أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 2:5)
Allah Ta’ala berfirman, Î أُولَـئِكَ Ï “Mereka itulah,” yaitu orang-orang yang menyandang sifat-sifat sebagaimana di atas, yaitu beriman kepada hal-hal yang ghaib, mendirikan shalat, mengeluarkan infak dari rizki yang Allah berikan kepada mereka, beriman kepada apa yang diturunkan kepada rasul-Nya dan para rasul sebelumnya, menyakini akan adanya kehidupan akhirat, dan ini berarti mengharuskan bersiap diri untuk menghadapinya dengan mengerjakan amal shalih dan meninggalkan semua yang diharamkan-Nya.
Î عَلَى هُدًى Ï “Yang tetap mendapat petunjuk,” maksudnya mereka senantiasa mendapat pancaran cahaya, penjelasan, serta petunjuk dari Allah Ta’ala.
Î وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Ï “Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung,” yaitu orang-orang yang mendapatkan apa yang mereka inginkan dan yang selamat dari kejahatan yang mereka jauhi.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri per-ingatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. 2:6)
Allah Ta’ala berfirman, Î إِنَّ الَّذِينَ كَفَـرُوا Ï “Sesungguhnya orang-orang kafir,” yaitu orang-orang yang menutupi kebenaran dan menyembunyikan-Nya. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan hal itu bagi mereka, baik diberikan peringatan maupun tidak, maka mereka akan tetap kafir dan tidak mempercayai apa yang engkau (Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam) bawa kepada mereka.
Sebagaimana Dia telah berfirman:
Î إِنَّ الَّذِيـنَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ وَلَوْ جَآءَتْهُمْ كُلُّ ءَ ايَةٍ حَتَّـى يَرَوُا الْعَذَابَ اْلأَلِيمَ Ï
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabb-mu, tidaklah akan beriman , meskipun datang kepada mereka segala macam ke-terangan, sehingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (QS. Yunus: 96-97)
Maksudnya, orang yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala hidup dalam kesengsaraan, maka ia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan, dan orang yang disesatkan-Nya, maka ia tidak akan pernah mendapat petunjuk. Maka janganlah biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka, dan sampaikanlah risalah (Islam) kepada mereka.
خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. 2:7)
Mengenai Firman-Nya, Î خَـتَمَ اللَّهُ Ï, as-Suddi mengatakan artinya: bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengunci-mati.
Masih berkaitan dengan ayat ini, Qatadah mengatakan, “Syaitan telah menguasai mereka karena mereka telah menaatinya. Maka Allah mengunci-mati hati, dan pendengaran, serta pandangan mereka ditutup, sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat mendengarkan, memahami, dan berfikir.”
Ibnu Juraij menceritakan, Mujahid mengatakan, Allah mengunci-mati hati mereka. Dia berkata: “الطَّبْعُ” artinya melekatnya dosa di hati, maka dosa-dosa itu senantiasa mengelilingnya dari segala arah sehingga berhasil menemui hati tersebut. Pertemuan dosa dengan hati itu merupakan kunci mati.
Lebih lanjut Ibnu Juraij mengatakan, kunci mati dilakukan terhadap hati dan pendengaran mereka.
Ibnu Juraij juga menceritakan, Abdullah bin Katsir memberitahukan kepadaku bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan, “الـرَّانُ” (penghalangan) lebih ringan daripada “الطَّبْعُ” (penutupan dan pengecapan), dan “الطَّبْعُ” lebih ringan daripada “اْلإِقْفَالُ” (penguncian).
Al-A’masy mengatakan, Mujahid memperlihatkan kepada kami melalui tangannya, lalu ia menuturkan, mereka mengetahui bahwa hati itu seperti ini, yaitu telapak tangan. Jika seseorang berbuat dosa, maka dosa itu menutupinya, sambil membengkokkan jari kelingkingnya, ia (Mujahid) mengatakan, “Seperti ini.” Jika ia berbuat dosa lagi, maka dosa itu menutupinya, Mujahid membengkokkan jarinya yang lain ke telapak tangannya. Demikian selanjutnya hingga seluruh jari-jarinya menutup telapak tangannya. Setelah itu Mujahid mengatakan, “Hati mereka itu terkunci mati.”
Mujahid mengatakan, mereka memandang bahwa hal itu adalah “الرَّيْنُ” (kotoran; dosa).
Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Waki’, dari al-A’masy, dari Mujahid.
Al-Qurthubi mengatakan, umat ini telah sepakat bahwa Allah Ta’ala telah menyifati diri-Nya dengan menutup dan mengunci mati hati orang-orang kafir sebagai balasan atas kekufuran mereka itu, sebagaimana yang difirmankan-Nya: Î بَلْ طَبَعَ اللهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ Ï “Sebenarnya Allah telah mengunci-mati hati mereka karena kekafirannya.” (QS. An-Nisaa’: 155)
Dan al-Qurthubi juga menyebutkan hadits Hudzaifah yang terdapat di dalam kitab as-Shahih, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
( تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوْبِ كَالْحَصِيْرِ عُوْدًا عُوْدًا فَأَيُّ قَلْبٍ أَشْرَبَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ، وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيْهِ نَكْـتَةً بَيْضَاءَ، حَتَّى تَصِيْرُ عَلَى قَلْبِيْنِ، عَلَى أَبْيَضَ مِثْلَ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ، وَاْلآخَرَ أَسْوَدٌ مِرْبَادٌ كَالْكُوْزِ مُجْخِيَا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوْفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا.)
“Fitnah-fitnah itu menimpa pada hati bagaikan tikar dianyam sehalai demi sehelai. Hati mana yang menyerapnya, maka digoreskan titik hitam padanya. Dan hati mana yang menolaknya, maka digoreskan padanya titik putih. Se-hingga hati manusia itu terbagi pada dua macam; hati yang putih seperti air jernih, dan ia tidak akan dicelakai oleh fitnah selama masih ada langit dan bumi. Dan yang satu lagi berwarna hitam kelam seperti tempat minum yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak pula mengingkari kemungkaran.”
Ibnu Jarir mengatakan, yang shahih menurutku dalam hal ini adalah apa yang bisa dijadikan perbandingan, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتَةٌ سُوْدَاءٌ فِـيْ قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَعْتَبَ صَقَلَ قَلْبُهُ وَإْنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي قَالَ اللهُ تَعَـالَى Ï كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّاكَانُوا يَكْسِبُونَ Î)
“Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia mengerjakan suatu perbuatan dosa, maka akan timbul noda hitam dalam hatinya. Jika ia bertaubat, menarik diri dari dosa itu, dan mencari ridha Allah, maka hatinya menjadi jernih. Jika dosa-nya bertambah, maka bertambah pula nodanya sehingga memenuhi hatinya. Itulah yang disebut ar-ran (penutup), yang disebut oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Hadits di atas diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Qutaibah, al-Laits bin Sa’ad. Serta Ibnu Majah, dari Hisyam bin Ammar, dari Hatim bin Ismail dan al-Walid bin Muslim. Ketiganya dari Muhammad bin Ajlan. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan dalam sabdanya bahwa dosa itu jika sudah bertumpuk-tumpuk di hati, maka ia akan menutupnya, dan jika sudah menutupnya, maka didatangkan padanya kunci mati dari sisi Allah Ta’ala, sehingga tidak ada lagi jalan bagi iman untuk menuju ke dalamnya, dan tidak ada jalan keluar bagi kekufuran untuk lepas darinya. Itulah kunci mati yang disebutkan Allah Ta’ala dan firman-Nya:
Î خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ Ï
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka.“
Perbandingan kunci mati terhadap apa yang masih dapat dijangkau oleh kasad mata, tidak dapat dibuka dan diambil isinya kecuali dengan memecahkan dan membongkar kunci mati itu dari barang itu. Demikian halnya dengan iman, ia tidak akan sampai ke dalam hati orang yang (oleh Allah Ta’ala) telah terkunci mati hati dan pendengarannya, kecuali dengan membongkar dan melepas kunci mati tersebut dari hatinya.
Perlu diketahui bahwa waqaf taam (berhenti sempurna saat membacanya) adalah pada firman-Nya, Î خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ Ï “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka.” Dan juga pada firman-Nya, Î وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ Ï “Serta penglihatan mereka ditutup,” (ayat-ayat di atas) merupakan kalimat sempurna, dengan pengertian bahwa kunci mati itu dilaku-kan terhadap hati dan pendengaran. Sedangkan Î غِشَاوَةٌ Ï adalah penutup ter-hadap pandangan. Sebagaimana yang dikatakan as-Suddi dalam tafsirnya, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa orang sahabat Rasulullah e mengenai firman-Nya, Î خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ Ï “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka,” ia mengatakan, “Sehingga dengan demikian itu mereka (orang-orang kafir) tidak dapat berfikir dan mendengar. Dan dijadikan penutup pada pandangan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”
Setelah menyifati orang-orang mukmin pada empat ayat pertama surat al-Baqarah, lalu memberitahukan keadaan orang-orang kafir dengan kedua ayat di atas, kemudian Allah Ta’ala menjelaskan keadaan orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.
Ketika keberadaan mereka semakin samar di tengah-tengah umat manusia, Allah Ta’ala semakin gencar menyebutkan berbagai sifat kemunafikan mereka, sebagaimana Allah telah menurunkan surat Bara’ah dan Munafiqun tentang mereka serta menyebutkan mereka di dalam surat an-Nur dan surat-surat lainnya guna menjelaskan keadaan mereka agar orang-orang menghindarnya dan juga menghindari dari terjerumus kepadanya.
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)