Larangan Al-‘Umraa dan Ar-Ruqbaa yang Dapat Merusak Harta Benda

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Janganlah lakukan ar-Ruqbaa pada harta kalian. Barangsiapa melakukannya, maka harta tersebut hak orang yang diberi,” (Shahih, HR an-Nasa’i [VI/269], Ibnu Hibban [5126] dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir [10971 dan 11000]).

Dari Jabir r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah lakukan ar-Ruqbaa dan al-‘Umraa pada harta kalian. Barangsiapa diberi harta melalui ar-Ruqbaa atau al-‘Umraa, maka harta tersebut adalah hak ahli warisnya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [3556], an-Nasa’i [VI/273], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [2198], al-Humaidi [1290], al-Baihaqi [VI/175] dan Ibnu Hibban [5127]).

Masih dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Jagalah hartamu janganlah kamu merusaknya. Karena sesungguhnya barangsiapa melakukan al-‘Umraa, maka harta itu menjadi hak orang yang ia beri al-‘Umraa selama orang itu hidup, sesudah ia mati dan menjadi hak anak keturunannya’,” (HR Muslim [1625]).

Dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada al-‘Umraa, barangsiapa diberi sesuatu barang melalui al-‘Umraa’, maka barang tersebut menjadi milik yang diberi,” (Hasan, HR an-Nasa’i [VI/277], Ibnu Majah [2379], Ahmad [II/357] dan Ibnu Hibban [5131]).

Kandungan Bab:

  1. Al-‘Umraa adalah seseorang berkata kepada orang lain, “Aku beri engkau rumah ini atau aku serahkan kepadamu selagi engkau hidup.” Ar-Ruqbaa diambil dari kata al-Murraaqabah, karena keduanya menunggu-nunggu kematian salah seorang dari mereka agar pemberian tersebut jatuh ke tangannya, yaitu seseorang berkata, “Rumah ini untuk si Fulan (A) selagi ia masih hidup, jika ia mati maka rumah ini untuk si Fulan (B).” 
  2. Al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa boleh dilakukan. Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (VIII/293), “Al-‘Umraa boleh dilakukan berdasarkan kesepakatan ulama.” Dalilnya adalah Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. berkata, “al-‘Umraa boleh dilakukan,” (HR Bukhari [2626] dan Muslim [1626]). 
  3. Al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa hukumnya sama seperti hibah, yaitu pemindahan hak milik. Oleh karena itu, Rasulullah saw menetapkan bahwa harta yang di’umraakan dan diruqbaakan menjadi milik orang ylg diberi. Dan prosedurnya adalah prosedur hak warisan seperti yang ditunjukkan dalam hadits Jabir dan Zaid bin Tsabit r.a. di atas. 
  4. Para ulama berselisih pendapat apabila terdapat pemberian syarat. Misalnya ia mengatakan: “Rumah ini menjadi milikmu selama engkau hidup dan ia tidak mengatakan untuk anak keturunanmu. Menurut pendapat yang benar, pemberian syarat adalah bathil dalam proses al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa, berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah saw menetapkan hak milik barang yang di’umraakan bagi orang yang diberi dan bagi anak keturunannya. Barang tersebut merupakan hadiah yang mana si pemberi tidak boleh memberi syarat dan pengecualian.”

    Abu Salamah berkata, “Karena ia telah memberi hadiah yang telah masuk dalam harta warisan, maka statusnya sebagai harta warisan membatalkan seluruh syarat-syaratnya,” (HR Muslim [1625]). 

  5. Larangan al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa berlaku apabila dapat merusak harta si pemberi. Karena mereka dahulu mengiranya sebagai pinjaman yang akan dikembalikan kepada mereka. Kemudian Rasulullah saw. mengabarkan bahwa al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa termasuk hibah yang shahih yang menjadi hak milik mutlak orang yang diberi. Tidak kembali sedikit pun daripadanya kepada si pemberi.

    Ibnu Hibban berkata (XI/541), “Rasulullah saw. melarang nadzar, al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa karena adanya ‘illah yang sudah dimaklumi, yaitu menjaga harta kaum muslimin. Bukan maksudnya ketiga perkara di atas (yakni al-‘Umraa, ar-Ruqbaa dan nadzar) tidak dibolehkan jika termasuk ketaatan bukan kemaksiatan. Para Sahabat berhijrah ke Madinah sementara mereka tidak punya harta di sana. Maka Rasulullah saw. melarang al-‘Umraa dan ar-Ruqbaa demi menjaga harta benda kaum muslimin untuk suatu kepentingan darurat yang sedang mereka hadapi. Jadi, maksudnya bukanlah kedua hal itu tidak dibolehkan.”

    Jadi jelaslah bahwa maksud larangan di atas adalah demi menjaga harta benda, wallaahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/413-416.