Surah Al-Baqarah Bag. 16

Cover Tafsir

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُواْ بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ , وَآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada-mu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada-mu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). (QS. 2:40) Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah, dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa. (QS. 2:41)

Melalui firman-Nya ini, Allah Ta’ala memerintahkan Bani Israil untuk masuk agama Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta menggugah mereka dengan menyebutkan bapak mereka, Israil, yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Pengertiannya, “Hai anak-anak hamba shalih yang taat kepada Allah, jadilah kalian seperti ayah kalian (Ya’qub) dalam mengikuti kebenaran.” Hal itu seperti jika anda mengatakan, “Wahai anak orang yang mulia, berbuatlah seperti ini. Wahai anak si pemberani, tandingilah para pahlawan,” atau juga, “Hai anak orang alim, tuntutlah ilmu.” Dan lain sebagainya. Dan di antara hal itu juga adalah firman Allah Ta’ala: Î ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا Ï “Yaitu anak cucu dari orang-orang yang kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya ia adalah hamba (Allah) yang banyak besyukur.” (QS. Al-Isra’: 3)

Dengan demikian yang dimaksud dengan Israil adalah Ya’qub. Di-riwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa Israil seperti ungkapan anda, Abdullah.

Dan firman-Nya, Î اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ Ï “Ingatlah akan nikmat-ku yang Aku anugerahkan kepadamu.” Mujahid mengatakan, yaitu nikmat yang dikaruniakan Allah kepada mereka, yang disebutkan maupun tidak, di antara-nya berupa memancarnya mata air dari batu, turunnya manna (makanan manis seperti madu) dan salwa (burung sebangsa puyuh) dan selamatnya mereka dari perbudakan Fir’aun.

Abu al-Aliyah mengatakan, “Nikmat Allah itu berupa ketetapan-Nya untuk menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul serta menurunkan kepada mereka kitab-kitab.”

Mengenai hal ini, penulis katakan bahwa yang demikian itu seperti ucapan Musa u kepada mereka (Bani Isra’il):

Ïيَاقَـوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُـمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُـمْ أَنْبِيَآءَ وَ جَعَلَكُـم مُّلُوكًا وَ ءَ اتَاكُـم مَّالَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّنَ الْعَالَمِيـنَ Î

“Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah yang diberikan kepadamu ketika Dia meng-angkat nabi-nabi di antara kamu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada-mu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.(QS. Al-Maidah: 20) Yaitu pada zaman mereka.

Firman-Nya, Î وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ Ï “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” Yaitu janji yang telah Aku ambil darimu untuk mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika datang kepadamu, maka Aku akan memenuhi apa yang telah Aku janjikan kepadamu, karena membenar-kan dan mengikutinya, dengan melepaskan beban dan belenggu yang ada padamu dikarenakan dosa-dosa atas perbuatanmu.

Hasan al-Bashri mengatakan, itulah makna firman Allah Ta’ala:

Ïوَلَقَدْ أَخَذَاللهُ مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَى عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللهُ إِنِّـي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاَةَ وَءَ اتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَءَ امَنتُم بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرِضْتُمُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا لأُكَفِّرَنَّ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ Î

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah ber-firman, “Sesung-guhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan me-nunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik; sesungguhnya Aku akan meng-hapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (QS. Al-Maidah: 12)

Dan firman-Nya, Î وَإِيَّاىَ فَارْهَبُونِ Ï “Dan hanya kepada-Ku kamu harus takut (tunduk).” Artinya, hendaklah kalian takut Aku akan menurunkan kepada kalian apa yang aku turunkan kepada nenek moyang sebelum kalian berupa berbagai macam musibah yang kalian sendiri telah mengetahuinya, seperti perubahan bentuk muka dan lain-lainnya.

Ini merupakan perpindahan dari targhib ke tarhib, di mana dengan targhib dan tarhib itu Allah menyeru mereka untuk kembali kepada kebenaran, mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, berpegang pada al-Qur’an, menaati perintah-Nya, membenarkan berita-berita yang disampaikan-Nya, dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Oleh karena itu Dia berfirman: Î وَءَ امِنُوا بِمَآأَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ Ï “Dan berimanlah kepada apa yang Aku turunkan, yang membenarkan apa yang ada padamu.” Artinya, wahai sekalian ahlul kitab, percayalah kepada kitab telah Aku turunkan, yang membenarkan apa yang ada pada kalian. Yang demikian itu karena mereka mendapatkan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tertulis di dalam kitab Taurat dan Injil yang ada pada mereka.

Firman-Nya, Î وَلاَ تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ Ï “Dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya.” Sebagian penafsir mengatakan, yaitu satu kelompok yang pertama kali kafir terhadapnya. Ibnu Abbas mengatakan, artinya, janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali kafir terhadapnya sedang kalian memiliki pengetahuan tentang hal itu yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Abu al-Aliyah mengatakan, artinya, janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali kafir kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari golongan ahli kitab setelah kalian mendengar pengutusannya.

Demikian juga yang dikemukakan oleh Hasan al-Bashri, as-Suddi dan Rabi’ bin Anas. Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir bahwa dhamir (kata ganti) dalam “bihi” itu kembali kepada al-Qur’an yang telah disebutkan pada firman-Nya, Î بِمَآأَنزَلْتُ Ï “Yang telah Aku turunkan.”

Kedua pendapat di atas adalah benar, sebab keduanya saling berkaitan. Karena orang yang kafir terhadap al-Qur’an berarti telah kafir kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang yang kafir kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berarti telah kafir kepada al-Qur’an.

Sedangkan firman-Nya, Î أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ Ï “Orang yang pertama kali kafir kepadanya.” Yakni orang yang pertama kali kafir kepadanya dari Bani Israil, karena banyak orang yang telah mendahului mereka dari orang-orang kafir Quraisy dan suku Arab. Dan yang dimaksud dengan orang yang pertama kali kafir kepadanya adalah orang dari kalangan Bani Israil sendiri, karena orang Yahudi Madinah merupakan Bani Israil yang pertama kali menjadi sasaran firman dengan al-Qur’an. Maka kekafiran mereka kepadanya menunjukkan bahwa mereka adalah yang pertama kali kafir kepadanya dari bangsa mereka.

Dan firman-Nya, Î وَلاَ تَشْـتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً Ï “Dan janganlah kamu me-nukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah.” Artinya, janganlah kalian menukar iman kalian kepada ayat-ayat-Ku dan pembenaran kepada rasul-Ku dengan dunia dan segala isinya yang menggiurkan, karena ia merupakan suatu yang sedikit lagi binasa (tidak kekal).

Sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin al-Mubarak, dari Abdur Rahman bin Zaid bin Jabir, dari Harun bin Yazid, bahwa Hasan al-Bashri pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala, Î ثَمَنًا قَلِيـلاً Ï “Harga yang murah,” maka ia pun menjawab, “Harga yang murah adalah dunia dan segala isinya.”

Mengenai firman-Nya, Î وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً Ï “Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah,” Abu Ja’far meriwayatkan dari Rabi’ bin Anas, dari Abu al-Aliyah, artinya, “Janganlah kalian mengambil upah dari sebab mengajarkannya,” hal itu telah tertulis bagi mereka di kitab terdahulu, “Hai anak Adam ajarkan dengan cuma-cuma sebagaimana halnya kalian di ajarkannya juga dengan cuma-cuma.”

Dalam kitab Sunan Abi Dawud diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, katanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمَ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang semestinya dicari untuk memperoleh ridha Allah, kemudian ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kemewahan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.(HR. Abu Dawud)

Adapun pengajaran ilmu dengan pemberian upah, jika hal itu merupakan suatu fardhu ain terhadap dirinya, maka tidak dibolehkan baginya mengambil upah darinya, tetapi dibolehkan baginya menerima dari Baitul Mal guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Tetapi jika ia tidak memperoleh suatu apapun dari pengajarannya dan hal itu menghalanginya dari mencari penghasilan, maka berarti pengajaran tersebut tidak menjadi fardhu ain, dan dengan demikian dibolehkan baginya mengambil upah mengajar. Demikian menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Sa’id, tentang kisah orang yang tersengat kalajengking, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ

“Sesungguhnya yang lebih berhak kalian ambil darinya upah adalah Kitabullah.

Demikian juga tentang kisah seorang wanita yang dilamar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Aku nikahkan engkau kepadanya dengan mahar berupa surat yang engkau hafal dari al-Qur’an.

Sedangkan hadits Ubadah bin ash-Shamit, di mana ia pernah mengajarkan kepada salah seorang dari ahli Shuffah sesuatu dari al-Qur’an, lalu orang itu memberinya hadiah berupa busur panah. Kemudian ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda:

إِنْ أَحْبَبْتَ أَنْ تُطَوَّقَ بِقَوْسٍ مِنْ نَّارٍ فَاقْبَلْهُ

“Jika engkau suka dikalungi dengan busur dari api neraka, maka terimalah busur tersebut.” (HR. Abu Dawud). Maka orang itu akhirnya menolak pem-berian busur itu.

Hal serupa juga diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab sebagai hadits marfu’. Jika isnadnya hadits ini shahih, menurut kebanyakan para ulama, di antaranya Abu Umar bin Abdul Barr, dapat dipahami sebagai ilmu yang diajarkan oleh Allah, sehingga setelah itu tidak diperbolehkan baginya untuk menukar pahala dari-Nya dengan busur panah. Namun, jika sejak semula pengajarannya dengan upah, maka yang demikian itu juga dibenarkan, sebagaimana yang telah di-terangkan dalam kedua hadits terakhir di atas. Wallahu a’lam.

Dan firman-Nya, Î وَإِيَّـاىَ فَاتَّقُـونِ Ï “Dan hanya kepada-Ku kamu harus bertakwa.” Dari Thalq bin Habib, Ibnu Abi Hatim mengatakan,

“التَّقْوَى: أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ رَجَاءً رَحْمَةَ اللهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللهِ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عِقَابَ اللهِ.”

“Takwa berarti berbuat taat kepada Allah dengan mengharap rahmat Allah atas nur dari Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah atas nur dari Allah, karena takut akan siksa-Nya.

Sedangkan makna firman-Nya, Î وَ إِيَّاىَ فَاتَّقُونِ Ï “Dan hanya kepada-Ku kamu harus bertakwa,” itu berarti bahwa Allah Ta’ala mengancam mereka (Bani Israil) atas kesengajaan mereka menyembunyikan kebenaran dan menampak-kan sebaliknya serta pembangkangan mereka terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)