وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. 2:8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang ber-iman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. 2:9)
Nifak berarti menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburu-kan. Nifak ini terdiri atas beberapa macam. Pertama, nifak i’tiqadi (keyakinan), yang mengekalkan pelakunya dalam neraka. Kedua, nifak ‘amali (perbuatan), ia merupakan salah satu dosa besar. Penjelasan secara rinci masalah ini akan dikemukakan pada pembahasan khusus, insya Allah.
Yang demikian itu sesuai dengan apa yang dikatakan Ibnu Juraij bahwa orang munafik itu senantiasa tidak sejalan antara ucapan dan perbuatannya, antara yang tersembunyi dan yang nyata serta antara zhahir dan batinnya.
Sesungguhnya, berbagai sifat orang-orang munafik terdapat dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah, karena di Makkah tidak terdapat kemunafikan. Justru sebaliknya, di antara penduduk di sana ada orang yang menampakkan kekafiran karena terpaksa, padahal secara batin ia tetap beriman. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di sana terdapat kaum Anshar yang terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj yang pada masa jahiliyah mereka beribadah kepada berhala seperti yang dilakukan oleh kaum musyrik Arab. Di sana juga terdapat orang-orang Yahudi dari kalangan Ahlul Kitab yang menempuh jalan para pendahulu mereka, dan mereka terdiri dari tiga kabilah:
1. Bani Qainuqa’, yang merupakan sekutu kabilah Khazraj,
2. Bani Nadhir, dan
3. Bani Quraidzah, sekutu kabilah Aus.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beberapa orang dari kaum Anshar masuk Islam, baik dari kabilah Aus maupun Khazraj. Tetapi sedikit sekali dari orang-orang Yahudi yang masuk Islam, kecuali Abdullah bin Salam. Pada saat itu belum ada kemunafikan, karena orang-orang mukmin belum mempunyai kekuatan yang ditakuti pihak lain, bahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan orang-orang Yahudi dan dengan beberapa kabilah setempat yang ada di sekitar Madinah.
Setelah terjadi peristiwa perang Badar dan Allah telah memperlihatkan kalimat-Nya serta memuliakan Islam dan para pemeluknya, barulah ada orang-orang yang masuk Islam. Padahal hatinya masih kafir di antaranya Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay bin Salul seorang tokoh di Madinah, dan ia berasal dari kabilah Khazraj. Abdullah bin Ubay bin Salul ini salah satu pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahililyah, yang dahulu mereka berkeinginan keras agar ia menjadi raja mereka.
Kemudian kebaikan (Islam) datang pada mereka, lalu mereka masuk Islam sehingga keinginan mereka mengangkatnya sebagai pemimpin terlupakan. Abdullah bin Ubay bin Salul menyimpan dendam terhadap Islam dan para pemeluknya. Dan setelah perang Badar usai, Abdullah bin Ubay mengatakan: “Ini suatu hal yang telah mencapai sasaran.” Kemudian ia memperlihatkan diri masuk Islam, lalu bersamanya beberapa orang ikut memeluk Islam, yang juga mengikuti jejaknya serta beberapa orang ahlul kitab. Dari kejadian itu, muncullah kemunafikan di tengah-tengah penduduk Madinah dan orang-orang yang berada disekitarnya.
Sedangkan kaum Muhajirin tidak ada seorang pun yang munafik, karena tidak seorang pun yang berhijrah secara terpaksa, melainkan karena keinginan sendiri, di mana ia rela meninggalkan harta, anak-anak, dan kampung halaman-nya demi mengaharapkan apa yang ada di sisi Allah di negeri akhirat.
Mengenai firman-Nya, Î وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَ امَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ Ï “Di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir.’ Padahal mereka bukanlah orang-orang beriman,” Muhammad bin Ishak menceritakan, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, yaitu orang-orang munafik dari kabilah Aus dan Khazraj serta mereka yang semisalnya.
Demikian pula Abu al-‘Aliyah, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, dan as-Suddi menafsirkan, “orang-orang munafik,” yaitu yang berasal dari kabilah Aus dan Khazraj. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengingatkan akan sifat-sifat orang-orang munafik agar orang-orang mukmin tidak tertipu oleh lahiriyah (penampilan) orang-orang munafik yang (mana dengan sikap lengah) tersebut maka akan menimbulkan kerusakan yang luas lantaran tidak adanya sikap kehati-hatian terhadap mereka dan menganggap mereka beriman, padahal hakikatnya mereka itu adalah kafir.
Demikianlah halnya pula merupakan kesalahan besar jika menganggap orang-orang fajir (durhaka) pendosa itu sebagai orang-orang baik. Mengenai hal tersebut Allah Ta’ala berfirman, Î وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَ امَنَّا بِاللَّهِ وَبِاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ Ï “Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” Artinya, mereka mengatakan hal seperti itu dengan tidak dibarengi oleh kenyataan, sebagai-mana firman-Nya: Î إِذَا جَآءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللهِ وَاللهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُـهُ Ï “Jika orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya.” (QS. Al-Munafiqun: 1) Artinya, mereka mengatakan itu ketika mendatangimu (Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam) saja, dan bukan pernyataan yang sesungguhnya. Oleh karena itu mereka menekan-kan kesaksian mereka itu dengan menggunakan Lam ta’qid (kata penguat) “لَرَسُـولُ اللهُ” (benar-benar seorang rasul Allah) dalam menyampaikannya. Mereka menegaskan pernyataan bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sesungguhnya tidak demikian. Sebagaimana Allah Ta’ala telah mendustakan kesaksian dan pernyataan mereka melalui firman-Nya, Î وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ Ï “Dan sesungguhnya Allah mengetahui bahwa se-sungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar berdusta.” Dan juga melalui firman-Nya, Î وَمَا هُم بِمُؤْمِنِـينَ Ï “Padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman.”
Firman Allah Ta’ala, Î يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِيـنَ ءَامَنُوا Ï “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman.” Yaitu dengan memperlihatkan keimanan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala sambil menyembunyikan kekufuran. Dengan kebodohan itu, mereka menduga telah berhasil menipu Allah dengan ucapannya itu, dan menyangka bahwa ucapan itu berguna baginya di sisi Allah. Mereka ber-bohong kepada Allah sebagaimana berbohong kepada sebagian orang beriman.
Sebagaimana firman-Nya:
Ïيَوْمَ يَبْعَثُهُـمُ اللهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُـونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُـونَ لَكُـمْ وَ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَـى شَىْءٍ أَلآ إِنَّهُمْ هُـمُ الْكَاذِبُـونَÎ
“Ingatlah hari ketika mereka semua di-bangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang munafik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian. Dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan mem-peroleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itulah para pen-dusta.” (QS. Al-Mujadalah: 18)
Oleh karena itu Allah Ta’ala membalas keyakinan mereka itu dengan firman-Nya, Î وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ Ï “Dan tidaklah mereka menipu melainkan pada dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” Artinya dengan tindakan itu, mereka hanya memperdaya diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadari akan hal itu. Sebagaimana firman-Nya: Î إِنَّ الْمُنَافِقِـينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَـادِعُهُمْ Ï “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan mem-balas tipuan mereka itu .” (QS. An-Nisa’: 142)
Ada di antara qurra’ yang membaca ayat kesembilan dari al-Baqarah ini dengan bacaan, Î وَ مَا يُخَـادِعُـونَ إِلاَّ أَنفُسَهُـمْ Ï “Dan tidaklah mereka menipu melainkan pada dirinya sendiri”.
Kedua macam bacaan di atas mempunyai satu pengertian. Ibnu Jubair mengatakan, jika ada orang yang mengatakan, “Mengapa orang-orang munafik -yang telah munafik kepada Allah dan orang-orang mukminin- dikatakan menipu Allah dan orang-orang mukmin, sedang mereka itu tidak menampak-kan keimanannya yang bertentangan dengan apa yang diyakininya kecuali upaya taqiyyah (untuk menyelamatkan diri)?”
Pertanyaan seperti itu dapat dijawab; bangsa Arab tidak melarang menyebut orang yang memberikan keterangan dengan lisannya padahal bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya sebagai upaya taqiyyah, untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditaatinya, dengan menamakan orang ter-sebut “مُحَادِعٌ” (penipu). Demikian halnya dengan orang munafik, disebutkan menipu Allah Ta’ala dan orang-orang yang beriman dengan cara menampakkan keimanan mereka kepada-Nya dan juga kepada orang-orang mukmin melalui ucapan lisannya dengan tujuan agar bisa selamat dari pembunuhan, perampasan dan penyiksaan di dunia. Sedangkan penipuan mereka terhadap orang-orang mukmin di dunia ini, pada hakikatnya atas tindakan itu mereka telah menipu diri mereka sendiri, karena dengan tindakannya itu mereka mengira bahwa mereka telah memenuhi keinginannya serta mendatangkan kebahagiaan pada-nya, padahal sebenarnya hal itu justru merupakan sumber kebinasaanya, siksaan serta menyeret kepada kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala yang sangat pedih, yang sama sekali tidak diharapkan oleh diri mereka sendiri.
Itulah yang dimaksud dengan penipuan terhadap dirinya sendiri, yang ia sangka bahwa tipuan itu untuk menipu orang lain, -bersamaan dengan per-buatannya yang merusak dengan kemunafikannya itu bagi urusan akhiratnya- hal baik untuknya, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
Î وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ Ï “Dan tidaklah mereka menipu melainkan pada dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” Yang demikian itu dimaksudkan untuk memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman bahwa tindakan mereka (orang-orang munafik) menyakiti diri mereka sendiri di-sebabkan oleh murka Rabb-nya akibat kekufuran, keraguan, dan kebohongan mereka itu, sementara orang-orang munafik sama sekali tidak menyadari dan mengetahuinya, karena mereka senantiasa berada dalam kebutaan terhadap apa yang mereka lakukan tersebut.
Ibnu Abi Hatim menceritakan, Ali bin al-Mubarak memberitahu kami, Zaid bin al-Mubarak memberitahu kami, bahwa Muhammad bin Tsaur memberitahukan sebuah hadits dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah Ta’ala, Î يُخَادِعُونَ اللَّهَ Ï “Mereka menipu Allah”, ia mengatakan, mereka memperlihatkan diri mengucapkan kalimat “لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ” (tiada ilah selain Allah) dengan tujuan menyelamatkan nyawa mereka dan kekayaan mereka agar tidak lenyap, sedang dalam hati mereka sama sekali tidak mengakuinya.
Mengenai firman Allah Ta’ala:
Ïوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ Î
“Di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir.’ Padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman. Dan tidaklah mereka menipu melainkan pada dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar,” dari Qatadah, Abu Sa’id mengatakan, sifat orang munafik itu ada pada banyak hal: akhlaknya tercela, ia membenarkan dengan lisan dan mengingkari dengan hatinya serta berlawanan dengan perbuatannya. Pagi hari begini dan sore harinya telah ber-ubah. Sore harinya begini dan pada pagi harinya telah berubah pula. Ia berubah-ubah seperti goyangnya kapal karena terpaan angin, setiap kali ingin bertiup, maka ia pun ikut bergoyang.
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS. 2:10)
Mengenai Firman-Nya, Î فِي قُلُوبِهِم مَّـرَضٌ Ï “Di dalam hati mereka ada penyakit,” as-Suddi menceritakan, dari Ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan: “Yaitu keraguan, lalu Allah menambah keraguan itu dengan keraguan lagi”.
Menurut Ikrimah dan Thawus, “Di dalam hati mereka ada penyakit, yaitu riya.”
Sedangkan mengenai firman-Nya, Î بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ Ï “Disebabkan mereka berdusta.” Ada yang membaca “يُكَذِّبُوْنَ”. Mereka menyandang sifat ragu dan riya’. Sungguh mereka berdusta dan bahkan mereka mendustakan hal-hal yang ghaib.
Al-Qurthubi dan beberapa orang mufassir pernah ditanya mengenai hikmah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik, padahal beliau mengetahui sendiri tokoh-tokoh mereka itu.
Lalu para mufassir itu memberikan beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut, yang salah satunya apa yang ditetapkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘anhu:
( أَكْرَهُ أَنْ يَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ.)
“Aku tidak suka kalau nanti bangsa Arab ini memperbincangkan, bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.“
Artinya, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada banyak orang Arab untuk masuk Islam, karena mereka tidak mengetahui hikmah dari pembunuhan tersebut. Padahal pembunuhan yang akan beliau lakukan terhadap orang munafik itu karena kekufuran. Sedang mereka hanya melihat pada yang mereka saksikan, lalu mereka mengatakan, “Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.”
Al-Qurthubi mengatakan, demikian itulah yang menjadi pendapat para ulama kami dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam, padahal beliau mengetahui buruknya keyakinan mereka.
Imam Athiyyah mengatakan, yang demikian itu merupakan pendapat para sahabat Imam Malik yang telah ditetapkan Muhammad bin al-Jahm, al-Qadhi Ismail, al-Abhari, dan dari Ibnul Majisyun. Di antaranya apa yang dikatakan Imam Malik: “Sebenarnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik itu dimaksudkan untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan pengetahuannya semata.”
Al-Qurthubi mengatakan, para ulama telah sepakat bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuannya semata, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai hukum-hukum lainnya.
Sedangkan Imam asy-Syafi’i mengatakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik atas tindakan mereka menampakkan keislaman mereka, meskipun beliau mengetahui kemunafikan mereka itu, karena apa yang mereka tampakkan itu mengalahkan apa yang sebelumnya (kemunafikan).
Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim:
( أُمْرِتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَإِذَا قَالُوْهُا عَصَمُوْا مِنِّى دَمَاءَهُمْ وَأَمْوَا لَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ.)
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka berada di tangan Allah U.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Artinya, barangsiapa telah mengucapkan kalimat “لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ” itu, maka berlaku baginya secara zhohir seluruh hukum Islam, dan jika ia meyakininya, ia akan mendapatkan pahala di akhirat kelak. Dan jika tidak meyakininya, maka tidak akan mendatangkan manfaat baginya (di akhirat nanti) pemberlakuan hukum terhadapnya di dunia. Adapun keadaan mereka yaitu bercampur baur dengan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
Ï يُنَادُونَهُـمْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ قَالُوا بَلَـى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنتُمْ أَنفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ اْلأَمَانِيُّ حَتَّى جَآءَ أَمْرُ اللهِ Î
“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datang-lah ketetapan Allah.’” (QS. Al-Hadid: 14)
Maksudnya, mereka bersama-sama dengan orang-orang mukmin di beberapa tempat di mahsyar, dan jika hari yang telah ditetapkan Allah itu tiba, maka perbedaan mereka tampak jelas dan akan terpisah dari orang-orang mukmin. Allah berfirman, Î وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَايَشْتَهُونَ Ï “Dan dihalangi antara mereka dan apa yang mereka inginkan.” (QS. Saba’: 54)
Golongan munafik juga tidak akan dapat bersujud bersama orang-orang mukmin, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah apa yang dikatakan sebagian ulama, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh orang-orang munafik itu, karena kejahatan mereka tidak dikhawatirkan dan disebabkan keberadaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka, beliau membacakan ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Adapun setelah beliau wafat, mereka dibunuh jika mereka menampakkan kemunafikannya dan hal itu di-ketahui oleh umat Islam.
Imam Malik mengatakan: “Orang munafik pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah zindiq pada hari ini.”
Mengenai hal itu penulis berkata, para ulama telah berbeda pendapat mengenai pembunuhan terhadap zindiq. Jika ia menampakkan kekufuran, apakah ia harus diminta bertaubat atau tidak, atau apakah ia harus dibedakan, apakah ia penyeru (kepada kezindikannya) atau tidak, atau apakah kemurtadan berulang-ulang pada dirinya atau tidak? Ataukah ke-Islaman serta keluarnya dari Islam karena kawan sendiri atau dipengaruhi orang lain? Mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan dan penetapannya sudah diberikan dalam kitab-kitab fiqih.
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)