“Dan Kami mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan kami dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) dapat melihat.” (Thaahaa: 124-125)
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud buta dalam ayat di atas; apakah buta hati atau buta mata? Mereka yang berpendapat bahwa itu adalah buta hati mengambil dalil dari firman Allah SWT,
“Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami.” (Maryam: 38)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari hal ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, hingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qaaf: 22)
“Pada hari mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqaan: 22)
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahanam, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘aunul yakin.” (At-Takaatsur: 5-7)
Ayat-ayat semisalnya yang menegaskan bahwa pada hari kiamat manusia akan melihat dengan mata kepala adalah,
“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan duduk karena (merasa) hina. Mereka melihat dengan pandangan lesu.” (Asy-Syuuraa: 45)
“Pada hari mereka didorong ke neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakaanya. Maka apakah ini sihir ataukah kamu tidak melihat?” (Ath-Thuur: 13-15)
“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya.” (Al-Kahf: 53)
Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa buta yang dimaksud adalah buta mata, mengatakan bahwa susunan kalimat dalam surah Thaahaa ayat 124-125 hanyalah menunjukkan kebutaan mata kepala. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kata-kata,
“Dia berkata, ‘Ya Tuhan mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat?'” (Thaahaa: 125)
Jadi orang tersebut tahu bahwa ketika di dunia ia buta dari kebenaran bukannya buta matanya, sehingga ia mengatakan, “Dan sungguh dulu aku melihat.” Lalu bagaimana ketika kata-katanya itu dijawab dengan firman-Nya,
“Demikianlah, karena kamu telah didatangi ayat-ayat kami, lalu kamu melupakannya. Maka, demikian pula hari ini kamu dilupakan.” (Thaahaa: 126)
Jawaban ini menunjukkan bahwa kebutaan di akhirat tersebut adalah buta mata. Ini adalah balasan baginya yang setimpal dengan perbuatannya. Yaitu, ketika dia enggan mengikuti apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya dan mata hatinya buta, maka pada hari kiamat Allah SWT membutakan matanya. Allah SWT membiarkannya di dalam siksaan karena dia telah meninggalkan petunjuk-Nya di dunia. Karena itu, Allah membalas kebutaaan hatinya dengan kebutaan matanya pada hari kemudian. Dia membalas keengganannya mengikuti petunjuk dengan membiarkannya tersiksa dalam azab. Ini juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang Dia sesatkan, maka sekali-kali dia tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.” (Al-lsraa: 97)
Akan tetapi, kelompok lainnya mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah mereka buta, bisu dan tuli dari petunjuk, bukan buta, bisu, dan tuli yang sesungguhnya. Hal ini juga mereka katakan pada ayat,
“Dan Kami mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaahaa: 124)
Kelompok ini mengatakan bahwa pada hari kiamat orang-orang tersebut berbicara, mendengar, dan melihat.
Kelompok lainnya lagi berpendapat bahwa kebutaan, kebisuan, dan ketulian tersebut bersifat terbatas tidak mutlak. Artinya, mereka hanya tidak bisa melihat dan mendengar apa yang membahagiakan mereka. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, “Mereka tidak melihat sesuatu yang dapat menyenangkan mereka.”
Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang tersebut dikumpulkan dalam keadaan buta ketika para malaikat mencabut nyawa mereka dan ketika mereka dikeluarkan dari kehidupan dunia, serta ketika mereka bangkit dari kubur menuju ke padang mahsyar. Baru setelah itu mereka dapat mendengar dan melihat. Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Bashri.
Pendapat lain mengatakan bahwa kebutaan ini terjadi tatakala mereka memasuki neraka dan berada di dalamnya. Pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bicara dicabut dari mereka tatkala Allah SWT berkata kepada mereka,
“Tinggallah dengan hina di dalamnya dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (Al-Mu’minuun: 108)
Ketika itu harapan mereka terputus dan akal mereka tidak berfungsi. Menjadilah mereka semua orang buta, bisu, dan tuli. Mereka tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak berbicara. Tidak ada yang terdengar dari mereka kecuali embusan dan tarikan nafas. Pendapat ini dinukil dari Muqatil bin Sulaiman.
Sedangkan yang dimaksud oleh pendapat yang mengatakan bahwa mereka buta dari argumen, adalah bahwa mereka tidak mempunyai argumentasi sama sekali, bukan maksudnya mereka memiliki argumen dan mereka tidak mampu melihatnya. Akan tetapi, yang dimaksud pendapat ini adalah bahwa mereka buta dari petunjuk sebagaimana keadaan mereka di dunia yang buta dari petunjuk tersebut. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan bahwa manusia mati sesuai dengan kondisinya ketika hidup, dan akan dibangkitkan sesuai dengan kondisinya ketika mati.
Dari seluruh paparan di atas, maka tampak bahwa pendapat yang benar adalah kebutaan tersebut kebutaan mata kepala. Pasalnya pada hari kiamat orang kafir mengetahui akan kebenaran dan mengakui apa yang dia dustai ketika di dunia. Oleh karena itu, pada hari kiamat orang kafir tersebut tidak buta dari kebenaran.
Adapun al-hasyr (pengumpulan) terkadang yang dimaksud adalah ketika dikumpulkan pada hari kiamat, seperti sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya kalian dikumpulkan menuju Allah dalam keadaan telanjang kaki, telanjang pakaian, dan tidak dikhitan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan firman Allah SWT,
“Dan ingatlah ketika binatang-binatang buas dihimpun.” (At-Takwir: 5)
“Dan Kami kumpulkan mereka dan tidak meninggalkan satu pun juga.” (Al-Kahfi: 47)
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan al-hasyr adalah bahwa mereka dihimpun, dikumpulkan, dan digiring menuju tempat kediaman yang abadi. Bagi orang-orang yang bertakwa, maka mereka dihimpun dan digiring menuju ke surga. Sedangkan orang-orang kafir dikumpulkan dan digiring menuju neraka. Allah SWT berfirman,
“(Ingatlah) hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat.” (Maryam: 85)
“(Kepada para malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.'” (Ash-Shaffaat: 22-23)
Dalam ayat ini, al-hasyr (pengumpulan) tersebut adalah setelah mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar, yaitu ketika mereka dikumpulkan di neraka, karena sebelumnya Allah SWT berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kitaV Allah berkata, ‘Inilah hah pembalasan. Inilah hari keputusan yang selalu kamu dustakan.'” (Ash-Shaffaat: 20-21)
Kemudian Allah SWT berfirman,
“Kepada malaikat diperitahkan, ‘Kumpulkanlah orang-orang yangzalim beserta teman sejawat mereka.'” (Ash-Shaffaat: 22)
Penghimpunan dalam ayat terakhir ini, adalah penghimpunan yang kedua. Dengan demikian, orang-orang zalim mereka “berada di antara dua al-hasyr (penghimpunan). Pertama, ketika mereka digiring dari kubur menuju Padang Mahsyar. Kedua, dari Padang Mahsyar menuju neraka. Ketika dikumpulkan pertama kali mereka mendengar, melihat, berdebat, dan berbicara. Sedangkan, ketika dikumpulkan kedua kalinya mereka dikumpulkan dan diseret di atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Jadi setiap kondisi mempunyai bentuk penyiksaan yang cocok dan yang sesuai dengan keadilan Tuhan.
Dan ayat-ayat Al-Qur’an saling mendukung satu sama lainnya,
“Seandainya Al-Qur’an ini bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapatkan pertentangan yang banyak.” (an-Nisaa: 82)
Sumber: Miftah Dar As-Sa’adah karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah