32. Al-Qariib (Yang Maha Dekat)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmuranya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Huud: 61)
Di antara asma’-Nya adalah al-Qariib, dan dekat-Nya terbagi menjadi dua;
Pertama, dekat yang bersifat umum, yaitu ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu dan Dia lebih dekat kepada manusia daripada urat leher, dan Dia dalam pengertian ma’iyyah (bersama) yang umum.
Kedua, dekat yang bersifat khusus dengan mereka yang berdoa dan beribadah serta cinta, yaitu dekat yang membawa kepada cinta, pertolongan, dan bantuan dalam semua gerak dan diam, jawaban (dikabulkan permohonan) bagi orang yang berdoa, diterima dan diberi pahala kepada mereka yang beribadah. Allah ta’alaa berfirman,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku..” (Al-Baqarah: 186)
Apabila makna dekat sudah dipahami seperti pengertian di atas, pada yang umum dan khusus, niscaya tidak ada perbedaan sama sekali antara sifat ini dengan sifat yang sudah dimaklumi tentang adanya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Yang Maha Tinggi pada kedekatan-Nya, Maha Dekat pada ketinggian-Nya.
33. Al-Mujiib (Yang Mengabulkan/Yang Memperkenankan)
Sebagian dari asma’-Nya adalah al-Mujiib bagi doa orang yang berdoa, permintaan orang yang meminta, dan ibadah orang yang beribadah. Pengabulan-Nya terbagi dua;
Pertama, Pengabulan yang bersifat umum bagi setiap orang yang berdoa, baik doa yang berupa ibadah maupun doa yang berupa permintaan (mas-alah). Allah berfirman,
“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (Al-Mu’min: 60)
Doa permintaan adalah seperti seorang hamba berkata, “Yaa Allah, berilah saya seperti ini, atau, Yaa Allah hindarkanlah saya dari yang seperti ini.” Doa/perkataan tadi dilakukan oleh orang baik dan fasik. Allah mengabulkan hal itu bagi setiap orang yang berdoa menurut tuntunan keadaan dan menurut kebijaksanaan-Nya. Ini menjadi dalil kemurahan Allah dan ihsan-Nya yang mencakup orang yang shalih dan fasik. Hal ini semata-mata tidak menunjukkan baiknya keadaan orang yang berdoa, yang diperkanankan doanya, selama tidak adanya indikasi yang menunjukkan baiknya orang tersebut dan kebenaran yang menyertainya. Seperti permohonan dan doa para Nabi untuk menyertainya. Seperti permohonan dan doa para Nabi untuk (kebaikan) kaumnya dan atas (kebinasaan) kaumnya, lalu Allah mengabulkan doa mereka. Hal itu mengindikasikan kebenaran mereka terhadap apa yang mereka bawa dan kemuliaan Rabb mereka. Karena inilah, seringkali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dan dikabulkan Allah, yang disaksikan oleh orang banyak, kaum muslimin dan non muslim. Hal itu mengindikasikan kenabiannya dan tanda kebenarannya. Seperti itu pula yang sering disebutkan tentang terkabulnya doa para wali Allah, sesungguhnya semua itu menunjukkan karamah (kemuliaan) mereka terhadap Allah,
Kedua, Adapun pengabulan yang khusus ada beberapa sebab, di antaranya adalah doa orang yang kesulitan, yang tertimpa kesusahan, dan terkena musibah yang besar/berat. Allah berfirman,
“Atau siapakah yang menjawab (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya…” (An-Naml: 62)
Sebab yang demikian adalah pengharapan yang sangat kepada Allah, dengan sangat merendah dan terputusnya harapan dengan makhluk karena luasnya rahmat Allah yang meliputi semua makhluk menurut kebutuhan mereka kepadanya (rahmat Allah). Bagaimana pula dengan orang yang kesulitan dan berhajat kepada rahmat tersebut?
Sebagian dari sebab dikabulkannya doa adalah perjalanan yang jauh dan bertawassul kepada Allah dengan wasilah (perantara) yang paling disukai-Nya, seperti asma’, sifat, dan segala nikmat-Nya. Demikian pula doa orang yang sakit, yang dizhalimi, orang yang berpuasa, doa seorang ayah atas (kebinasaan) anaknya atau untuk kebaikannya. Doa itu dipanjatkan pada waktu dan keadaan yang mulia, seperti akhir shalat, waktu-waktu sahur, antara adzan dan iqamat, ketika adzan, turun hujan, musibah yang berat dan seumpama yang demikian itu.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.