Allah ta’alaa berfirman,
“Dan mereka meminta kepadamu agar adzab disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.” (Al-Hajj: 47)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa hari yang sepanjang itu maksudnya adalah hari Kiamat.
Dan Allah ta’alaa berfirman juga,
“Seseorang telah meminta didatangkannya adzab yang akan terjadi untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya. (Yaitu adzab) dari Allah, Yang memiliki tempat-tempat yang tinggi. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (Al-Ma’arij: 1-7).
Dalam tafsir Ibnu Katsir telah disebutkan perbedaan pendapat di antara para ulama salaf dan khalaf tentang ayat ini. Laits bin Abu Sulaim dan ulama lainnya, telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas tentang hari yang ukurannya selama 50.000 tahun tersebut. Dia berkata, “Itu adalah ukuran jarak antara ‘Arsy dan bumi ketujuh.”
Adapun mengenai firman Allah ta’alaa,
“Dalam satu hari yang kadar (lama)-nya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (As-Sajdah: 5).
Maka menurut Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu, maksudnya adalah lamanya waktu yang ditempuh bagi turunnya perintah dari langit ke bumi dan naik lagi dari bumi ke langit. Karena jarak langit dan bumi adalah selama perjalanan 500 tahun.
Pendapat ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Jarir dari Mujahid, dan diikuti pula oleh Al-Farra’.
Demikian pula pendapat Abu Abdillah al-Hulaimi, sebagaimana dikutip al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitabnya, Al-Ba’tsu wa An-Nusyur. Al-Hulaimi berkata, “Malaikat menempuh jarak tersebut dalam tempo setengah hari. Karena jika itu merupakan ukuran jarak yang bisa ditempuh, maka takkan ada seorang pun yang bisa menempuhnya kembali dalam jangka 50.000 tahun.” Oleh karena itu al-Hulaimi menegaskan, “Tidak mungkin ini merupakan ukuran hari Kiamat.” Untuk memperkuat pendapatnya itu, al-Hulaimi beralasan dengan firman Allah ta’alaa dalam surat al-Ma’arij ayat 4.
Bahwa kata “Yaum” diartikan “Masafah” (jarak). Jadi maksudnya para malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Allah, dengan menempuh jarak yang jauhnya bisa ditempuh selama 50.000 tahun perjalanan.
Berdasarkan pendapat ini, berarti yang dimaksud “Yaum” adalah jarak tempat, demikian pendapat yang pertama.
Sementara itu, ada pula pendapat kedua yang mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah umur dunia.
Pendapat ketiga mengatakan, yang dimaksud adalah waktu pemisah antara dunia dan Hari Kiamat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi. Pendapat ini gharib.
Dan pendapat keempat mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah Hari Kiamat, demikian menurut riwayat lainnya oleh Ibnu Abi Hatim juga, dimana beliau mengatakan, “Kami mendengar dari Ahmad bin Sinan al-Wasithi, dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, mengenai hari yang kadarnya 50.000 tahun. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Itu adalah Hari Kiamat.’ Sanad periwayatannya shahih.”
Pendapat yang terakhir ini telah diriwayatkan pula oleh ats-Tsauri dari Sammak, dari Ikrimah, dari perkataan Ibnu Abbas. Dan agaknya merupakan pendapat al-Hasan, adh-Dhahhak. Dan ibnu Zaid.
Ibnu Abi Dunya berkata, “Kami mendengar dari Muhammad bin Idris, dari Al-Hasan, dari Rafi’, dari Dhamrah, dari Syaudzab, dari Zaid ar-Rusyd, dia berkata, ‘Pada Hari Kiamat manusia berdiri selama seribu tahun, sedang pengadilan di antara mereka dilaksanakan dalam ukuran waktu sepuluh ribu tahun.’”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata, “Hari Kiamat itu dijadikan Allah bagi orang-orang kafir terasa selama lima puluh ribu tahun.”
Dan berkata al-Kalabi dalam Tafsir-nya, dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata, “Andaikan penghitungan amal manusia (hisab) itu dilakukan oleh selain Allah, niscaya tidak akan selesai dalam waktu lima puluh ribu tahun.”
Sedang al-Baihaqi mengatakan, bahwa al-Hasan berkata, “Dapatkah kamu bayangkan suatu hari, dimana manusia berdiri selama lima puluh ribu tahun tanpa makan sesuap dan tanpa minum seteguk, sehingga leher mereka terpotong-potong karena kehausan, dan perut mereka terbakar karena kelaparan. Sesudah itu mereka dibawa ke neraka, dimana mereka kemudian diberi minum dari sumber air panas, yang benar-benar sangat panas dan benar-benar matang?”
Ini semua memang telah diriwayatkan dalam berbagai hadits. Wallahu a’lam.
Sumber: Ibnu Katsir. Huru-Hara Hari Kiamat “An-Nihayah: Fitan wa Ahwaalu Akhiruz-Zamaan”. Terj. Anshari Umar Sitanggal, H. Imron Hasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002.