Larangan Mengerjakan Shalat Menghadap Orang Tidur dan Mengobrol

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah shalat di belakang (menghadap) orang tidur dan orang mengobrol.” (Shahih, HR Abu Dawud [694], Ibnu Majah [959], al-Hakim [IV/270] dan al-Baihaqi [11/279] ath-Thabrani dalam al-Ausath [737]).

Kandungan Bab: 

  1. Dilarang (makruh hukumnya) mengerjakan shalat di belakang (menghadap) orang tidur, karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang dapat mengganggu shalatnya. Demikian pendapat Mujahid dan Thawus seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [11/258].

    Hadits ‘Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, dalam Bab: “Shalat di Belakang Orang Tidur”, disebutkan di dalamnya, “Bahwa Nabi saw. pernah tidur sedang aku tidur di atas tilam di depan beliau. Apabila beliau hendak mengerjakan witir, maka beliau akan membangunkanku lalu aku pun mengerjakan witir.”

    Hadits tersebut tidaklah bertentangan dengan hadits bab di atas. Karena dalam beberapa riwayat Bukhari menunjukkan bahwa ‘Aisyah hanya berbaring melintang di depan Rasulullah, tidak tidur. Dalam bab sebelumnya disebutkan, “Sungguh aku melihat Rasulullah saw. mengerjakan shalat sementara aku berada di depan beliau, aku berbaring di atas tempat tidur. Sebenarnya aku ingin beranjak untuk suatu hajat namun aku tidak mau menghadap beliau, lalu akupun mundur dengan perlahan.”

    Dalam bab sesudahnya disebutkan, “Aku tidur di hadapan Rasulullah saw, sementara kedua kakiku tepat berada di arah kiblat beliau, apabila hendak sujud beliau menggerakkan kakiku lalu aku pun menariknya. Apabila beliau bangkit (dari sujud) aku pun meluruskannya kembali.”

    Dalam hadits bab di atas, larangan shalat menghadap orang tidur berlaku apabila orang tidur itu sudah tidak sadar terhadap apa yang dilakukannya (lelap-ed.). Wallaahu a’lam. 

  2. Dilarang (makruh hukumnya) shalat di belakang (menghadap) orang mengobrol. Karena dapat mengganggu konsentrasinya dan dapat mengacaukan ibadahnya serta dapat menghilangkan kekhusyu’annya. Pendapat ini dinukil juga dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/473-474.