Penjelasan Tentang Ahlul Ahwa’ dan Ahlul Bid’ah

Sesungguhnya ungkapan ‘Ahlul Ahwa‘ ‘dan ‘Ahlul Bid’ah’ diungkapkan secara benar-benar kepada mereka yang mengadakan suatu pembaharuan dan mengedepankan hawa nafsu dalam mengambil suatu kesimpulan. Mereka membela syariat (pembaharuan) tersebut dengan cara menunjukkan dalil-dalil kebenarannya menurut perspektif mereka. Mereka menganggap semua yang berbeda dengan mereka adalah aliran sesat dan sesuatu yang menyerupainya perlu diteliti atau untuk ditolak, atau dijawab, sebagaimana kita memberi laqab atau julukan kepada kelompok Mu’tazilah, Qadariah, Murji’ah, Khawarij, Bathiniah, dan nama-nama lain yang sepertinya. Juhikan-julukan tersebut ditujukan kepada mereka yang menjalankan aliran tersebut, baik sebagai pengambil kesimpulan maupun sebagai pembela aliran tersebut, dan yang demikian ini telah melebar, seperti julukan ‘Ahlus-Sunnah’, yang dituliskan bagi pembela-pembelanya, dan bagi yang mengambil kesimpulan agar mengikuti dan menjaga sesuatu yang harus dijaga pada aliran ini.

Yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan.” (Qs. Al An’aam [6]: 159). Dalam ayat ini terasa pengungkapan lafazh secara mutlak kepada orang yang memecah-belah, bukan khusus kepada orang yang memulainya atau bagi penggantinya. Begitu juga firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105) dan “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7) Di sini, mengikuti ayat-ayat mutasyabih hanya untuk mereka yang menduduki posisi mujtahid.

Begitu pula sabda Nabi SAW,

“Hingga apabila tidak ada lagi orang yang alim (dalam agama), maka ketika itu orang-orang akan memilih orang bodoh sebagai pemimpin mereka, mereka ditanya lalu mereka mengeluarkan fatwa tanpa ilmu.

Yang demikian itu karena mereka memposisikan diri mereka dalam posisi pengambil kesimpulan dalam masalah hukum syariat yang patut diikuti. Berbeda halnya dengan orang awam, mereka hanya mengikuti semua hal yang telah ditetapkan oleh bapak-bapak mereka dan pendahulu-pendahulu mereka, karena keputusan itu adalah kewajiban mereka (pendahulu-pendahulu mereka). Oleh karena itu, mereka bukan orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih secara benar-benar, dan mereka tidak mengikuti hawa nafsu mereka, akan tetapi mereka mengikuti semua yang dikatakan kepada mereka dari para pendahulu.

Oleh karena itu, ahlul ahwa’ tidak ditujukan kepada mereka (orang awam), sehingga mereka memahami hal tersebut dengan pengamatan mereka sendiri, hingga mereka bisa membedakan; apakah ini baik atau buruk, ketika itu baru bisa ditetapkan lafazh ahlul ahwa ‘dan ahlul bid’ah ditujukan kepada orang yang memposisikan dirinya kepada pelaku bid’ah dan membenarkan pendapatnya. Namun bagi orang yang tidak sadar atau tidak menyadari posisi dirinya dan orang-orang yang mengikuti jejak pemimpin-pemimpinnya hanya dengan ikut-ikutan dan tanpa pengkajian ulang, maka tidak disebut demikian.

Hakikat permasalahan sebenamya terbagi atas dua bagian; Al Mubtadi’  (pelaku bid’ah) dan Al Muqtadi bih (yang menirunya). Para peniru bid’ah seakan tidak masuk dalam hitungan ahlul bid’ah jika hanya ikut-ikutan, karena ia termasuk golongan orang yang ikut-ikutan saja. Sedangkan pelaku bid’ah adalah orang yang menemukan atau membuat hal-hal baru dalam hal agama atau ia juga yang dimintai dalil atas kebenaran penemuan tersebut. Bagi kita sama saja, baik dalil-dalil tersebut muncul dari orang-orang khusus yang mengerti tentang penelitian dalam suatu keilmuan maupun dari orang-orang awam. Sesungguhnya Allah SWT mencela suatu kaum yang berkata, ” Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Qs. Az-Zukhruf [43]: 23) seakan-akan mereka berlindung pada dalil global, yaitu bapak-bapak mereka, karena di antara mereka (bapak-bapak mereka) terdapat orang-orang yang pandai dan mereka tetap berada pada agama ini, dan bukan hanya karena agama ini benar, karena seandainya agama ini salah maka mereka pasti akan pergi meninggalkannya.

Ini adalah pandangan orang yang berdalil atas benarnya bid’ah yang didasarkan pada pekerjaan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang mereka tunjuk sebagai orang yang shalih dan patut diikuti, tanpa melihat kondisi orang tersebut; termasuk orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad dalam suatu perkara syariat, atau termasuk orang yang mengikuti, atau termasuk orang yang berbuat sesuatu atas dasar ilmu, atau termasuk orang yang berbuat sesuatu berdasarkan kebodohannya? Akan tetapi, hal seperti ini dianggap juga sebagai pengambilan dalil secara global, karena dengan sengaja mengikuti hawa nafsu dan menolak selainnya. Jadi, orang yang menjalaninya berarti telah menjalani bid’ah dengan dalil yang serupa, sehingga ia termasuk dalam kategori ahlul bid’ah’.

Dengan demikian, sudah menjadi hak orang yang menjadikan hal ini sebagai jalannya untuk melihat dan mengkaji suatu yang hak apabila datang bukti nyata kepadanya. Ia hendaknya mencari tahu dan bertanya hingga kebenaran itu tampak olehnya, kemudian mengikutinya, atau jika —dari proses tersebut— terbukti kesalahannya, maka ia harus menghindar darinya.

Oleh karena itu, Allah SWT berfirman (sebagai jawaban dari orang-orang yang beralasan, sebagaimana yang telah disebutkan):

“(Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikuti ‘juga)sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’. “(Qs. Az-Zukhruf [43]: 24)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. “(Qs. Al Baqarah [2]: 170)

“(Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs.Al Baqarah [2]: 170).

“Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syetan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (Qs. Luqmaan [31]: 21)

Tanda-tanda kelompok ini adalah menolak selain madzhabnya dengan dalil yang tidak kuat, baik dalil itu secara global maupun terperinci, dan ia sangat fanatik terhadap sesuatu yang ia jalankan tanpa menoleh sedikit pun kepada yang lain. Itulah pangkal dari mengikuti hawa nafsu. Hal ini sangat dicela dan yang melakukannya berdosa. Adapun orang yang mendapat petunjuk, pasti akan condong pada kebenaran, dan apabila menemukannya ia tidak akan menolaknya. Itulah kebiasaan orang yang mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita melihat para Muhaqqkj (orang yang mencari kebenaran) selalu segera mengikuti Rasulullah SAW apabila nampak suatu kebenaran di matanya.

Bagaimana seandainya ia tidak menemukan kecuali bid’ah seperti yang telah lalu dan ia tidak termasuk orang yang fanatik, namun ia juga mengerjakannya? Apabila kita berkata, “Sesungguhnya AhlulFatrah akan diadzab secara mutlak jika mengikuti orang yang melakukan suatu yang baru di antara mereka.”

maka orang-orang yang mengikuti orang yang memulai suatu perbuatan yang baru, padahal ia tidak menemukan kebenaran, pasti akan diadzab juga. Jika kita katakan, “Mereka tidak diadzab hingga seorang rasul diutus kepada mereka, walaupun mereka telah berbuat suatu kekafiran,” maka mereka tidak akan dihukum selama tidak ada bukti kebenaran yang datang kepada mereka. Namun, dalam posisi seperti itu mereka akan dihukum karena dua perkara:

  1. Mengikuti seorang rasul dalam kebenaran, tetapi mereka lalu meninggalkannya.
  2. Tidak mengikutinya karena adanya sikap pembangkangan dan kefanatikan.

Bila demikian maka mereka termasuk dalam ibarat (Ahlul Ahwa’), yang menyebabkan mereka mendapatkan dosa.

Setiap orang yang mengikuti keterangan yang didengarnya (dalam hal bid’ah yang telah dikenal dikalangan para ulama) dan ber-/^g&/dengan sikap rela serta menolak hal-hal yang lain, maka ia dan orang yang diikuti telah berdosa. Ia berpendapat bahwa orang yang disembahnya berbentuk seorang manusia dan ia akan membinasakan segalanya kecuali dirinya, kemudian ia berpendapat bahwa Ruh Allah masuk ke jasad Ali, kemudian kepada seseorang, kemudian menjelma dalam dirinya.

Demikian halnya dengan pengikut Al Mughirah bin Saad Al Ajili yang mengaku dirinya sebagai nabi dan dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati dengan menggunakan nama-nama Allah Yang Agung, dan Tuhannya memiliki anggota badan dalam bentuk huruf Hijaiyah, dalam bentuk penggambaran yang menjijikkan bagi setiap hati orang mukmin.

Juga bagi pengikut Al Mahdi Al Maghribi, banyak bid’ah di Maghrib yang dinisbatkan kepadanya. Ia berdosa, begitu juga orang yang mengikutinya apabila ia menjadi pembela dan pembawa hujjah bagi alirannya.

Semoga Allah menjaga kita dari kejahatan fanatisme buta dengan rahmat dan karunia-Nya.

 

Sumber: Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi