Prioritas Terhadap Amal Perbuatan Yang Lama Manfaatnya Dan Lebih Langgeng Pengaruhnya

Kalau manfaat suatu pekerjaan lebih luas jangkauannya, maka hal itu lebih dikehendaki dan diutamakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Begitu pula halnya dengan pekerjaan yang lebih lama dan kekal pengaruhnya. Setiap kali suatu perbuatan itu lebih lama manfaatnya maka pekerjaan itu lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Oleh karena itu, shadaqah yang lama manfaatnya lebih diutamakan.

Misalnya memberikan domba yang mengandung, unta yang mengandung, dan lain-lain, di mana orang yang menerima shadaqah itu dan juga keluarganya dapat memanfaatkan susunya selama bertahun-tahun.

Dalam peribahasa Cina kita kenal,  “Memberi jala untuk mencari ikan kepada orang miskin adalah lebih baik daripada memberikan ikan kepadanya.”

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Shadaqah, yang paling utama ialah memberikan tenda, atau memberikan seorang pembantu, atau seekor unta untuk perjuangan di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”  (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Umamah; dan juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari ‘Adiy bin Hatim, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (1109)).

“Empat puluh sifat, yang paling tinggi tingkatannya ialah memberikan kambing. Tidak ada seorang hambapun yang melalaikannya, untuk mengharapkan pahala yang dijanjikan kepadanya kecuali dia akan dimasukkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam surga.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dan Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr, 791)

Di situlah letak kelebihan shadaqah jariyah, yang manfaatnya terus dirasakan walaupun orang yang memberikannya sudah tiada. Seperti harta wakaf, yang telah dikenal oleh kaum Muslimin sejak zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam; di mana ketika itu peradaban Islam memiliki keunggulan karena kekayaannya yang melimpah dan sangat banyak, sehingga Islam menguasai seluruh bidang kebajikan dalam kehidupan manusia, yang memberikan perkhidmatan kepada seluruh umat manusia, bahkan terhadap binatang.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Apabila seorang manusia meninggal dunia maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, anak shaleh yang berdo’a kepadanya.”  (Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai dari Abu Hurairah r.a.).

Ada hadits lain yang menjelaskan contoh shadaqah jariyah ini sebanyak tujuh macam. Yaitu dalam sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, “Sesunggguhnya amalan dan perbuatan baik yang akan menyusul seorang mu’min setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak shaleh yang dia tinggalkan, mushaf al-Qur’an yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia bangun, sungai yang dia alirkan, dan shadaqah yang dia keluarkan ketika dia sehat dan masih hidup. Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.” (al-Hafizh al-Mundiri berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Baihaqi dengan isnad hasan; dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah di dalam Shahih-nya seperti itu. (Lihat buku kami, al-Muntaqa min at-Targhib wat-Tarhib, hadits no. 75)

Misalnya umur manusia pendek dan terbatas, maka dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya, ia dapat memperpanjang umurnya dengan melakukan amalan yang mengalir pahalanya (jariyah). Dia terus dianggap hidup walaupun dia telah meninggal dunia, dia tetap ada dengan amal shaleh yang pernah dilakukannya, walaupun jasadnya telah tiada.

Sumber:  Fiqih Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,  Dr. Yusuf Al Qardhawy Robbani Press, Jakarta