadaan seperti itu juga fardhu ain; namun kefardhuan perang di sini adalah untuk mempertahankan umat secara menyeluruh, termasuk kedua orangtua itu. Kalau tidak, maka negara akan jatuh ke tangan musuh, atau seluruh penduduknya terbunuh, termasuk kedua orang itu. Oleh karena itu, perang pada kondisi seperti ini adalah untuk kemaslahatan orang banyak.
Perang dalam hal ini merupakan hak Allah, dan berbakti adalah hak kedua orangtua, dan hak Allah harus didahulukan atas hak makhluk-Nya.
Uraian tersebut merupakan penegasan terhadap apa yang dikatakan sebelumnya. Kebanyakan, kalimat ‘hak Allah’ dipergunakan sebagai ungkapan yang mewakili hak orang banyak atau umat, karena sesungguhnya Allah SWT tidak memperoleh keuntungan di balik semua hukum tersebut. Hukum-hukum itu pada awal dan akhirnya adalah untuk kepentingan hamba-hamba-Nya.
Sebagai penerapan terhadap kaidah ini, kita harus mendahulukan hak umat atas hak individu. Imam al-Ghazali dan lainnya membolehkan penembakan terhadap kaum Muslimin apabila mereka dijadikan sebagai benteng musuh (yaitu apabila mereka dipergunakan sebagai benteng musuh yang diletakkan pada barisan terdepan) dengan syarat-syarat tertentu; padahal tidak diperselisihkan lagi bahwa menjaga pertumpahan darah kaum Muslimin adalah wajib, dan kita tidak boleh menumpahkan darah mereka dengan cara yang tidak benar. Lalu bagaimana al-Ghazali membolehkan penembakan terhadap orang-orang Muslim yang tidak bersalah itu ketika mereka berada di barisan terdepan tentara musuh?
Sesungguhnya Imam Ghazali dan ulama yang sepakat dengan pendapatnya membolehkan hal itu adalah untuk melindungi orang banyak, menjaga umat dari kehancuran, karena sesungguhnya individu dapat diganti, sedangkan umat tidak akan ada gantinya.
Para fuqaha mengatakan, “Kalau musuh kita mempergunakan kaum Muslimin sebagai benteng pertahanan mereka, ketika mereka dijadikan sebagai tawanan; kemudian mereka ditempatkan pada barisan tentara yang terdepan, untuk melindungi tentara mereka sendiri; dan kalau kita tidak menghancurkan pasukan tentara musuh itu akan membahayakan umat Islam, maka kaum Muslimin yang dijadikan sebagai tameng itu boleh kita bunuh. Pasukan tentara kaum Muslimin boleh membunuh mereka, walaupun darah mereka harus dilindungi karena mereka tidak berdosa apa-apa. Sesungguhnya keadaan darurat untuk memberikan perlindungan kepada umat secara menyeluruh sangat memerlukan pengorbanan orang-orang yang dijadikan sebagai benteng itu. Kalau tidak, maka dikhawatirkan Islam akan tercabut dari akarnya dan dikuasai oleh orang-orang kafir. Dan pahala orang-orang itu kita serahkan kepada Allah.” (Lihat Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 294-295)
Oleh karena itu, Imam Ghazali menjawab penolakan orang-orang yang tidak setuju dengan praktek tersebut: “Ini merupakan penumpahan darah orang yang harus dilindungi dan diharamkan darahnya. praktek seperti itu bertentangan dengan hukum agama, karena sesungguhnya bila praktek serupa itu tidak dijalankan, maka tidak akan terjadi pertumpahan darah yang tidak dibenarkan. Namun kita mengetahui, bahwasanya agama ini sangat memperhatikan hak orang banyak daripada hak orang sedikit.Sesungguhnya menjaga kaum Muslimin agar tidak jatuh ke tangah orang-orang kafir adalah lebih penting daripada melaksanakan salah satu tujuan syari’ah agama ini, yaitu melindungi darah seorang Islam. Hal ini lebih penting daripada mencapai tujuan syari’ah itu.”(Lihat Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 303)
Pendapat di atas –sebagaimana yang kami lihat– didasarkan atas fiqh pertimbangan.
Contoh yang serupa dengan ini ialah apabila terjadi kondisi darurat perang yang mewajibkan pembayaran pajak atas orang-orang yang mampu, dan mewajibkan orang-orang kaya untuk membiayai peperangan. Sesungguhnya syari’ah agama ini menekankan dan mewajibkannya, sebagaimana disebutkan dalam pelbagai nas yang ditulis oleh para ahli fiqh. Pada kondisi biasa (keadaan damai) mereka tidak dibebani kewajiban untuk membayar apa-apa selain zakat. Imam Ghazali mengemukakan argumentasi bagi pendapatnya sebagai berikut: “Karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa apabila ada dua bahaya yang kita hadapi, maka syari’ah agama ini menganjurkan kepada kita untuk menolak bahaya yang lebih besar. Dan sesungguhnya bayaran yang dikenakan kepada setiap orang yang kaya (yang dibebani tambahan pembayaran pajak) adalah lebih kecil bahayanya atas diri mereka dan harta bendanya daripada bahaya yang timbul apabila negara Islam dikuasai oleh penguasa dari luar Islam yang nantinya akan menguasai aturan yang berlaku dinegara itu. Dengan adanya tambahan pembayaran pajak itu kita dapat memotong segala macam kejahatan yang diperkirakan akan timbul.” (Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, 1: 303-304; as-Syathibi, al-I’tisham, 2: 121-122, cet. Syirkah al-I’lanat as-Syarqiyyah.)
Kasus yang sama dengan ini ialah pembebasan tawanan kaum Muslimin dari tangan orang-orang kafir, walaupun untuk ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Imam Malik berkata, “Kaum Muslimin diwajibkan untuk menebus tawanan yang ada di tangan musuh, walaupun untuk melakukannya diperlukan seluruh kekayaan mereka.” (Abu Bakar Ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, 59-60)
Mengapa? Karena kehormatan para tawanan itu terdiri atas kaum Muslimin, dan kehormatan kaum Muslimin berada di atas kehormatan yang lebih khusus, yaitu harta kekayaan yang dimiliki oleh para individu.
Sumber: FIQH PRIORITAS, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Yusuf Qardhawi, Rabbani Press