Hakikat Mengikuti Petunjuk Allah SWT

Menampakkan keraguan yang merusak pembenaran itu, serta melaksanakan perintah-Nya tanpa adanya hawa nafsu yang menjadi penghalang. Kedua hal ini merupakan inti keimanan, yaitu pembenaran berita dan ketaatan terhadap perintah. Kemudian kedua hal tersebut diikuti dua perkara. Yaitu meniadakan keraguan yang menghalangi dan mengotori kesempurnaan pembenaran itu, serta menolak hawa nafsu yang menyesatkan dan menggoda yang menghalangi kesempurnaan pelaksanaan perintah-Nya.

Jadi mengikuti petunjuk Allah SWT mengandung empat perkara:

  • Membenarkan pemberitahuan-Nya.
  • Berusaha sekuat tenaga untuk menolak dan melawan segala keraguan yang dibisikkan setan-setan dari jenis jin dan manusia.
  • Menaati perintah-Nya.
  • Melawan hawa nafsu yang menghalangi seorang hamba dalam menyempurnakan ketaatan.

Keraguan dan hawa nafsu merupakan pangkal kesengsaraan hamba dan penyebab penderitaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebaliknya, pembenaran terhadap wahyu dan ketaatan terhadap perintah-Nya merupakan pangkal kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat.

Seorang hamba memiliki dua kekuatan.

Pertama. Kekuatan mengetahui dan menganalisa, serta segala sesuatu yang menjadi konsekuensi dari keduanya, berupa ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara.

Kedua. Kekuatan kehendak dan cinta, serta segala hal yang mengikutinya, berupa niat, tekad, dan perbuatan.

Sedangkan keraguan, melemahkan kekuatan analisa ilmiah selama tidak dilawan untuk dihilangkan. Syahwat membuat kekuatan kehendak untuk menunaikan perintah menjadi lemah selama tidak dibersihkan.

Ketika memberitahukan kesucian dan terhindarnya Nabi Muhammad saw. dari kesalahan Allah SWT berfirman, “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula Are//rtj.”(al-Najm: 1-2)

Tidak tersesatnya Nabi Muhammad saw. ini menunjukkan kesempurnaan ilmu dan pengetahuan beliau. Hal ini juga menunjukkan bahwa segala berita yang beliau bawa adalah benar adanya. Ketidakkeliruan beliau menunjukkan sempurnanya kebenaran yang beliau bawa, dan menunjukkan bahwa beliau adalah manusia pilihan di dunia ini. Dengan demikian, beliau adalah seorang hamba yang sempurna ilmu dan amalnya. Beliau juga menyebut bahwa para Khulafa’urrasyidin mempunyai sifat-sifat yang layak menjadi panutan, sehingga beliau memerintahkan umatnya untuk mengikuti mereka. Rasulullah saw. bersabda,

“Ikutilah sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur-raasyidun, yang mendapatkan petunjuk sesudahku.” (HR Tirmidzi)

Ar-raasyid (yang mendapat petunjuk) adalah lawan dari al-ghaawi (yang tersesat) dan al-mahdi (mendapatkan petunjuk) adalah lawan dari adh-dhalaal (tersesat).

Allah SWTberfirman,

“(Keadaan kamu hai orang-orang yang munafik dan musyrik adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu yang lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka, mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya. Kamu mempercakapkan hal yang batil sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalan-amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (at-Taubah: 69)

Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan dua hal yang merupakan penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian.

Pertama. Bersenang-senang dengan jatah mereka di dunia. Dengan ini, maka mereka mengikuti hawa nafsu yang menjadi penghalang untuk mengikuti perintah-Nya. Berbeda dengan orang-orang mukmin. Meskipun mereka memperoleh bagian di dunia, tapi mereka tidak menikmati semuanya dan tidak pula menghabiskan umur mereka untuk kehidupan dunia belaka. Akan tetapi, mereka menggunakan bagian dunia mereka untuk membuat mereka mampu mencari bekal bagi hari kemudian.

Kedua. Membicarakan hal-hal yang meragukan dan tidak benar. Allah SWT berfirman, “Dan kamu membicarakan tentang apa yang mereka bicarakan.” Ini adalah perihal jiwa-jiwa yang tersesat, yang tidak diciptakan untuk kehidupan akhirat. Mereka senantiasa melampiaskan syahwat. Dan ketika mendapatkannya, maka mereka hanya memperbincangkan hal-hal batil yang tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat.

Di antara kesempurnaan hikmah Allah SWT, Dia menguji jiwa manusia dengan penderitaan dan kesusahan untuk mencapai keinginan dan hawa nafsunya. Sebab itulah, hanya sedikit jiwa yang tidak terjerumus ke dalam kebatilan. Seandainya jiwa-jiwa itu hanya mengejar hal-hal yang batil, maka mereka akan menjadi para penyeru ke neraka. Inilah perihal mereka yang hanya berkonsentrasi pada kebatilan, sebagaimana tampak dalam realita. Dan makna ‘kalian memperbincangkan’ dalam ayat di atas adalah ‘seperti kelompok yang memperbincangkan’, atau ‘bagaikan dua kelompok yang telah memperbincangkan’, jadi kata al-ladzi di sini adalah untuk tunggal atau plural. Hal ini juga sebagamaina terdapat dalam firman Allah,

“Dan orang-orang yang (al-ladzi) membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar: 33-34)

Tapi kata al-ladzi tidak bisa dipakai untuk bentuk plural bagi laki-laki. Sebab itu, tidak dikatakan ‘al-muslimuun al-ladziijaa suu (orang-orang muslim yang telah datang). Tapi, kata al-ladzi hanya sering dipakai untuk nama yang memiliki arti plural seperti partai, kelompok, atau sesuatu yang mencakup makna plural lainnya. Seperti ucapan seorang penyair,

“Sesungguhnya mereka yang darahnya mengalir dan menjadi nanah, Adalah benar-benar kaum yang sejati, wahai Ummu Khalid.”

Atau al-ladzi bisa juga dipakai ketika sesuatu yang dimaksudkan adalah jenis, bukan satu atau bilangan, seperti firman Allah,

“Dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan mem-benarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar: 33)

Padanan ayat ini adalah ayat yang sedang kita bahas, yaitu,

“Kamu mempercakapkan hal yang batil sebagaimana mereka- mem-percakapkannya.” (at-Taubah: 69)

Namun, bisa juga makna yang dimaksud ayat ini adalah “dan kalian memper-bincangkannya seperti perbincangan mereka”. Dalam arti yang terakhir ini, maka al-ladzi menjadi sifat bagi suatu kata benda yang tidak disebutkan (mahdzuuf). Ini seperti perkataan Anda, ‘Idhrib kal-ladzii dharab” (Pukullah dia seperti pukulannya terhadapmu), dan ‘Ahsin kal-ladzi a’hsana’ (Berbuat baiklah kepadanya seperti kebaikannya kepadamu) dan semacamnya. Berdasarkan penjelasan terakhir ini, maka posisi kata ganti yang merujuk ke subjek adalah manshub dan tidak disebutkan (mahdzuuf). Tidak disebutkannya kata ganti tersebut sama-sama terjadi dalam dua makna di atas.

Maka, Allah SWT mencela mereka karena memperbincangkan hal-hal yang batil dan mengikuti hawa nafsu. Allah SWT juga memberitahukan bahwa orang yang demikian keadaannya, maka ia akan kehilangan amal perbuatannya di dunia dan di akhirat, dan dia termasuk orang-orang yang merugi. Padanan ayat di atas adalah perkataan penghuni neraka kepada penghuni surga di saat mereka ditanya penyebab mereka masuk neraka, sebagaimana dikisahkan dalam ayat berikut,

“Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang menjalankan shalat dan kami tidak pula memberi makanan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (al-Muddatstsir: 43-46)

Dalam ayat ini disebutkan dua sebab. Pertama, membicarakan hal yang batil, yang membuat mereka mendustakan hari pembalasan. Kedua, mengikuti tuntutan syahwat dengan konsekuensi meninggalkan shalat dan tidak memberi makan orang-orang miskin. Inilah dua penyebab masuknya mereka ke neraka. Wallaahu waliyyut-taufiiq

 

Sumber: Miftah Dar As-Sa’adah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah