وَإِذْ نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم بَلاءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ , وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu. (QS. 2:49) Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan. (QS. 2:50)
Allah Ta’ala berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah kalian akan nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, yang mereka itu menimpakan siksaan yang sangat berat.” Yaitu, Aku telah menyelamatkan kalian dari mereka dan mem-bebaskan kalian dari tangan mereka, dengan ditemani Musa ‘alaihissalam, padahal dahulu Fir’aun dan para pengikutnya menimpakan adzab yang sangat hebat kepada kalian.
Hal itu dikarenakan bahwa Fir’aun yang dilaknat Allah itu pernah bermimpi yang sangat merisaukannya. Ia bermimpi melihat api yang keluar dari Baitul Maqdis. Kemudian api itu memasuki rumah orang-orang Qibti di Mesir kecuali rumah Bani Israil. Makna mimpi tersebut adalah bahwa kerajaannya akan lenyap binasa melalui tangan seseorang yang berasal dari kalangan Bani Israil. Kemudian dilaporkan, yaitu setelah teman-teman bercakapnya membicarakannya di hadapannya, bahwa Bani Israil sedang menunggu lahirnya seseorang bayi laki-laki di antara mereka, yang karenanya mereka akan mempunyai kekuasaan dan kedudukan tinggi. Demikianlah yang diriwayatkan dalam hadits yang membahas tentang fitnah. Pada saat itu, Fir’aun pun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil yang dilahirkan setelah mimpi itu, dan membiarkan bayi-bayi perempuan tetap hidup. Selain itu, Fir’aun juga memerintahkan agar mempekerjakan Bani Israil dengan berbagai pekerjaan berat dan hina.
Dalam ayat ini al-‘adzab ditafsirkan dengan penyembelihan anak laki-laki. Sedangkan pada surat Ibrahim, disebutkan dengan kata sambung “و” (dan), sebagaimana pada firman-Nya,
Î فِرْعَوْنَ يَسُـومُونَكُمْ سُـوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَآءَكُمْ Ï “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” (QS. (Ibrahim: 6) Penafsiran mengenai hal ini akan dikemukakan pada awal surat al-Qashash, insya Allah, dengan memohon per-tolongan dan bantuan-Nya.
Kata Î يَسُومُونَكُمْ Ï artinya menimpakan kepadamu, demikian kata Abu Ubaidah. Dikatakan (( سَامَهُ خُطَّةُ خَسْفٍ )), artinya telah menimpanya perkara/ urusan yang hina (aib). Amr bin Kaltsum mengatakan:
إِذَا مَا الْمَلِكُ سَامَ النَّاسَ خَـسْفًا * أَبَيْـنَا أَنْ نُقِرَّ الْخَـسْفَ فِيْـنَا
Jika sang raja menimpakan kehinaan kepada manusia, kita enggan dan menolak kehinaan ada di antara kita.
Î يَسُومُونَكُمْ Ï ada juga yang mengartikan dengan memberikan siksaan yang terus menerus. Sebagaimana kambing yang terus digembala disebut سَائءِمَةُ الْغَنَمِ. Demikian yang dinukil oleh al-Qurthubi.
Di sini Allah Ta’ala berfirman, Î يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ وَيَسْتَحْـيُونَ نِسَآءَكُمْ Ï “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan,” tiada lain sebagai penafsiran atas nikmat yang diberikan kepada mereka yang terdapat dalam firman-Nya, “Mereka menimpakan kepada kamu siksaan yang seberat-beratnya.” Ditafsirkan demikian karena di sini Allah berfir-man, Î اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِـي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ Ï “Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu.”
Sedang dalam surat Ibrahim, ketika Dia berfirman, Î وَذَكِّرْهُم بِأَيَّامِ اللهِ Ï “Dan ingatlah mereka kepada hari-hari Allah.” Maksudnya, berbagai nikmat-Nya yang telah diberikan kepada mereka. Maka tepatlah jika disebutkan disana, Î يَسُومُونَكُمْ سُـوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنآءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسآءَكُمْ Ï “Mereka menimpakan ke-pada kalian siksaan yang seberat-beratnya. Mereka meyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” Disambung-kannya hal itu dengan penyembelihan untuk menunjukkan jumlah nikmat yang sangat banyak yang telah diberikan kepada Bani Israil.
Fir’aun merupakan gelar bagi setiap raja Mesir yang kafir, baik yang berasal dari bangsa Amalik maupun lainnya. Sebagaimana Kaisar merupakan gelar bagi setiap raja yang menguasai Romawi dan Syam dalam keadaan kafir. Demikian halnya dengan Kisra yang digelarkan bagi raja persia. Juga Tubba’ bagi penguasa Yaman yang kafir. Najasyi bagi raja Habasyah. Dan Petolemeus merupakan gelar raja India.
Dikatakan, bahwa Fir’aun yang hidup pada masa Musa ‘alaihissalaam bernama Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada juga yang menyebut, Mush’ab bin Rayyan. Ia berasal dari silsilah Imlik bin Aud bin Iram bin Sam bin Nuh, julukannya adalah Abu Murrah, aslinya adalah Persia, dari ‘Asthakhar. Bagaimanapun, Fir’aun adalah dilaknat Allah.
Firman-Nya, Î وَفيِ ذَلِكُمْ بَلآَءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ Ï “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian yang besar dari Rabb-mu,” Ibnu Jarir mengatakan, artinya, “Dalam tindakan Kami terhadap kalian dengan menyelamatkan nenek moyang kalian dari siksaan Fir’aun dan para pengikutnya yang telah menimpa kalian mengan-dung ujian yang besar dari Rabb kalian. Ujian itu bisa berupa kebaikan dan bisa juga keburukan.” Sebagaimana firman Allah Ta’ala: Î وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً Ï “Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiya’: 35)
Demikian juga dengan firman-Nya: Î وَبَلَوْنَاهُم بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ Ï “Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raaf: 168)
Ibnu Jarir mengatakan, kata yang sering digunakan untuk menyatakan ujian dengan keburukan adalah بَلَوْتُهُ، أَبْلُوهُ، بِلاَءً. Yang digunakan untuk menyatakan ujian dengan kebaikan adalah أُبْلِيْهِ، إِبْلاَءً، وَبَلاَءً. Zuhair bin Abi Salma pernah bersyair:
جَزَى اللهُ بِاْلإِحْسَانِ مَا فَعَلاَبِكُمْ * وَأَبْلاَهُمَا خَيْرَ الْبَلاَءِ الَّذِي يَبْلُوْ
Allah akan memberikan balasan kebaikan atas apa yang mereka berdua perbuat terhadap kalian.
Dan membalas mereka berdua dengan sebaik-baik balasan yang menguji.
Di sini dia menggabungkan dua versi bahasa, karena maksudnya Allah, mengaruniai mereka berdua sebaik-baik nikmat yang Dia ujikan kepada para hamba-Nya.
Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala, Î وَفيِ ذَلِكُمْ بَلآءٌ Ï “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian.” Merupakan isyarat pada keadaan di mana mereka menerima siksaan yang menghinakan dengan disembelihnya anak laki-laki dan, dibiarkan hidup anak bayi perempuan. Al-Qurthubi mengatakan: ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Firman Allah Ta’ala:
Î وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا ءَ الَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ Ï “Dan ingatlah ketika Kami belah lautan untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan para pengikutnya, sedang kamu sendiri menyaksikannya.” Artinya, setelah Kami menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan para pengikutnya, lalu kalian berhasil keluar dan pergi dari Mesir bersama Musa ‘alaihissalaam, maka Fir’aun pun pergi mencari kalian. kemudian Kami belah lautan untuk kalian.
Sebagaimana hal itu telah diberitahukan Allah Ta’ala secara rinci, yang insya Allah akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya antara lain di surat Asy-Syu’ara’.
Firman-Nya, Î فَأَنجَيْنَاكُمْ Ï “Lalu Kami selamatkan.” Artinya, Kami bebaskan kalian dari kejaran mereka dan Kami pisahkan antara kalian dengan mereka hingga akhirnya Kami tenggelamkan mereka, sedang kalian menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, agar hal itu dapat menjadi pengobat hati kalian dan menjadi hinaan yang mendalam bagi musuh-musuh kalian.
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhumaa, ia menceritakan, Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sampai di Madinah, kemudian beliau menyaksikan orang-orang Yahudi mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau pun bersabda: “Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah Ta’ala menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa padanya.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian.” Kemudian beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِن بَعْدِهِ وَأَنتُمْ ظَالِمُونَ , ثُمَّ عَفَوْنَا عَنكُمِ مِّن بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ, وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, se-sudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan-mu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. 2:51) Kemudian sesudah itu Kami ma’afkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (QS. 2:52) Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. 2:53)
Allah Ta’ala menuturkan dalam firman-Nya, “Ingatlah berbagai nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, yaitu berupa pengampunan yang Ku-berikan kepada kalian atas tindakan kalian menyembah anak sapi setelah kepergian Musa untuk waktu yang ditentukan Rabb-Nya, ketika habis masa perjanjian itu yang berjumlah 40 hari.” Itulah perjanjian yang disebutkan dalam surat al-A’raaf dalam firman-Nya: Î وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ Ï “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa tiga puluh hari dan Kami menam-bahnya dengan sepuluh hari.” (QS. Al-A’raaf: 142)
Ada pendapat yang menyatakan, yaitu bulan Dzulqa’dah penuh ditambah dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Hal itu terjadi setelah mereka bebas dari kejaran Fir’aun dan selamat dari tenggelam ke dasar laut.
Firman-Nya, Î وَإِذْ ءَ اتَيْنَا مُوسَـى الْكِتَابَ Ï “Dan ingatlah ketika Kami mem-berikan al-Kitab kepada Musa”, yakni kitab Taurat. Dan Î وَالْفُرْقَانَ Ï, yaitu kitab yang membedakan antara yang hak dengan batil, dan (membedakan pula antara) petunjuk dan kesesatan. Î لَعَلَّكُـمْ تَهْتَـدُونَ Ï “Agar kamu mendapat petunjuk.” Peristiwa tersebut juga terjadi setelah mereka berhasil keluar dari laut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh konteks ayat yang terdapat dalam surat al-A’raaf, juga firman-Nya:
Ïوَ لَقَدْ ءَ اتَيْنَا مُوسَـى الْكِتَابَ مِن بَعْدِ مَآأَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأُولَـى بَصَآئِرَ لِلنَّاسِ وَ هُدًى وَ رَحْمَةً لَّعَلَّهُـمْ يَتَذَكَّرُونَ Î
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa se-sudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia, petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 43)
Ada yang berpendapat, “wawu” pada ayat tersebut adalah “zaidah” (tambahan), dan artinya, “Kami telah memberikan kepada Musa Kitab al-Furqan.” Dan pendapat ini gharib (aneh).
Ada juga pendapat yang menyatakan, “wawu” itu adalah “wawu ‘athaf” (kata sambung meskipun bermakna sama). Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair:
وَقَـدَّدَمَتِ الأَدِيْمَ لِـرَاقِشِـيْهِ * فَأَلْفَـى قَوْلَـهَا كِـذَبًا وَمَيْنَا
Dia menyerahkan kulit kepada yang akan mengukirnya
Ternyata kata-katanya hanya dusta dan bualan
Jadi dusta dalam syair di atas juga bermakna kebohongan
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:”Hai kaumku, se-sungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu), maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikanmu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikanmu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang. (QS. 2:54)
Mengenai firman Allah Ta’ala,
Î وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ Ï “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah me-nganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sebagai sembahamu),” Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, Musa mengatakan demikian itu ketika hati mereka diliputi kesesatan oleh penyembahan anak lembu seperti yang terjadi, hingga Allah Ta’ala berfirman:
Î وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِن لَّمْ يَـرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِـرْ لَنَا Ï “Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata: ‘Sungguh jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami.'” (QS. Al-‘Araaf: 149)
Kata Hasan al-Bashri, hal itu ketika Musa berkata,
Î لِقَوْمِـهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَـاذِكُمُ الْعِجْلَ Ï “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzhalimi dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu).”
Mengenai firman-Nya, Î فَتُوبُوا إِلىَ بَارِئِكُمْ Ï “Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikanmu,” Abu al-Aliyah, Sa’id bin Jubair dan Rabi’ bin Anas mengatakan, yaitu kepada penciptamu.
Firman-Nya, Î إِلَى بَارِئِكُمْ Ï “Kepada Rabb yang menjadikanmu,” menurut penulis (Ibnu Katsir) mengandung peringatan akan besarnya kejahatan yang mereka lakukan. Artinya, bertaubatlah kalian kepada Rabb yang telah menciptakan kalian, setelah kalian beribadah kepada yang lain bersama-Nya.
Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika Musa ‘Alaihissalaam kembali kepada kaumnya, di antara mereka ada tujuh puluh orang laki-laki yang beruzlah (mengasingkan diri) bersama Harun dengan tidak menyembah anak lembu, maka Musa berkata kepada mereka (kaumnya); “Berangkatlah menuju janji Rabb kalian.” lalu mereka pun berkata, “Hai Musa, apakah masih bisa bertaubat?” Musa menjawab, “Masih,
Î فَاقْتُلُوا أَنْفُسَـكُمْ خَيْرُ لَّكُمْ عِنْـدَ بَارِئِكُمْ فَتَـابَ عَلَيْـكُم Ï “Bunuhlah diri kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Rabb yang telah menjadikan kalian, sehingga Dia pun akan menerima taubat kalian.” Maka mereka pun melepaskan pedang dari sarungnya, dan mengeluarkan alat-alat potong juga pisau-pisau. Lalu Allah pun mengirim kabut kepada mereka, lalu mereka saling mencari-cari dengan tangannya masing-masing, lalu saling membunuh. Ada seseorang berhadapan dengan bapaknya dan saudaranya, lalu membunuhnya sedangkan ia dalam keadaan tidak mengetahuinya. Pada saat itu mereka saling berseru, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada hamba yang bersabar atas dirinya sampai ia mendapatkan ridha-Nya.” Akhirnya mereka yang terbunuh adalah sebagai syuhada’, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima taubatnya.
Kemudian ia membaca firman-Nya, Î فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Ï “Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dia Mahamenerima taubat lagi Mahapenyayang.”
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)