Dari Zainab binti Abi Salamah, ia berkata, “Ketika disampaikan berita kematian Abu Sufyan r.a. di Syam, Ummu Habibah r.a. meminta shufrah (parfum) pada hari ketiga lalu ia mengusap kedua pipinya dan lengannya dengan parfum tersebut lalu ia berkata, ‘Sebenarnya aku tidak butuh parfum ini, kalaulah bukan karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali atas kematian suaminya. la boleh berkabung selama empat bulan sepuluhhari’,” (HR Bukhari [1280] dan Muslim [1486]).
Dari Ummu ‘Athiyyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang wanita berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari. Kecuali atas kematian suaminya. la boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari,” (HR Bukhari [1279] dan Muslim [938]).
Dari ‘Aisyah r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali atas kematian suaminya,” (HR Muslim (1491).
Dari Hafshah binti ‘Umar, isteri Rasulullah saw. dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali atas kematian suaminya,” (HR Muslim [1490]).
Kandungan Bab:
- Seorang wanita Muslimah boleh berkabung atas kematian seseorang selama tiga hari baik orang yang mati itu kerabatnya atau orang lain, namun hukumnya tidak wajib. Karena ulama sepakat sekiranya sang suami mengajaknya berhubungan badan, maka ia tidak boleh menolaknya.
- Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib selama empat bulan sepuluh hari, kecuali wanita hamil, masa berkabungnya adalah sampai ia melahirkan.
- Apabila seorang wanita tidak berkabung atas kematian seseorang yang bukan suaminya untuk membuat ridha suaminya dan untuk menunaikan kebutuhan biologis suaminya, maka hal itu lebih afdhal bagi mereka berdua dan diharapkan akan mendatangkan kebaikan yang besar di balik itu. Dalilnya adalah hadits Ummu Sulaim dan suaminya, Abu Thalhah al-Anshari, dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.