Tafwidh dalam masalah nama dan sifat Allah, memiliki dua makna;
Makna Pertama:
Makna yang benar, yaitu menetapkan lafaz dan makna yang terkandung di dalamnya, kemudian menyerahkan ilmu tentang tata caranya kepada Allah Ta’ala. Kita menetapkan nama-nama yang mulia bagi Allah Ta’ala serta sifat-sifat-Nya yang agung dan kita mengetahui maknanya serta mengimaninya. Hanya saja kita tidak mengetahui tata caranya.
Kita beriman bahwa Allah Ta’ala bersemayam ‘استوى’ di Arasy, yaitu bersemayam secara hakiki yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang maha suci, bukan seperti ‘bersemayam’nya manusia. Akan tetapi bagaimana Dia bersemayam, adalah perkara yang tidak kita ketahui.
Karenanya, maknanya (terkait tentang tata caranya) kita serahkan kepada Allah. Sebagaimana ucapan Imam Malik dan selainnya ketika ditanya tentang istiwa, “Istiwa (bersemayam) itu telah diketahui (maknanya secara bahasa) sedangkan tata caranya tidak diketahui.” (Lihat Majmu Fatawa Syekh Islam Ibnu Taimiah)
Inilah mazhab Ahlussunah wal Jamaah; Menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Yaitu penetapan yang tanpa menyerupai (dengan makhluk) dan menetapkan tata caranya. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ (سورة الشورى: 11
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata, “Ahlussunnah sepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang tertera dalam Al-Quran dan Sunah serta memahaminya secara hakikat, bukan secara kiasan. Hanya saja mereka sedikitpun tidak menetapkan cara dan bentuknya bagaimana dari sifat-sifat tersebut.” (Al-Uluw Lil Aliyyil Ghaffar)
Makna Kedua:
Makna yang batil, yaitu menetapkan lafaz tanpa mengetahui maknanya. Mereka hanya menetapkan lafaznya saja, (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) setelah itu mereka berkata, “Kami tidak mengetahui maknanya dan tidak mengetahui apa yang Allah maksud dari kalimat ini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Adapun tafwidh, telah diketahui bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk tadabbur (merenungi) Al-Quran dan memerintahkan kita untuk mengerti dan memahaminya. Bagaimana bisa diterima jika bersamaan dengan itu kita terhalang untuk memahaminya dan mengatetahui serta mengerti maknanya?
Begitu pula, pembicaraan yang diinginkan di sini adalah memberikan penjelasan kepada kita dan hendak mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya. Jika ternyata apa yang disebutkan dalam nash pada zahirnya mengandung kebatilan dan kekufuran dan Dia tidak menginginkan kita untuk mengetahuinya, baik zahir maupun batin atau tidak menginginkan kita mengetahui batinnya tanpa penjelasan dari pembicaraan tersebut, maka pada kedua perkiraan tersebut kita tidak sedang diberikan penjelasan dengan benar dan kita tidak dapat mengetahui bahwa kandungan dari pembicaraan tersebut adalah batil dan kufur.
Hakikat dari pendapat mereka terhadap pihak yang berbicara adalah; Bahwa dia tidak menjelaskan yang hak dan tidak menerangkannya, padahal Dia memerintahkan kita untuk meyakininya. Dan bahwa apa yang telah dia arahkan pembicaraan tersebut kepada kita dan kita diperintahkan untuk mengikutinya, tidak Dia jelaskan dan tidak disingkapkan sisi kebenarannya.
Dia menginginkan agar kita memahami darinya apa yang tidak ada dalilnya dalam masalah tersebut. Hal ini sudah pasti tidak terjadi pada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan bahwa pendapat seperti ini merupakan pendapat para pendukung yang merubah dan menentang nama-nama Allah…. Maka jelaslah bahwa pendapat ahli tafwidh yang mereka kira bahwa mereka mengikuti sunah dan kaum salaf termasuk perkara yang sangat buruk dari kalangan ahli bid’ah dan ilhad.” (Dar’ut-Ta’arudh)
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kaum salafnya pendapatnya bukan tafwidh. Akan tetapi mazhab mereka adalah beriman dengan nash sebagaimana adanya serta menetapkan makna yang terkandung di dalamnya secara hakiki sebagaimana ditetapkan secara bahasa dengan menafikan keserupaan dengan makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11) (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan)
Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah meninggalkan takwil serta menetapkan hakikat dari sifat-sifat Allah yang telah ditunjukkan oleh nash-nash wahyu dengan menyerahkan tata caranya perkara sesungguhnya (kepada Allah). Dengan sebuah keyakinan bahwa pemahaman tersebut tidak diartikan menyerupakan Allah dengan segala sesuatu dari sifat-sifat makhluk, maka tidak ada ada tasybih (penyerupaan) dan tidak ada ta’thil (menggugurkan sifat).” (Fatawa Syekh Ibnu Jibrin, 41/64)
Syekh Ibn Baaz rahimahullah berkata, “Orang-orang yang berpaham tafwidh dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai lebih buruk dari kaum Jahmiyah. Tafwidh adalah perkataan seseorang; Hanya Allah yang tahu maknanya. Pendapat seperti ini tidak dibolehkan. Karenan makna dari nama dan sifat tersebut telah diketahui oleh para ulama. Imam Malik rahimahullah berkata, ‘Istiwa telah diketahui (maknanya) dan tidak diketahui (tata caranya). Demikian pula disampaikan oleh Imam Rabiah bin Abdurrahman dan para ulama lainnya. Maka makna sifat telah diketahui dan diketahui pula oleh kalangan Ahlussunah wal jamaah, seperti ridha, murka, cinta, bersemayama, tertawa, dll. Semua itu memiliki makna yang tidak sama dengan makna-makna yang lain. ‘Tertawa’ tidak sama maknanya dengan ‘ridha’ sedangkan ‘ridha’ tidak sama maknanya dengan ‘marah’ dan ‘marah’ tidak sama dengan ‘cinta’. Semuanya telah diketahui milik Allah Ta’ala. Akan tetapi jangan menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk.” (Fatawa Nurun Alad-Darb, Ibn Baz)
Sebagian orang mengira bahwa mazhab salaf adalah tafwidh. Mereka memahaminya dari ucapan kaum salaf tentang hadits-hadits sifat bahwa mereka memerintahkannya (beriman) sesuai yang disebutkan tanpa memperjelas tata caranya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ucapan Rabi’ah dan Malik; Istiwa itu tidak asing, sedang caranya tidak diketahui akal dan iman kepadanya wajib.” Itu sesuai dengan perkataan sebagian orang lainnya, “Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan bagaimananya.” Karena yang mereka tiadakan adalah ilmu tentang tata caranya. Mereka tidak meniadakan hakikat sifatnya.
Seandainya mereka hanya beriman dengan sekedar lafaznya saja, tanpa memahami maknanya yang sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala, niscaya mereka tidak akan berkata, “Istiwa itu tidak asing sedangkan tata caranya tidak dapat ditangkap akal.” Niscaya mereka juga tidak akan berkata, “Mereka diperintahkan untuk (beriman) sebagaimana adanya tanpa tata caranya, karena istiwa ketika itu tidak diketahui (caranya).
Begitu pula, tidak perlu dinafikan ilmu tentang caranya jika lafaznya tidak diketahui maknanya. Penafian ilmu tentang tata caranya dibutuhkan jika sifatnya telah ditetapkan.
Demikian pula, bahwa orang yang menafikan sifat, tidak perlu mengatakan, ‘tanpa perlu mengetahui caranya.’ Siapa yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah tidak berada di Arasy’ tidak perlu dia mengatakan, ‘tanpa menyatakan bagaimananya’. Maka seandainya mazhab kaum salaf adalah menafikan sifat dalam masalah ini, mereka tidak akan mengatakan, ‘Tanpa menyatakan bagaimananya’.
Demikian pula, ucapan mereka, ‘Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya’ menunjukkan kandungannya tetap ada sebagaimana maknanya dipahami demikian. Karena banyak lafaz yang memiliki banyak makna. Seandainya makna lafaz ini tidak ada, maka seharusnya yang dikatakan adalah, ‘Mereka diperintahkan mengimani lafaznya dengan keyakinan bahwa makna yang dipahami darinya bukanlah makna yang dimaksud.’ Atau mereka memerintahkan lafaznya dengan keyakinan bahwa Allah tidak disifati dengan makna yang terkandung di dalamnya secara hakikat. Maka ketika demikian, berarti dia bukan diperintahkan mengimani sebagaimana adanya. Tidak juga dikatakan ketika itu ‘tanpa tata caranya’. Karena menafikan tata caranya terhadap sesuatu yang tidak ditetapkan adalah kesia-siaan dalam bahasa.” (Majmu Fatawa, Fatwa Hamawiyah)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mendekatkan masalah ini dengan berkata, “Terkenal di kalangan salaf, ungkapan yang bersifat umum dan khusus tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Di antara ungkapan yang bersifat umum adalah ‘Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya tanpa menanyakan bagaimana caranya.’ Ungkapan ini diriwayatkan berasal dari Makhul, Az-Zuhri, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Saad dan Al-Auza’i. Dalam ungkapan ini terdapat bantahan terhadap kaum yang menggugurkan sifat dan kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk. Ungpakan ‘Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya’ adalah bantahan terhadap orang yang menafikan sifat. Sedangkan ungkapan ‘tanpa menanyakan bagaimana caranya’ adalah bantahan terhadap mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk.
Di dalamnya juga terdapat dalil bahwa kalangan salaf menetapkan dari nash-nash tentang sifat-sifat Allah, makna yang benar dan sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala. Hal tersebut ditunjukkan oleh dua hal;
Pertama; Ucapan mereka ‘Diperintahkan (untuk beriman) sebagaimana adanya. Karena maknanya adalah membiarkan kandungannya sebagaimana yang tertangkap dari maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa ungkapan ini dinyatakan untuk menetapkan yang layak bagi Allah Ta’ala. Seandainya mereka tidak meyakini makna yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan berkata, ‘Mereka diperintahkan (beriman) dengan lafaznya dan tidak boleh mencari maknanya.” Atau semacamnya.
Kedua: Ungkapan mereka ‘tanpa menanyakan bagaimana caranya’ maka ungkapan ini jelas merupakan penetapan hakikat makna. Karena seandainya mereka tidak meyakini ketetapannya, niscaya mereka tidak menafikan tata caranya. Karena sesuatu yang tidak ditetapkan pada hakikatnya tidak ada dengan sendirinya. Maka menafikan tata caranya pada hal tersebut merupakan kesia-siaan dalam bahasa.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)