A. Merinci Penetapan Mengglobalkan Penafian
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menetapkan sifat Allah secara terperinci dan menafikan secara global. Ini berbada dengan Ahli kalam yang tercela , mereka menetapkan sifat Allah dengan global dan menafikan yang tidak layak dengan terperinci. Mereka berkata :
“Allah bukan jasad, bukan bayangan, bukan tubuh, bukan bentuk, bukan daging, bukan darah”. [1]
Penafian seperti ini, di samping tidak mengandung sanjungan, itu juga sikapkurang ajar kepada Alloh.
Maka jika mengglobalkan penafian harus di iringi sanjungan atau pujian kepada Allah dengan sifat-sifatNya yang sudah terperinci. Penafian secara global ini tercantum dalam surat Asy Syura ayat 11. Kata tasybih dalam pembicaraan manusia telah menjadi sebuah kata global yang mungkin diartikan dengan dua arti: (Pertama), arti yang shahih yaitu apa yang dinafikan oleh Al-qur’an dan di tunjukan oleh akal, bahwa manusia tidak disifati dengan sifat-sifat khusus milik Allah Azza wa Jalla, bahwa tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. (Kedua), arti yang bathil, yaitu tidak menetapkan sedikitpun dari sifat-sifat Alloh, sehingga tidak dikatakan Allah memiliki kodrat, Allah memiliki ilmu, Allah memiliki kehidupan, karena para hamba memilki sifat-sifat tersebut. Padahal pihak yang mengartikan dengan arti yang kedua ini sepakat dengan Ahlus Sunnah bahwa Allah itu ada, mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak dikatakan bahwa ini adalah tasybih (penyerupaan) yang wajib dinafikan. Hal ini termasuk apa yang ditunjukan oleh Al-qur’an dan As-Sunnah, dan akal yang lurus, karena rnag yang berakal lurus tidak akan menyelisihinya.
Pangkal kesalahan dan kekeliruan dalam masalah ini adalah sangkaan (asumsi) mereka bahwa nama-nama yang mutlak dan general dari makna yang bersifat umum itu pasti terwujud pada dua arti yang tertentu secara sama. Namun tidak demikian karna apa yang ada diluar (alam ini) tidak ada yang mutlak atau general tetapi ada dalam bentuk tertentu dak khusus.
Dengan ini kaum mu’athilah telah berbuat tepat dalam bentuk menyucikan Allah dari persamaaan dengan makhluknya, tetapi mereka berbuat keji dengan menafikan makna-makna yang Allah telah tetapkan unutk DiriNya. Sedangkan kaum musyabbihah telah berbuat tepat menetapkan sifat-sifat Alloh, tetapi mereka berbuat keji dengan bersikap ekstrim dalam menyerupakan makna sifat-sifat Allah dengan makhlukNya.[2]
B. Perkataan Salafus Shaleh dalam masalah Asma dan Sifat
Maksud Salafus Shaleh adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang hidup pada kurun waktu yang di utamakan. Manhaj salafus shaleh dalam Asma’ dan Sifat adalah mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Imam Ahmad berkata, “Allah tidak di sifati dengan sesuatu yang lebih banyak dari apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya.”
Beliau juga mengatakan, “Ini adalah sifat-sifat Allah yang dia sifatkan bagi diri-Nya dan kita tidak menolaknya.” [3]
Makhul dan Az-Zuhri pernah ditanya tentang penjelasan hadits dalam persoalan sifat kemdian keduanya menjawab, “Perkara sifat sebagaimana yang disampaikan dalam hadits.”
Ali bin Al-Madini berkata, “ tidak ditanyakan mengapa dan kenapa, tetapi yang ada adalah pembenaran dan iman kepadanya, meskipun ia tidak tahu tafsir haditsnya. Hendaknya ia beriman dan tunduk.”[4]
Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata, “Sesungguhnya Allah di atas Arys-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Dia sifatkan bagi diri-Nya dalam Al-qur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya bagaimana, ilmunya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”[5]
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Ia sebagaimana disampaikan dalam nash, kita menetapkannya dan membicarakannya tanpa bertanya bagaimana.”[6]
Abu Ubaid Al-Qasim berkata, “ hadits-hadits tentang sifat Allah menurut kami adalah benar dan tidak ada keraguan didalamnya. Namun, jika ditanyakan bagaimana Dia meletakkan kaki-Nya dan Bagaimana Dia tertawa, maka kami jawab “Kita tidak menafsirkan ini dan kami tidak mendengar seorangpun yang menafsirkannya.”[7]
Ibnu Mubarak berkata, “Engkau lalui sebagaimana ia datang tanpa bertanya bagaimana.”[8]
Hamad bin Salamah berkata, “Siapa yang engkau lihat mengingkari hadits-hadits (tentang sifat-sifat Allah) ini maka curigailah agamanya.”[9]
Yazid bin Harun berkata, “Siapa yang mendustakan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah maka dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya.”[10]
Ibnu Qutaibah berkata, “Perkataan yang paling adil dalam hadits-hadits ini adalah kita beriman dengan yang shahih. Bahwa kita yakin dengan pengelihatan dan Dia kagum, turun ke langit, diatas Arsy, dzat dan mempunyai kedua tangan. Namun, dalam masalah itu kita tidak mengatakan tatacara, batasan, atau mengqiyaskan dengan apa yang tidak ada dalilnya. Kami berharap ucapan dan keyakinan tersebut menjadi jalan keselamatan besok, Insya Allah.[11]
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kemudian ucapan yang menyeluruh dalam semua bab ini adalah hendaknya Allah itu disifati dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya, dan dengan apa yang disifatkan oleh As-Sabiqunal Awwalun (para generasi pertama), serta tidak melampaui al-qur’an dan hadits.
Madzhab menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan tamtsil.
Beberapa perkataan para salafus shaleh telah jelas memaparkan bagaimana manhaj mereka dalam maslah menetapkan Asma wa Sifat Allah, mereka sangat berhati-hati sekali dalam memahami ayat ataupun hadits tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Mereka tidak terkena syubhat-syubhat ahlu bid’ah yang mana mereka lebih mengedepankan akal daripada syari’at. Karna mereka semua paham bahwa kedudukan akal tidak bisa sejajar ataupun lebih diatasnya syari’at yang di turunkan Allah melalui Rasul-Nya, karna akal manusia di dunia ini terbatas tidak akan bisa memahami hal-hal yang bersifat ghaibiyah.
C. Termasuk Iman Kepada Allah adalah beriman kepada sifat-sifat yang Allah sandangkan pada diri-Nya.
Dalam matan Aqidah Al Wasithiyah Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, “Termasuk iman kepada Allah adalah beriman kepada sifat-sifat yang Allah sandangkan pada diri-Nya, dan didalam kitab-kitab-Nya, dan dengan sifat-sifat yang Rasul-Nya sandangkan kepada-Nya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.[12]
[1] Syarh Aqidah Thohawiyah
[2] Syarah Aqidah Thohawiyah
[3] Al-masail wa Rasa’il Al marwiyah ‘an Imam Ahmad
[4] Al-Lalika’i: Syarh Usul I’tiqod Ahlus Sunnah
[5] Al-Lalika’i :Syarh Usul I’tiqod Ahlus Sunnah
[6] Ibthal At Ta’wilat
[7] Ibthal At-Ta’wilat
[8] Ibthal At-Ta’wilat
[9] Ibid
[10] Ibthal At-Ta’wilat
[11] A’qaidus Salaf
[12] Syarah Aqidah Al Wasithiyah