Surah Al-Baqarah Bag. 7

Cover Tafsir

وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ اللّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengata-kan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (QS. 2:14-15)

Allah Ta’ala berfirman, jika orang-orang munafik itu bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Kemudian mereka menampakkan keimanan, perwalian, dan keakraban sebagai tipuan bagi orang-orang mukmin, dan sebagai kemunafikan, kepura-puraan, serta taqiyyah agar mereka mendapatkan kebaikan dan pembagian ghanimah (harta rampasan perang).

Î وَإِذَا خَلَوْإِلىَ شَيَاطِينِهِمْ Ï “Dan jika mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka.” Maksudnya, jika mereka kembali dan bergabung dengan syaitan-syaitan (para pemimpin) mereka.

Lafadz “خَلَـوْا” mengandung makna “اِنْصَـرَفُـوا” (kembali), karena ia muda’addi dengan huruf “إِلَى” untuk menunjukkan fi’il (kata kerja) yang tersembunyi (samar) dan yang jelas disebutkan.

As-Suddi menceritakan, dari Abu Malik, “خَلَوْ” berarti pergi, dan kata “شَـيَاطِيْـنِهِمْ” berarti orang-orang terhormat, para pembesar dan pemimpin mereka, dari para pendeta orang-orang Yahudi dan para pemuka orang-orang musyrik dan munafik.

Dan firman-Nya, Î قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ Ï “Mereka berkata: Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian.” Mengenai ayat ini, Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya kami sejalan dengan kalian.”

Firman-Nya, Î إِنَّمَا نَحْـنُ مُسْتَهْزِءُونَ Ï “Sebenarnya kami hanya mengolok-olok.” Maksudnya, sesungguhnya kami (orang munafik) hanya memperolok dan mempermainkan kaum (mukminin) itu. Ad-Dhahhak berpendapat, dari Ibnu Abbas, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya memperolok-olok dan mencela sahabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Hal yang senada juga dilontarkan oleh ar-Rabi’ bin Anas dan Qatadah.

Kemudian Allah Ta’ala memberikan jawaban serta menanggapi perbuatan mereka itu dengan berfirman, Î اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ Ï “Allah akan (membalas) mengolok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”

Ibnu Jarir mengatakan, Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan melakukan hal tersebut pada hari kiamat kelak melalui firman-Nya:

Ïيَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِن نُّورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَآءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَّهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِن قِبَلِهِ الْعَذَابُ Î

“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.’ Dikatakan (kepada mereka): ‘Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).’ Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al-Hadiid:13)

Dan juga firman-Nya:

Î وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا Ï

“Dan jangan-lah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka.” (QS. Ali-Imran: 178)

Ibnu Jarir mengatakan, demikian itulah olok-olok, celaan, makar, dan tipu daya Allah Ta’ala terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Menurut orang yang menafsirkan ayat ini dengan pengertian tersebut.

Ibnu Jarir menceritakan, sebagian ulama yang lainnya mengatakan, olok-olok, celaan, dan hinaan dilontarkan Allah Ta’ala disebabkan berbagai kemaksiatan dan kekufuran yang mereka lakukan.

Masih menurut Ibnu Jarir, terdapat pendapat lain lagi bahwa, hal seperti itu dan yang semisal merupakan jawaban, sebagaimana ucapan seseorang kepada orang yang menipunya jika ia berhasil mengalahkannya, “Akulah yang menipumu.”

Hal itu bukan merupakan tipu daya dari-Nya, namun Dia mengatakan seperti itu jika hal itu (tipuan) ditujukan kepadanya. sebagaimana firman-Nya: Î وَ مَكَرُوا وَمَكَرَ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ Ï “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Ali-Imran: 54)

Dan juga firman-Nya, Î وَ اللهُ يَسْتَزِئُ بِهِمْÏ “Allah akan (membalas) mengolok-olok mereka.” Bahwasanya hal ini merupakan jawaban balasan, karena tidak ada makar dan olok-olok dari Allah Ta’ala. Artinya, bahwa makar dan olok-olok mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri. Ada juga yang mengatakan, firman Allah Ta’ala berikut ini: Î إِنَّمَا نَحْنُ مُسْـتَهْزِءُونَ اللَّهُ يَسْـتَهْزِئُ بِهِمْ Ï “Sebenarnya kami hanya mengolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka.”

Juga firman-Nya: Î يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ Ï “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka itu.” (QS. An-Nisa’: 142)

Demikian halnya firman-Nya: Î فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ Ï “Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu.” (QS. At-Taubah: 79)

Serta firman-Nya: Î نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ Ï “Mereka melupakan Allah, maka Allah juga melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67)

Juga firman-firman-Nya yang semisal itu merupakan bentuk pemberitahuan dari Allah bahwa Dia akan memberikan balasan atas perolokan yang mereka lakukan serta menyiksa mereka akibat tipu daya mereka. Dia menyampaikan pemberitahuan mengenai pembalasan-Nya serta pemberian siksaan kepada mereka, bersamaan dengan pemberitahuan mengenai perbuatan mereka yang memang berhak mendapatkan balasan dan siksaan. Sebagaimana firman-Nya: Î وَجَزَاؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ Ï “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema’afkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)

Demikian juga firman-Nya: Î فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْـهِ Ï “Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia.” (QS. Al-Baqarah: 194)

Perlakuan pertama merupakan kezhaliman, sedangkan yang kedua (balasan) merupakan keadilan. Meskipun kedua kata itu sama, namun makna-nya berbeda. Banyak pengertian dalam al-Qur’an semacam itu.

Masih menurut Ibnu Jarir, ulama yang lainnya mengatakan, arti semua-nya itu adalah bahwa Allah Ta’ala memberitahukan mengenai orang-orang munafik itu, jika mereka kembali kepada para pemimpin mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami bersama kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang dibawanya. Dan apa yang kami ucapkan kepada mereka itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka.” Kemudian Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memperolok-olok mereka, lalu memperlihatkan kepada mereka hukum-hukum-Nya di dunia, berupa keterpeliharaan nyawa dan harta kekayaan mereka, berbeda dengan apa yang akan mereka terima kelak di sisi-Nya di akhirat, yaitu berupa adzab dan siksaan.

Setelah itu Ibnu Jarir memperkuat dan mendukung pendapat ini, karena secara ijma’ Allah Mahasuci dari perbuatan makar, tipu daya, kebohongan yang dilakukan dengan tujuan main-main. Sedangkan yang dilakukan-Nya atas dasar hukuman pembalasan dan pemberian imbalan secara adil, maka hal itu tidak mustahil bagi-Nya.

Ibnu Jarir menuturkan, hal yang serupa dengan apa yang kami kata-kan adalah apa yang diriwayatkan Abu Kuraib dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah Ta’ala, Î الله يَسْـتَهْزِئُ بِهِـمْ Ï “Allah akan (membalas) mengolok-olok mereka,” ia mengatakan, Allah memperolok mereka itu dengan membalas atas perbuatan mereka sebelumnya.

Sedangkan mengenai firman-Nya, Î وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ Ï “Dan mem-biarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” As-Suddi meriwayat-kan, dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah al-Hamadani, dari Ibnu Mas’ud, serta dari beberapa orang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Î يَمُدُّهُمْ Ï berarti pemberian tangguh kepada mereka.

Mujahid mengatakan, Î يَمُدُّهُـمْ Ï berarti memberi tambahan kepada mereka. Dan sebagian lainnya mengatakan, “Setiap kali mereka melakukan per-buatan dosa, mereka diberi nikmat, yang pada hakikatnya nikmat itu adalah kesengsaraan.”

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

Ïفَلَمَّا نَسُوا مَاذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَآأُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ Î

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus-asa. Maka orang-orang yang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’am: 44-45)

Ibnu Jarir berpendapat, yang benar adalah “Kami memberikan tambahan kepada mereka dengan membiarkan mereka dalam kesesatan dan kedurhakaan mereka.” Sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

Î وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ Ï

“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.(QS. Al-An’am: 110)

“الـطُّغْيَـانُ” artinya sikap berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu, sebagaimana firman-Nya, Î إِنَّـا لَمَّا طَغَا الْمَآءُ حَمَلْنَاكُمْ فِـي الْجَارِيَةِ Ï “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah meluap (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang)-mu ke dalam bahtera.” (QS. Al-Haaqqah: 11)

Adh-Dhahhak menceritakan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan Î فِى طُغْيَانِهِمْ تَعْمَهُونَ Ï, maksudnya adalah, dalam kekufurannya, mereka terombang-ambing. Demikian pula as-Suddi (dengan sanadnya yang berasal dari sahabat) menafsirkan ayat ini.

Ibnu Jarir berkata “الْـعَمَهُ” adalah kesesatan. Jika dikatakan “عَمِهَ فَـلاَنٌ، يَعْمَهُ، عَمَهًا، وَعُمُوهًأ” maksudnya adalah bahwa telah tersesat. Ibnu Jarir berkata: “Makna firman-Nya, Î فِـي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُـونَ Ï, adalah dalam kesesatan mereka dan kekafiran mereka, mereka terombang-ambing, bingung dan sesat, tidak menemukan jalan keluar, karena Allah Ta’ala telah mengunci-mati hati mereka dan mengecapnya, juga membutakan pandangan mereka dari petunjuk sehingga tertutup pandangan mereka, mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak dapat menemukan jalan keluar.

Sedangkan menurut sebagian ulama, “الْـعُزْىُ” digunakan pada mata, sedangkan “الْـعَمَهُ” (bingung) pada hati, namun “الْعَمَـى” (buta) digunakan juga pada hati. Allah Ta’ala berfirman: Î فَإِنَّهَا لاَتَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ Ï “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46). Jika dikatakan “عَمِهَ الرَّجُلُ” (artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan), bentuk mudharinya: “يَعْمَهُ”, bentuk masdharnya: “عَمُوهًا”, bentuk isim fa’ilnya: “عَمِهٌ” dan “عَامِهٌ”. Jika dikatakan: “ذَهَبَتْ إِبْلُهُ الْعَمْهَاءُ”, maksudnya adalah: “Jika untanya tidak diketahui ke mana peginya.”

أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرُوُاْ الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُواْ مُهْتَدِينَ

Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah ber-untung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (QS. 2:16)

Mengenai firman-Nya, Î أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى Ï “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk,” dalam tafsirnya, as-Suddi, dari Ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam , mengatakan: “Mereka mengambil kesesatan dan meninggalkan petunjuk.”

Ibnu Ishak mengatakan, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya ini: “Artinya membeli kekufuran dengan keimanan.”

Kesimpulan dari pendapat para mufassir di atas, bahwa orang-orang munafik itu menyimpang dari petunjuk dan mengambil kesesatan. Dan itulah makna firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, Î أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْـتَرَوا الضَّـلاَلَةَ بِالْهُدَى Ï “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.” Artinya mereka menjual petunjuk untuk mendapatkan kesesatan, hal itu berlaku sama pada orang yang pernah beriman lalu kembali kepada kekufuran, sebagaimana firman-Nya: Î ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ ءَ امَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ Ï “Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati.” (QS. Al-Munafiqun: 3) Artinya, mereka lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk, sebagaimana keadaan kelompok lain dari orang-orang munafik, di mana mereka terdiri dari beberapa macam dan bagian. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, Î فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ Ï “Maka tidak-lah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” Maksudnya, perniagaan yang mereka lakukan itu tidak mendapatkan keuntungan dan tidak pula mereka mendapatkan petunjuk pada apa yang mereka lakukan.

Ibnu Jarir dari Qatadah, mengenai firman-Nya,

Î فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ Ï “Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,” mengatakan: “Demi Allah kalian telah menyaksikan mereka telah keluar dari petunjuk menuju kepada kesesatan, dari persatuan menuju kepada perpecahan, dari rasa aman menuju kepada ketakutan, dari sunnah menuju bid’ah”. Demikian pula hao yang sama di-riwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Yazid bin Zurai’, dari Sa’id, dari Qatadah.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)