Larangan Mengistimewakan Sebagian Anak atas Sebagian Lainnya dalam Hal Pemberian

Dari an-Nu’man bin Basyir r.a, bahwasanya ibunya, yakni Binti Rawahah bertanya kepada ayahnya tentang beberapa hadiah dari hartanya yang ia berikan kepada anaknya. Ia menanguhkan pemberiannya selama setahun. Kemudian ia berubah pikiran. Ia berkata, “Aku tidak ridha hingga Rasulullah saw. bersaksi atas apa yang akan aku hadiahkan kepada anakku.” Lalu ayahku menggandeng tanganku -pada waktu itu aku masih kecil- dan mendatangi Rasulullah saw, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu anak ini, yakni binti Rahawah ingin agar engkau bersaksi atas pemberian yang akan ia berikan kepada anaknya ini.” Rasulullah saw. berkata, “Wahai Basyir, apakah engkau memiliki anak selain anak ini?” Basyir menjawab, “Ya.” Rasul berkata lagi, “Apakah semua anak tersebut mendapat hadiah seperti ini darinya?” Basyir menjawab, “Tidak!” Maka Rasul berkata, “Kalau begitu janganlah engkau minta aku bersaksi, karena aku tidak akan bersaksi atas sebuah kecurangan,” (HR Bukhari [2587] dan Muslim [1623]).

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh, “Tidak benar kalau begitu caranya. Sungguh aku tidak akan bersaksi kecuali di atas kebenaran,” (HR Muslim [1624]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya melebihkan salah seorang anak dalam pemberian. Karena hal itu akan menumbuhkan sifat hasad dan permusuhan atau akan menyebabkan kedurhakaan mereka terhadap orang tua.

    Hal ini merupakan dasar dalam tarbiyah (pendidikan) anak. Mengabaikannya akan menyeret kepada kerusakan dan fitnah besar yang dapat menghancurkan keluarga dan rumah tangga. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam kisah Yusuf dengan saudara-saudaranya “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Yaitu) ketika mereka berkata, ‘Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah di ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.’ Seoarang di antara mereka berkata: ‘Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah di ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat’.” (QS. Yusuf: 7-10).

  2. Haram hukumnya memberikan persaksian untuk sebuah kecurangan dan kezhaliman. 
  3. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits ini bukan dalil pengharaman. Namun, hanya untuk menjelaskan tindakan yang lebih baik, dalilnya adalah sabda Nabi saw, “Kembalikanlah hadiah itu.” Kalaulah tidak sah niscaya tidak perlu dikembalikan. Dan sabda Nabi saw, “Carilah saksi yang lain untuk perkara ini selalu aku.” Kalaulah hal itu bathil tentu tidak boleh mencari saksi yang lain.

    Apa yang mereka kataka itu perlu dikoreksi lagi. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah telah mengumpulkan seluruh lafazh hadits dalam kitab Tahdziib as-Sunan (V/191-193) kemudian beliau berkata, “Seluruh lafazh tersebut adalah shahih dan jelas menunjukkan keharaman dan kebathilannya dari sepuluh sisi, semuanya diambil dari hadits tersebut. Di antaranya, sabda Nabi, “Carilah saksi yang lain untuk perkara ini selain aku.” Jelas ini bukanlah izin. Karena Rasulullah saw tidak akan memberi izin untuk suatu kecurangan dan untuk suatu yang tidak benar atau suatu kebathilan, sebab beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak akan bersaksi kecuali atas kebenaran.” Itu menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Abun Nu’man adalah tidak benar, apa yang dilakukannya itu adalah bathil. Jadi, perkataan Nabi, “Carilah saksi yang lain untuk perkara ini selain aku” merupakan dalil pengharaman. Seperti firman Allah, “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!” Dan sabda Nabi, “Jika engkau tidak tahu malu, maka lakukanlah apa yang engkau mau.” Jadi makna hadits tersebut, Bersaksi untuk perkara seperti ini bukanlah kebiasaanku dan tidak pantas aku lakukan. Namun, itu merupakan kebiasaan orang-orang yang suka bersaksi di atas kecurangan dan kebathilan atau atas perkara yang tidak benar. Makna ini tentu sangat jelas sekali.

    Aku telah menulis sebuah risalah tersendiri. Dalam risalah tersebut aku kumpulkan dalil-dalilnya. Dan aku jelaskan orang-orang yang menyelisihi hadits ini sekaligus mematahkan argumentasi mereka, wabillaahit taufiq.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/403-405.

Baca Juga