Shalat merupakan ibadah yang berisi seruan sematamata kepada Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mengerjakan shalat di kuburan-kuburan dimaksudkan agar perbuatan tersebut tidak mendorong munculnya perbuatan menyekutukan Allah. Namun ternyata di tempat tersebut malahan terjadi banyak kesyirikan, baik dalam bentuk memohon kepada penghuni kuburan untuk mengabulkan hajatnya, melepaskan diri dari kesulitan atau meminta bantuan dari mereka (orang-orang yang mati) agar mereka memohonkan hal tersebut dari Allah.
Seseorang dilarang bersumpah kepada Allah dengan menyebut nama nabi tertentu, malaikat atau lainnya sekalipun tidak dilakukan disamping kuburan, karena adanya larangan umum bersumpah dengan menyebut nama makhluk. Larangan ini merupakan ijma’ para imam, hanya saja ada beda pendapat apakah larangan ini hukumnya haram atau bertujuan untuk menjaga keagungan Allah.
Dari dua pendapat ini, yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa larangan ini hukumnya haram, kecuali bersumpah dengan menyebut nama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam semata. Dalam hal bersumpah dengan menyebut nama Nabi semata, di kalangan madzhab Ahmad bin Hambal dan beberapa orang muridnya, di antaranya Ibnu ‘Aqil ada dua pendapat. Ada juga perbedaan pendapat dalam hal bersumpah dengan menyebut segenap nama nabi.
Namun pendapat yang diikuti oleh kebanyakan para imam, seperti Malik, Syafi‘i, Abu Hanifah, dan lain-lain menyatakan bahwa tidak dibenarkan bersumpah dengan menyebut nama makhluk dan tidak boleh bersumpah dalam bentuk janji dengan menyebut nama makhluk. Pendapat semacam ini adalah benar.
Para ulama telah menerangkan dengan jelas larangan atas perbuatan tersebut. Dan mereka sepakat bahwa hanya kepada Allahlah kita boleh memohon dan menggunakan nama-Nya dalam bersumpah. Ada pun seseorang yang menggunakan kata-kata “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) demi keagungan singgasana-Mu”, maka sumpah seperti ini hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Akan tetapi, lebih dari seorang ulama yang membolehkan sumpah seperti itu karena adanya riwayat yang menyebutkan adanya perbuatan tersebut.
Namun ada riwayat bahwa Abu Hanifah membenci perbuatan seperti itu. Abu Hanifah berkata: “Tidak patut seseorang memohon kepada Allah kecuali dengan menyebut nama-Nya semata. Aku tidak suka kepada orang yang memohon kepada Allah dengan mengucapkakn kalimat: “Demi keagungan singgasana-Mu dan demi penciptaan-Mu.” Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf.
Abu Yusuf berkata: “Demi keagungan singgasana-Mu maksudnya adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, kalimat tersebut tidaklah aku benci, tetapi yang aku benci adalah kalimat sumpah: ‘Demi hak fulan atau demi hak para nabi-Mu dan rasul-Mu, atau demi Baitullah dan Masy‘aril Haram.’ Pemakaian kalimat-kalimat seperti itu tidak dibenarkan.”
Para ulama berkata: “Memohon kepada Allah dengan kalimat: ‘Demi makhluk-Nya’ tidak dibenarkan, sebab segenap makhluk tidak mempunyai hak kepada Khaliqnya.”
Akan tetapi, kalimat: “Demi keagungan singgasana-Nya” ada perbedaan pendapat, apakah berarti memohon dengan menyebut nama makhluk-Nya atau nama Khaliq sendiri. Oleh karena adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dan Abu Yusuf mendapati adanya riwayat penggunaan kalimat: “Aku memohon kepada-Mu ya Allah, demi keagungan singgasana-Mu, rahmat yang penuh dari Kitab-Mu, nama-Mu yang agung, kehormatan-Mu yang tertinggi, dan kalimat-Mu yang sempurna”,
Maka Abu Yusuf membolehkan pemakaian kalimat tersebut.
Sumber : Mukhtasar Al-Iqtidha’ Ash-Shiratal Mustaqim oleh Imam Ibnu Taimiyah