30. Al-Hafiizh (Yang Maha Pemelihara)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Rabbku Maha Pemelihara segala sesuatu.”
Al-Hafiizh memiliki dua makna;
Pertama, bahwa Dia memelihara hamba-Nya, apa saja yang mereka perbuat, yang baik dan yang buruk, taat dan maksiat. Ilmu-Nya meliputi semua perbuatan mereka, yang zhahir dan bathin. Allah telah menulisnya (menetapkan) di Lauhul Mahfuzh. Dia menjadikan malaikat kiraaman kaatibiin sebagai pengawas (pemelihara) hamba, yaitu mereka mengetahui yang hamba lakukan. Pemeliharaan yang dimaksud di sini menuntut suatu pengertian bahwa ilmu Allah meliputi semua keadaan hamba, zhahir dan bathin (yang ada) di Lauhul Mahfuzh dan di lembaran-lembaran yang ada di tangan malaikat. Pengetahuan tentang kadarnya, kesempurnaan, kekuarangan, dan kadar balasannya, baik pahala maupun siksa, maka Dia memberikan balasan atas semua itu dengan karunia dan adil-Nya.
Kedua, dari dua pengertian al-Hafiizh, diketahui bahwa Allah, Dia-lah yang menjaga hamba-Nya dari segala apa yang mereka benci. Pemeliharaan Allah terhadap hamba-Nya terbagi dua, yaitu secara umum dan khusus.
Secara umum, yaitu pemeliharaan kepada semua makhluk dengan memudahkan baginya segala hal yang menjaga kelangsungan hidupnya, berjalan kepada petunjuk-Nya, dan kepada kebaikannya dengan petunjuk dan arahan-Nya yang umum yang difirmankan-Nya,
“… Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)
Maksudnya, memberi petunjuk kepada setiap makhluk terhadap segala sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditentukan baginya untuk segala keperluannya, seperti petunjuk untuk makan, minum, menikah, dan berusaha untuk mendapatkan hal itu. Hal itu seperti Dia menolak dari mereka berbagai macam bahaya dan mudharat. Pemeliharaan seperti ini didapatkan oleh orang yang shalih dan fasik, bahkan semua makhluk hidup. Dia yang memelihara langit dan bumi dari kehancuran, dan segala makhluk dengan nikmat-Nya. Dia menjadikan beberapa malaikat sebagai pengawas yang memeliharanya dari ketetapan-Nya. Maksudnya, mereka memelihara hamba dari setiap yang mengganggunya. Andaikan tidak mendapatkan perlindungan dari Allah, mereka akan mendapat bahaya.
Pemeliharaan-Nya yang khusus, yakni bagi wali-wali-Nya selain yang terdahulu. Dia memelihara dari setiap yang membahayakan iman mereka atau menggoncangkan imannya, berupa syubhat, fitnah, dan syahwat. Dia menjaga dan mengeluarkan mereka dari hal itu dengan selamat, terpelihara, dan memelihara mereka dari semua musuh dari bangsa jin dan manusia. Menolong dan melindungi mereka dari tipu daya musuh. Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (Al-Hajj: 38)
Hal ini berlaku umum dalam menolak semua yang membahayakan agama dan dunia mereka. Menurut kadar keimanan seorang hamba, sebesar itulah perlindungan/pemeliharaan Allah kepadanya dengan kelembutan-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Peliharalah Allah, niscaya Allah akan memeliharamu.”
Maksudnya, peliharalah perintah Allah dengan melaksanakannya dan peliharalah larangan-Nya dengan menjauhinya. Peliharalah batasan-batasan-Nya dengan tidak melewatinya, niscaya Ia akan memeliharamu pada diri, agama, harta, anak, dan semua yang diberikan Allah kepadamu sebagai karunia-Nya.
31. Al-Lathiif (Yang Maha Lembut terhadap hamba-Nya)
Allah ta’alaa berfirman,
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Asy-Syuura: 19)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 103)
Al-Laathif termasuk nama-Nya yang husna (indah). Dia-lah yang bersifat lembut terhadap hamba-Nya dalam semua perkara tersembunyi, yang berhubungan dengan dirinya, lembut terhadap hamba-Nya dalam perkara yang tidak diketahuinya. Ini adalah pengaruh dari ilmu, kemurahan, dan rahmat-nya. Karena inilah makna al-Lathiif terbagi dua bagian;
Pertama, bahwasanya Dia-lah Yang Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, yang meliputi segala rahasia yang di dalam, tersimpan, samar, suara hati, perkara ghaib, dan yang terkecil dari segala sesuatu.
Kedua, adalah lembut-Nya dengan hamba dan wali-Nya yang ingin mendapatkan kesempurnaan ihsan¬-Nya, kemurahan-Nya yang menyeluruh, dan menaikkannya kepada derajat yang tinggi. Maka Allah memudahkannya untuk mendapatkan yang mudah, menjauhkannya dari kesusahan, dan memberikan kepadanya berbagai macam cobaan yang dibenci dan menyusahkannya, padahal semua itu adalah untuk kebaikannya dan jalan untuk mendapatkan keberuntungannya. Sebagaimana Ia memberikan cobaan kepada para Nabi dengan berbagai gangguan dari kaumnya dan berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana yang diceritakan Allah tentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalaam, bagaimana derajatnya terangkat dan Allah bersifat lembut kepadanya. Allah telah menyediakan di balik semua peristiwa itu hasil yang baik di dunia dan akhirat, dengan takdir yang telah ditentukan-Nya, seperti Ia menguji para wali-Nya dengan segala cobaan yang tidak mereka sukai agar mendapatkan yang mereka inginkan nanti di kemudian hari.
Begitu banyak kelembutan dan kemurahan yang tidak bisa dipahami (oleh manusia) dan tidak terbayangkan. Sering kita temukan seorang hamba yang sangat menginginkan sesuatu berupa perkara dunia seperti kekuasaan, pangkat, dan sebab-sebab yang disukai, lalu Allah memalingkannya dari dunia, dan memalingkan dunia darinya karena sayang kepadanya, agar dunia itu tidak membahayakan agamanya. Kemudian hamba tersebut berduka cita karena kebodohannya dan tidak mengenal Rabb-nya. Jika ia mengetahui yang disimpan untuknya, dari perkara yang ghaib dan kebaikan yang diinginkan untuknya, niscaya ia akan memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya terhadap semua itu. Maka sesungguhnya Allah Maha Belaskasih, Maha Penyayang, dan Maha Lembut dengan para wali-Nya. Dalam sebuah haditsnya yang ma’tsur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yaa Allah, rizki apa pun yang Engkau berikan kepadaku dari apa yang aku sukai, jadikanlah hal itu kekuatan bagiku kepada apa yang Engkau sukai. Apa pun yang Engkau jauhkan dariku dari apa yang aku sukai, jadikanlah hal itu kekosongan bagiku pada apa yang Engkau sukai.”
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.