Fasakh itu didefinisikan oleh al-‘Allamah Rawwas Qal’ah Jie, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, sebagai tindakan pembatalan akad oleh pihak yang mempunyai hak, disertai dengan hilangnya seluruh konsekuensi akad. Jika mengacu kepada definisi ini, maka jelas, Fasakh bisa membatalkan akad nikah dengan segala konsekuensinya, baik kewajiban nafkah, ‘iddah maupun yang lain.
Fasakh itu sendiri bisa terjadi karena dua sebab: Pertama, cacat yang terjadi pada akad. Kedua, faktor yang muncul di tengah jalan, sehingga akadnya tidak bisa dipertahankan.
Mengenai faktor pertama, yaitu cacat yang terjadi pada akad:
1- Ketika akad nikah sudah terjadi, ternyata isteri yang dinikahi itu merupakan wanita yang haram dinikahi (Muharramat Min an-Nikah), maka akad nikahnya otomatis batal, atau Fasakhotomatis.
2- Jika salah satu pasngan suami-isteri dinikahkan saat masih kecil, kemudian setelah baligh, masing-masing boleh memilih untuk meneruskan hubungan suami-isteri, atau mengakhiri hubungan. Ini disebut Khiyar al-bulugh. Jika pilihan yang dijatuhkan oleh pasangan tersebut ternyata berpisah, maka keputusan ini disebut Fasakh.
Faktor kedua, faktor yang muncul di tengah jalan, sehingga akadnya tidak bisa dipertahankan:
1- Jika salah satu pasangan murtad dari Islam, dan tidak kembali, maka akad nikahnya otomatis batal. Ini juga Fasakh otomatis, tanpa menunggu keputusan hakim.
2- Jika isteri masuk Islam, sedangkan sauminya masih Kafir, baik Ahli Kitab maupun Musyrik, maka akad nikahnya juga otomatis batal. Ini juga Fasakh otomatis, tanpa menunggu keputusan hakim. Tetapi, jika suaminya masuk Islam, sedangkan isterinya tetap Kafir, harus dilihat: Jika Kafirnya Ahli Kitab, maka akad nikahnya tetap sah. Tetapi, jika Kafirnya Musyrik, maka akadnya otomasi batal. Dalam hal ini, menurut Sayyid Sabiq, menunggu keputusan hakim, karena boleh jadi isterinya tidak mau berpisah. (Fiqh Sunnah)
Dua hadits ini adalah sebagai dalil atas fasakh dalam nikah yaitu:
- Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ka’ab bin Zaid a
عن كعب بن زيد رضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج امرأة من بني غفا ر فلما دخل عليها فوضع ثوبه ووقعد عل الفراس ابصر بكشحها بياضا فانحا زعنالفراش ثم قا ل خذ ى عليك ثيا بك ولم يأ خذ مماانا هاشيأ . (رواه احمد والبيحقى
“Dari Ka’ab bin Zaid r.a. bahwasanya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. pernah menikahi seorang perempuan Bani Gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatan putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “Ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (H.R. Ahmad dan Al Baihaqi)
- Hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab a :
عن عمر رضيا الله عنه قال: ايما رجل تزوج امرأت و بها جنون او ام اوبرص فمسها فلها صداقها كاملا وذلك لزوجهاغرم على وليها. (رواه مالك والشافعى
“Dari Umar r.a. berkata, “Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan , lalu dari perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, atau kusta, atau balak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahinya dengan sempurna. Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.” (H.R. Malik dan AS Syafi’i)
Sumber: Fiqh Sunnah, Al-Mughni (Ibnu Qudamah)