Sesudah munculnya Ya’juj dan Ma’juj masih ada orang yang menunaikan haji dan umrah
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di Baitullah ini akan tetap ada orang yang berhaji dan berumrah setelah munculnya Ya’juj dan Ma’juj.”
Menjelang hari Kiamat tidak ada lagi orang yang berhaji’
Diriwayatkan dari Qatadah Radliyallahu ‘anhu, bahwasanya,
“Kiamat takkan terjadi sehingga tidak ada lagi orang yang berhaji di Baitullah ini.”
Tidak ada pertentangan antara kedua periwayatan di atas. Karena Ka’bah tetap dikunjungi oleh orang yang berhaji maupun berumrah setelah munculnya Ya’juj dan Ma’juj, yakni setelah kaum muslimin tenteram kembali dan memperoleh rizki yang melimpah pada masa al-Masih Isa bin Maryam ‘Alaihissalaam.
Sesudah itu barulah Allah mengirim angin sejuk yang mencabut nyawa setiap mukmin. Nabi Isa ‘Alaihissalaam termasuk yang meninggal waktu itu, lalu dishalati kaum muslimin dan dikubur dekat pusara Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesudah itu terjadilah perobohan Ka’bah oleh Dzusuwaiqatain, meskipun mulai munculnya pada masa Nabi Isa ‘Alaihissalaam, sebagaimana dikatakan oleh Ka’ab al-Ahbar.
Perobohan Ka’bah oleh Dzusuwaiqatain
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radliyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ka’bah ini akan dirobohkan oleh Dzussuwaiqatain dari Habasyah. Dia merampas perhiasannya, dan melepas kiswahnya. Aku seakan-akan melihatnya, orangnya kecil botak dan dengan tulang-tulang persendian yang bengkok, sedang menghantam Ka’bah dengan sekop dan kapaknya.’”
Dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin Amr juga, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Biarkan orang-orang Habasyah selagi mereka membiarkan (tidak mengganggu) kamu. Sesungguhnya tidak akan ada orang yang (berani) membongkar barang-barang simpanan dalam Ka’bah selain Dzussuwaiqatain dari Habasyah.”
Dan menurut riwayat Imam Ahmad pula dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malam dan siang takkan berhenti bergulir sebelum ada seorang lelaki dari kalangan kaum budak menjadi raja, dia bernama Jahjah.”
Keluarnya binatang melata yang bisa berbicara dari dalam tanah
Allah ta’alaa berfirman,
“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, maka Kami keluarkan sejenis binatang melata dari dalam bumi, yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” (An-Naml: 82).
Menurut Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah, binatang itu memang benar-benar berbicara kepada manusia. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Jarir, bahwa binatang itu memang berbicara kepada mereka, yakni mengatakan, “Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”
Agaknya Ibnu Jarir menceritakan pula tafsiran yang sama dari Atha’ dan Ali. Tapi, benarkah keduanya mengatakan seperti itu, masih perlu penelitian.
Sementara itu ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kata-kata “Tukallimuhum” (binatang itu berbicara kepada manusia), maksudnya binatang itu membeberkan identitas mereka, yakni menulis pada dahi orang kafir “kafir”, dan pada dahi orang mukmin, “mukmin”.
Dan ada pula riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa maksudnya, binatang itu berbicara kepada manusia dan juga membeberkan identitas mereka masing-masing. Tafsiran yang terakhir ini mencakup dua pendapat tersebut di atas. Dan tentu saja merupakan tafsiran yang kuat dan baik, karena memuat kedua-duanya. Tapi, Allah jualah yang lebih tahu.
Matahari terbit dari barat
Taubat tidak diterima setelah terbitnya matahari dari barat
Allah ta’alaa berfirman,
“Yang mereka tunggu-tunggu tidak lain hanyalah kedatangan para malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa), atau datangnya Tuhan-mu atau datangnya sebagian tanda-tanda Tuhan-mu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhan-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri, yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).’” (Al-An’am).
Imam al-Bukhari meriwayatkan, bahwa perawi hadits ini berkata, bercerita kepada kami Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kiamat takkan terjadi sebelum matahari terbit dari barat. Apabila manusia telah melihatnya. Maka berimanlah seluruh penduduk bumi. Tetapi pada saat itu tidak bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya, yang sebelumnya tidak beriman.”
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Dzar Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tahukah kamu kemana perginya matahari ini apabila telah terbenam?” “Tidak.” Jawabku.
Rasul bersabda, “Sesungguhnya dia pergi bersujud di bawah ‘Arsy, kemudian meminta izin (untuk tidak terbit lagi). Oleh karena itu tidak lama lagi akan dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah dari mana kamu datang.’ Maka pada saat itulah iman seseorang tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, yang sebelumnya tidak beriman, atau (belum) melakukan kebaikan selama masa imannya.”
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi –dan beliau mengatakan hadits ini shahih- , an-Nasa’i dan ibnu Majah, dari Shafwan bin ‘Assal, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah membuka pintu taubat di arah barat, lebarnya tujuh puluh atau empat puluh hasta. Pintu itu takkan ditutup sebelum matahari terbit (dari sana).”
Hadits-hadits tersebut merupakah dalil, bahwa orang yang baru beriman atau bertaubat setelah matahari terbit dari barat, maka iman dan taubatnya tidak diterima. Karena –dan Allah tentu lebih tahu- terbitnya matahari dari barat itu termasuk pertanda Kiamat terbesar yang menunjukkan betapa sudah sangat dekatnya hari yang maha dahsyat itu, sehingga kejadian itu diperlakukan seolah-olah Kiamat sudah benar-benar terjadi.
Sumber: Ibnu Katsir. Huru-Hara Hari Kiamat “An-Nihayah: Fitan wa Ahwaalu Akhiruz-Zamaan”. Terj. Anshari Umar Sitanggal, H. Imron Hasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002.