Dari Ma’mar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa’,” (HR Muslim (1605).
Ada yang bertanya kepada Sa’id (yakni Ibnul Musayyib), “Sesungguhnya engkau menimbun barang?” Sa’id menjawab, “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini juga menimbun barang.”
Kandungan Bab:
- Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran sehingga otomatis harga lambung naik.
- Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan. Apakah berlaku pada semua barang ataukah hanya pada bahan makanan pokok?
At-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (III/567), “Hukum inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnu Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, sakhtiyan (kulit kambing yang sudah disimak) dan sejenisnya.”
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/178-179), “Para ulama berbeda pendapat tentang dalam masalam ihtikar. Dari ‘Umar bahwa ia berkata, ‘Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang mengimport (memasukkan) barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin ataukah musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya’,”
Dari ‘Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan ats-Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar (konsumen).” Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku khusus pada bahan makanan saja karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia. Adapun barang-barang lainnya tidaklah mengapa. Ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin al-Mubarak dan Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku di tempat seperti kota Bashrah dan Bahgdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.”
Al-Hasan dan al-Auza’i berkata, “Barangsiapa memasukkan bahan makanan dari luar lalu ia menyimpannya, menunggu sampai harga melonjak naik, maka ia tidak termasuk penimbunan barang. Penimbunan barang itu ialah memborong barang-barang pasar kaum Muslimin kemudian menimbunnya. Ahmad berkata, ‘Jika masuk bahan makanan (dari luar) dengan usahanya lalu ia menyimpannya, maka ia tidak termasuk penimbunan barang’,” Al-Baghawi berkata, “Meskipun hadits ini datang dengan lafazh yang umum kandungannya, namun penimbunan barang yang dilakukan perawi hadits menunjukkan bahwa hal itu berlaku khusus untuk barang tertentu atau khusus untuk kondisi tertentu karena tidak layak berprasangka buruk terhadap Sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini kemudian menyelisihinya. Demikian pula Sa’id bin al-Musayyib, tidak layak berprasangka negatif terhadapat beliau yang memiliki keutamaan dan ilmu bahwa beliau meriwayatkan hadits kemudian dengan sengaja menyelisihinya. Namun, larangan dalam hadits tersebut dibawakan kepada barang-barang tertentu. Diriwayatkan bahwa beliau menimbun minyak.”
An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim (XI/43), “Hadits ini dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar (penimbunan barang). Rekan-rekan kami (para madzhab Syafi’I mengatakan: ‘Ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan bahan pokok tertentu, yaitu ia membelinya pada saat harga mahal untuk dijualnya kembali. Ia tidak menjualnya saat itu juga, namun ia simpan sampai harganya melonjak naik.’ Adapun apabila ia mendatangkan bahan makanan itu dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya atau ia membelinya karena kebutuhannya kepada bahan makanan atau ia membelinya untuk dijual kembali pada saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidaklah diharamkan penimbunan padanya dalam kondisi bagaimana pun. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami.”
Para ulama mengatakan, “Hikmah pengharaman ihtikar ini adalah untuk mencegah munculnya perkara yang dapat merugikan orang banyak. Sebagaimana halnya para ulama sepakat bahwa bila seseorang memiliki bahan makanan lalu orang-orang sangat membutuhkannya dan mereka tidak mendapatkan selain itu, maka ia boleh dipaksa untuk menjualnya demi mencegah kemudharatan atas orang banyak. Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Sa’id bin al-Musayyib dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka dalam hal ini Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, ‘Sesungguhnya barang yang ditimbun oleh keduanya adalah minyak. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harganya mahal. Demikian juga Imam asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itu yang benar’,”
- Kesimpulan penjelasan para ulama tentang definisi ihtikar ini sebagai berikut:
- Dilihat dari kebutuhan manusian barang tersebut dan dengan tujuan menaikkan harga terhadap kaum Muslimin. Hal ini berlaku pada kebutuhan pokok manusia dan bahan makanan pokok mereka.
- Penimbun barang yang berdosa adalah orang yang keluar masuk pasar untuk memborong kebutuhan pokok kaum Muslimin lalu ia menimbunnya dan melarang orang lain membelinya sehingga terjadilah mudharat dan kesulitan akibat perbuatannya.
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/338), “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum Muslimin. Tidak diharamkan penimbunan selama tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum Muslimin. Sama halnya barang tersebut bahan makanan pokok ataupun yang lainnya karena terpenting adalah tidak menimbulkan mudharat atas mereka.”
- Yang tidak termasuk bentuk ihtikar yang diharamkan adalah sebagai berikut:
- Menyimpan bahan makanan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya pada musim-musim panen yang nantinya untuk dijual kepada masyarakat ketika bahan makanan itu dibutuhkan.
- Orang yang mengimport (mendatangkan) barang dari luar lalu menunggu harga naik. Wallaahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/215-217.