Surah Al-Baqarah Bag. 6

Cover Tafsir

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. 2:11-12)

Dalam tafsirnya, as-Suddi menceritakan, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah ath-Thabib al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, mengenai firman Allah Ta’ala:

Î وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ Ï “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” ia mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang munafik. Sedangkan kerusakan yang dimaksud adalah kekufuran dan kemaksiatan.”

Mengenai firman-Nya, Î وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِÏ Dan jika dikata-kan kepada mereka: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi,” Abu Ja’far menceritakan, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Abu al-‘Aliyah, ia mengatakan: “Artinya, janganlah kalian berbuat maksiat di muka bumi ini. Kerusakan yang mereka buat itu berupa kemaksiatan kepada Allah, karena barangsiapa yang berbuat maksiat kepada Allah atau memerintahkan orang lain untuk bermaksiat kepada-Nya, maka ia telah berbuat kerusakan di bumi, karena kemaslahatan langit dan bumi ini terletak pada ketaatan.”

Hal senada juga dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan Ibnu Juraij, dari Mujahid, mengenai firman-Nya, Î وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ Ï Dan jika dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi,” ia mengatakan: Mereka sedang berbuat maksiat kepada Allah, lalu dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan ini dan itu.” Maka mereka pun menjawab, “Sesungguhnya kami berada pada jalan hidayah dan kami pun sebagai orang yang mengadakan perbaikan.”

Ibnu Jarir mengatakan, dengan demikian, orang-orang munafik itu me-mang pelaku kerusakan di muka bumi ini, dengan bermaksiat kepada Allah melanggar larangan-Nya serta mengabaikan kewajiban yang dilimpahkan kepadanya. Mereka ragu terhadap agama Allah di mana seseorang tidak diterima amalnya kecuali dengan membenarkannya dan meyakini hakikatnya. Mereka juga mendustai orang-orang mukmin melalui pengakuan kosong mereka, padahal keyakinan mereka dipenuhi oleh kebimbangan dan keraguan. Serta dukungan dan bantuan mereka terhadap orang-orang yang mendustakan Allah, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya atas para wali Allah jika mereka mendapatkan jalan untuk itu.

Demikian itulah kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik di muka bumi ini, sementara mereka mengira telah mengadakan perbaikan di muka bumi. Al-Hasan Bashri mengatakan, di antara bentuk kerusakan yang dilakukan di muka bumi ini adalah mengangkat orang kafir sebagai wali-wali (pemimpin atau pelindung), sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:

Î وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ Ï “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Jika kalian (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Dengan demikian, Allah I telah memutuskan perwalian di antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:

Ïيَاأَيُّهَا الَّذِيـنَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِيـنَ أَوْلِيَـآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِيـنَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُـوا للهِ عَلَيْكُمْ سُـلْطَانًا مُّبِيـنًا Î

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali/pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian).” (QS. An-Nisa’: 144)

Kemudian Dia berfirman:

Î إِنَّ الْمُنَافِقِيـنَ فِـي الدَّرْكِ اْلأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا Ï “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kalian sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)

Dengan keadaannya (orang-orang munafik) yang secara lahiriyah adalah beriman, sehingga keadaannya sangat membingungkan orang-orang mukmin. Seolah-olah kerusakan itu adanya dari arah orang munafik itu berada, karena ialah yang menipu orang-orang mukmin melalui ucapannya yang sama sekali tidak benar serta menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin bagi orang-orang mukmin. Kalau saja perbuatan mereka merupakan sebatas yang pertama (yaitu sebagai orang kafir) masih lebih ringan kejahatannya. Andai saja ia ikhlas beramal karena Allah Ta’ala serta menyesuaikan ucapannya dengan perbuatannya, niscaya ia akan benar-benar beruntung. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: Î وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ Ï Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Artinya, kami ingin mendekati kedua belah pihak baik kaum beriman maupun kaum kafir dan kami berdamai dengan keduanya.

Kemudian Dia berfirman, Î أَلاَ إِنَّهُم هُمُ الْمُفِسِدُونَ وَلَكِن لاَّ يَشْعُرُونَ Ï “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” Melalui ayat tersebut Allah Ta’ala memberitahukan, “Ketahuilah bahwa yang mereka akui sebagai perbaikan itu adalah kerusakan itu sendiri, namun karena kebodohan mereka, mereka tidak menyadari bahwa hal itu sebagai kerusakan.”

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَـكِن لاَّ يَعْلَمُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab: “Akan berimankah kami se-bagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman”. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. 2:13)

Allah Ta’ala berfirman, apabila dikatakan kepada orang-orang munafik, Î ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ Ï “Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang beriman,” yakni seperti keimanan manusia kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, adanya kebangkitan setelah kematian, surga, neraka, dan lain-lainnya yang telah diberitahukan kepada orang-orang yang beriman. Dan juga dikatakan, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” Maka mereka pun mengatakan, Î أَنُؤْمِنُ كَمَاءَامَنَ السُّفَهَاءُ Ï “Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh telah beriman.” Yang mereka maksudkan di sini adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut pendapat Abu al-‘Aliyah, as-Suddi dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud serta beberapa orang sahabat. Hal yang sama juga dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan lain-lainnya.

Orang-orang munafik itu mengatakan, “Apakah kami dan mereka harus berada dalam satu kedudukan, sementara mereka adalah orang-orang bodoh?” kata “السَّفَهَاءُ” adalah jamak dari “سَـفِيْهُ”, seperti kata “الْحُكَمَـاءُ” adalah jamak dari “حَكِيـمُ”. Makna sufaha adalah bodoh dan karena kurang (lemah) pemikirannya dan sedikit pengetahuannya tentang hal-hal yang bermaslahat dan bermudharat.

Dan Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberikan jawaban mengenai semua hal yang berkenaan dengan itu kepada mereka melalui firman-Nya, Î أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ Ï “Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh.” Dan Dia menegaskan kebodohan mereka itu dengan firman-Nya, Î وَلَكِن لاَيَعْلَمُونَ Ï “Tetapi mereka tidak mengetahui.” Artinya, di antara kelengkapan dari kebodohan mereka itu adalah mereka tidak mengetahui bahwa mereka berada dalam kesesatan dan kebodohan. Dan yang demikian itu lebih menghinakan bagi mereka dan lebih menunjukan mereka berada dalam kebutaan dan jauh dari petunjuk.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)