Allah SWT. berfirman (artinya), "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkan kannya selain Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu."
(Al-An'aam: 17).
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang." (Yunus: 107).
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir al-Juhani, bahwa Rasulullah saw. menerima serombongan orang yang ingin berbai'at kepada beliau. Beliau menerima bai'at sembilan orang dari mereka dan menolak bai'at satu orang. Mereka bertanya (artinya), "Wahai Rasulullah, engkau menerima bai'at sembilan orang itu dan engkau tolak satu orang ini?" Rasulullah saw. berkata, "Orang ini memakai jimat!" Lalu orang itu segera menanggalkan jimatnya, maka barulah Rasulullah saw. menerima bai'atnya. Beliau bersabda, "Barangsipa memakai jimat, berarti ia telah berbuat syirik." (Shahih, HR Ahmad [IV/156] dan al-Hakim [IV/219])
Diriwayatkan dari Zainab, isteri 'Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Ada seorang wanita tua datang ke rumah kami untuk meruqyah (menjampi-jampi) penyakit humrah (campak). Di rumah, kami memiliki tempat tidur yang panjang ukurannya. Setiap kali Abdullah bin Mas'ud pulang, beliau biasanya berdehem dan bersuara. Tiba-tiba hari itu beliau pulang. Ketika mendengar suaranya, wanita tua itu berhijab darinya. Beliau masuk dan duduk di dekatku. Beliau menyentuhku dan mendapati benang pada tubuhku. Beliau berkata, 'Apa ini?' 'Jampi-jampi untuk menyembuhkan penyakit humrah (campak),' jawabku. Beliau menarik dan memutus benang itu, lalu membuangnya. Beliau berkata, 'Keluarga 'Abdullah bin Mas'ud harus bersih dari praktik-praktik syirik!' Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jampi-jampi (mantera-mantera yang berasal dari jin dan tidak dapat dipahami artinya), tamimah (jimat-jimat) dan tiwalah (palet, susuk, ajian pengasih dan sejenisnya) termasuk syirik.'" (Shahih, HR Abu Dawud [3383], Ibnu Majah [3530], Ibnu Hibban [6090], Ahmad [I/381], al-Hakim [IV/216-217 dan 417-418], Baihaqi [IX/350], Thabrani dalam al-Kabiir [10503])
Diriwayatkan dari Abbad bin Tamim, bahwa Abu Basyir al-Anshari mengabarkan kepadanya bahwa ia pernah menyertai Rasulullah saw. dalam sebuah lawatan. Rasulullah saw. mengutus seseorang kepada orang-orang yang saat itu berada di tempat peristirahatan mereka untuk mengumumkan, "Jangan ada lagi di leher unta kalung dari tali busur panah -atau kalung apa pun- melainkan harus diputuskan." (HR Bukhari [3005] dan Muslim [2115]).
Diriwayatkan dari Syuyaim bin Baitan, bahwa ia mendengar Ruwaifi' bin Tsabit r.a. berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, 'Hai Ruwaifi', mudah-mudahan umurmu panjang, oleh karena itu sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang memintal janggutnya (untuk kesombongan dan menyelisihi sunnah) atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja' dengan kotoran binatang atau dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya'." (HR An-Nasa'i [VIII/135], Abu Dawud [36], Ahmad [IV/108])
Diriwayatkan dari Isa bin Ali Laila, ia berkata, "Aku datang menjenguk 'Abdullah bin Ukaim Abu Ma'bad al-Juhani yang sedang menderita sakit humrah. Kami katakan kepadanya, 'Tidaklah engkau menggantungkan jampi-jampi?' ia berkata, 'Kematian lebih bagus daripada melakukan seperti itu! Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menggantungkan sesuatu benda (dengan keyakinan dapat membawa keberuntungan dan menolak bahaya), maka Allah akan menjadikan diriya selalu bergantung kepada benda tersebut'." (Hasan, HR Tirmidzi [2072], Ahmad [IV/311] dan Hakim [IV/217])
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Telah diperlihatkan kepadaku berbagai ummat. Aku melihat satu atau dua orang Nabi yang diikuti oleh sejumlah pengikutnya. Dan seorang Nabi yang tidak ada satu pun pengikutnya. Kemudian diperlihatkan kepadaku sejumlah manusia yang banyak. Aku bertanya, 'Siapakah mereka? Apakah mereka ummatku?' dikatakan kepadaku, 'Itu adalah Musa AS bersama pengikutnya.' Lalu dikatakan kepadaku, 'Sekarang lihatlah ke arah ufuk itu!' Ternyata kulihat sekumpulan manusia yang sangat banyak. Lalu dikatakan kepadaku, 'Itulah ummatmu, di antara mereka terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk Jannah tanpa hisab'." Setelah menceritakan hal itu, Rasulullah langsung masuk rumah tanpa menjelaskannya. Sehingga para Sahabat pun membicarakan siapakah mereka itu? Mereka berkata, 'Kamilah orangnya, kami beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya. Mereka itu tidak lain adalah kami. Atau mereka itu adalah anak-anak bumi kami yang lahir dalam Islam. Sedangkan kami lahir pada masa Jahiliyyah.' Sampailah berita itu kepada Rasulullah saw. beliau pun keluar dan bersabda, 'Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak bertathayyur, tidak berobat dengan cara kay (besi panas yang ditempelkan pada tempat yang sakit), dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.' Ukasyah bin Mihshan r.a. berkata, 'Apakah aku termasuk golongan mereka wahai Rasulullah?' Rasulullah menjawab, 'Engkau termasuk golongan mereka.' Kemudian berdirilah Sahabat yang lainnya seraya berkata, 'Apakah aku termasuk golongan mereka?' Beliau menjawab, 'Kamu telah didahului oleh 'Ukasyah!'" (HR Bukhari [5705] dan Muslim [220]).
Kandungan Bab:
- Jimat dan menggantungkan jimat merupakan syi'ar kaum Jahiliyyah. Jimat tidak dapat mendatangkan keuntungan dan tidak dapat pula menolak bahaya. Jimat itu sebenarnya hasil khayalan manusia dan waswas syaitan. Oleh sebab itu, banyak sekali bentuk jimat yang tersebar di tengah manusia.
Beberapa di antaranya telah disebutkan oleh Jawad 'Ali dalam bukunya yang berjudul, Sejarah Bangsa Arab Sebelum Islam:
- Nafrah, benda yang digantungkan pada anak-anak untuk menghindari pandangan jahat jin dan manusia, sehingga membuat pan-dangan mereka tidak tertuju kepadanya. Kadangkala benda yang digantungkan itu adalah benda-benda najis; seperti kotoran, kain kotor bekas haidh, tulang dan lain sebagainya. Dan kadangkala berupa nama-nama jelek, seperti qunfudz (landak) dan sejenisnya.
- Gigi musang atau gigi kucing.
- 'Aqrah, jimat yang dipakai wanita di pinggang mereka supaya tidak hamil.
- Yanjalib, jimat yang dipakai isteri supaya suaminya kembali, atau supaya dapat merebut hati suami yang marah kepadanya.
- Tiwalah, qarzahalah, dirdabis, kahlah, kamar dan hamrah. Semua itu adalah sejenis jimat yang dipakai oleh suami atau isteri agar dapat dicintai pasangannya. Menurut mereka, memakai jimat karrar dan hamrah harus membaca jampi-jampi khusus, yaitu, "Ya karra, ya hamrah, curahkanlah cintanya, jika ia datang buatlah ia suka, jika ia pergi, ganggulah mulai dari kemaluan sampai mulutnya."
- Khashmah, jimat yang dipakai untuk menghadap penguasa atau musuh. Biasanya diletakkan pada cincin atau di kancing baju atau di gagang atau gantungan pedang.
- 'Athfah, jimat yang dipakai supaya orang lain menyukainya.
- Salwaanah, jimat yang terbuat dari kain tipis lalu ditanam dalam tanah hingga menghitam warnanya. Lalu digali kembali dan diambil, kemudian diwarnai. Jimat ini diyakini dapat membuat bahagia orang yang memakainya. Bentuk dan kegunaannya hampir sama seperti tamimah.
- Qablah, jimat putih yang digantungkan pada leher kuda untuk menangkal penyakit 'ain (penyakit akibat pengaruh pandangan mata yang jahat).
- Wada'ah, jimat yang terbuat dari benda-benda laut untuk menangkal penyakit 'ain.
- Menggantungkan perhiasan emas pada orang yang tersengat binatang berbisa dengan keyakinan dapat menyembuhkannya. Atau berkeyakinan, sekiranya yang digantungkan adalah perhiasan dari timah niscaya orang itu akan mati.
- Menggantungkan kaki kelinci untuk menangkal penyakit 'ain dan sihir.
- Tahwiithah, benang yang dipintal, terdiri dari dua warna, hitam dan merah. Biasanya diikat pada pinggang kaum wanita untuk menangkal penyakit ain. Dan ada pula jimat yang terbuat dari perak.
- Kejahilan seperti ini masih tersebar sampai sekarang, hanya saja bentuk dan jenisnya berubah. Namun, keyakinan terhadapnya masih tetap seperti dulu. Dahulu, kaum Jahiliyyah menggantungkan tali busur panah pada leher unta mereka agar tidak tertimpa penyakit 'ain. Dan sekarang ini kaum Muslimin yang jahil menggantungkan sepatu kuda di depan pintu rumah mereka atau menggantungkan sandal di depan atau di belakang kendaraan mereka, atau menggantungkan jimat yang terbuat dari kain biru yang diikat pada kaca spion sebelah dalam. Semua itu dengan keyakinan untuk menangkal penyakit 'ain.
Kesesatan ini didukung pula oleh salah seorang tokoh sufi, dia adalah Syaikh al-Jazuli penulis buku Dalaa-ilul Khairaat. Ia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantaraan jimat-jimat dan rajah-rajah. Ia mengarang jampi-jampi ke tujuh untuk dari Ahad, "Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Nabi Muhammad, atas keluarga Muhammad, selama merpati masih mendekur, sekawan unta masih terlindungi dan jimat-jimat masih berguna."
- Memakai jimat adakalanya termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan adakalanya termasuk syirik ashghar, bergantung dengan kondisi orang yang memakainya dan tujuan memakainya.
Salah satu contoh jimat yang termasuk syirik akbar adalah karrar dan hamrah. Termasuk syirik dalam Rububiyyah, meyakini adanya keuntungan dan kerugian dengan memakainya dan menyandarkan keuntungan dan kerugian itu kepadanya. Dan termasuk juga syirik dalam Uluhiyyah karena pemakainya menghadapkan diri dengan berdo'a dan memohon pertolongan kepadanya.
Termasuk juga dinukil oleh asy-Syuqairi dalam bukunya berjudul, As-Sunan wal Mubtada'aat (halaman 326), dari buku berjudul, Ar-Rahmah fit Thibb wal Hikmah, berkenaan dengan pengobatan penyakit kebutaan, "Aku ber'azam kepadamu wahai mata, demi hak Syaraahi Baraahi Adnaawi Ashbaaut Aali Syaday. Aku ber'azam kepadamu wahai mata yang dimiliki si Fulan demi hak syahat, bahan dan asy-hat."
Ini jelas sumpah demi syaitan! Kita berlindung kepada Allah dari kekufuran dan kehinaan!
Termasuk juga jimat-jimat yang mempermainkan dan mengolok-olok ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim. Contohnya jimat ramad, sebagaimana disebutkan dalam kitab as-Sunan wal Mubtada'aat (halaman 325). Pada jimat itu ditulis,
"Katakanlah, Dia-lah Allah yang Mahaesa Sesungguhnya pada mata ini ada penyakit Binti-bintik merah pada bagian putih Cukuplah Allah yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu sebagai penolongku Ya Ilahi, demi pengakuanku bahwa Engkau tak beranak Sembuhkanlah mataku, Ya Ilahi Bebaskanlah daku dari penyakit mata Tidak ada sekutu bagi Allah Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya."
Termasuk juga hijaab (jampi-jampi) penyakit qariinah (kerasukan jin), sebagaimana disebutkan dalam buku as-Sunan wal Mubtada'aat (halaman 332), dalam jampi-jampi itu dikatakan, "Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabb-mu telah bertindak terhadap penyakit qariinah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya qariinah itu sia-sia, dan Dia mengirimkan kepada qariinah burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan qariinah seperti daun-daun yang dimakan ulat. Ya 'Aafi, ya Rabb yang Mahakeras hukuman-Nya dan Mahamemiliki karunia yang luas."
Bukanlah ini merupakan mantera dukun, mempermainkan ayat Al-Qur'an dan mengikuti tipu daya syaitan!? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan, kesesatan dan kerugian.
- Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menjadikan ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits atau do'a-do'a yang mubah sebagai tamimah (jimat). Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pertama, pendapat ulama yang membolehkannya. Mereka berdalil dengan kandungan umum firiman Allah SWT, "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Al-Israa': 82).
Dan berdalil dengan perkataan 'Aisyah r.a., "Sesungguhnya yang dikatakan tamimah (jimat) itu adalah yang digantungkan sebelum musibah, bukan sesudahnya."
Juga dengan perbuatan 'Abdullah bin 'Amr r.a., diriwayatkan bahwa beliau mengantungkan do'a mengusir rasa takut bagi anak-anaknya yang belum baligh, do'a tersebut berbunyi, "Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada Kalamullah Yang Mahasempurna dari kemarahan dan siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari bisikan-bisikan syaitan dan dari kedatangan mereka kepadaku."
Kedua, pendapat ulama yang melarangnya. Mereka membantah argumentasi kelompok pertama sebagai berikut:
- Hadits-hadits yang melarang pemakaian jimat bersifat umum, sementara belum ada dalil lain yang mengkhususkannya. Maka hukumnya tetap berdasarkan kandungan umumnya. Tidak ada pengecualian jimat yang bertuliskan ayat Al-Qur'an, hadits atau do'a-do'a yang mubah.
- Sekiranya perkara itu dibolehkan, maka Rasulullah saw. pasti menjelaskannya sebagaimana halnya dalam masalah ruqyah, penjelasan tentang masalah ruqyah akan kami jelaskan berikutnya, insya Allah. Maka berdasarkan hal tersebut firman Allah SWT, "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Al-Israa': 82).
Dibawakan kepada makna petunjuk dari kesesatan kepada hidayah dan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Atau maksudnya adalah penyembuhan dengan cara ruqyah yang dibolehkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan shahih.
- Ayat-ayat tersebut maknanya masih global, sedang Rasulullah saw. telah menjelaskan kaifiyat pengobatan dengan Al-Qur'an, yaitu dengan membacanya dan mengamalkan kandungannya serta memperhatikan hukum halal dan haram di dalamnya. Tidak ada satupun riwayat dari beliau cara pengobatan dengan menggantungkan ayat-ayat Al-Qur'an.
- Atsar yang diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr r.a. tidak shahih. Berikut penjelasannya, Diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. mengajari mereka do'a mengusir rasa takut, "Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada Kalamullah Yang Mahasempurna dari kemarahan dan siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari bisikan-bisikan syaitan dan dari kedatangan mereka kepadaku." Abdullah bin 'Amr mengajarkan do'a ini kepada anak-anaknya yang sudah mengerti, dan bagi yang belum mengerti beliau menulisnya dan menggantungkan pada mereka. (HR Abu Dawud [3893], Tirmidzi [3590], An-Nasa'i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah [765-766], Ahmad [2/181], Ibnu Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah [746], Baihaqi dalam al-Asmaa' wash Shifaat [241], 'Utsman bin Sa'id ad-Darimi dalam ar-Radd 'alal Jahmiyyah [314-315], Abu Bakar asy-Syafi'i dalam al-Ghiilaaniyyaat [578], Baihaqi dalam ad-Da'awaatul Kabiir [378 dan 530], dan diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam Khalqu Af'aalil 'Ibaad [440])
Saya katakan, "Sanadnya dha'if, Muhammad bin Ishaq adalah perawi mudallis, dan ia meriwayatkannya dengan 'an'anah dalam seluruh jalur sanad yang telah saya periksa."
Akan tetapi bagian matan yang marfu' dikuatkan dengan riwayat lain dari hadits Khalid bin Walid yang diriwatkan oleh Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (638 dan 748) dan al-Baihaqi dalam al-Asmaa' wash Shifaat (halaman 241), namun sanadnya mursal.
Dan ada pula penguat lain yang diriwayatkan oleh Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (740) dengan sanad yang dha'if, di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Hisyam ar-Rifa'i. Dengan demikian, jelaslah bahwa bagian matan yang marfu' ini hasan.
Adapun bagian matan yang mauquf (lafazh, 'Abdullah bin 'Amr mengajari do'a ini kepada anak-anaknya) sanadnya tidak shahih. Disebabkan perawi bernama Muhammad bin Ishaq tadi, ia seorang mudallis dan telah meriwayatkan hadits ini dengan 'an'anah. Dengan demikian, tidak bisa dijadikan dalil bolehnya memakai jimat yang bertuliskan ayat Al-Qur'an, karena riwayatnya tidak shahih. Ditambah lagi status riwayat tersebut hanyalah mauquf (perkataan Sahabat), maka tidak dapat diangkat sebagai hujjah.
Imam asy-Syaukani berkata dalam kitab Tuhfatudz Dzaakiriin (halaman 86), "Ada beberapa dalil yang menunjukkan larangan memakai jimat. Dengan begitu, perbuatan 'Abdullah bin 'Amr ra tadi tidak dapat dijadikan hujjah." Apalagi telah dinukil dari pada Sahabat, bahwa mereka membenci perbuatan seperti itu.
Abu 'Ubaid meriwayatkan dalam kitab Fadhaa'ilul Qur'an (I/111) dengan sanad shahih dari Ibrahim an-Nakha'i, bahwa ia berkata, "Mereka (para Sahabat r.a.) membenci segala macam jenis tamimah (jimat), baik yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur'an ataupun bukan dari ayat-ayat Al-Qur'an."
Kemudian, para ulama yang tidak membolehkannya membawakan alasan-alasan lain sebagai berikut.
Mengikuti kaidah Saddudz Dzaraa'i' (menutup sarana-sarana keburukan dan kejahatan) Agar orang-orang tidak sulit membedakan antara jimat-jimat syirik dengan ruqyah Al-Qur'an. Sebab bila tersamar, tidak akan ada orang yang mengingkari jimat-jimat syirik itu! Kemudian, ayat-ayat Al-Qur'an akan dipermainkan dan disalahgunakan sebagaimana yang telah disebutkan contoh-contohnya. Bahkan sampai ke taraf melecehkan ayat-ayat Al-Qur'an, wal 'iyaa dzubillaah.
Seperti dimaklumi, menutup sarana-sarana yang dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan syirik dan maksiat merupakan salah satu tujuan syari'at yang sangat agung.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendapat yang paling kuat adalah larangan memakai jimat yang bertuliskan Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi ataupun do'a-do'a yang mubah, wallahu a'lam.
- Adapun ruqyah yang dilarang dalam beberapa hadits adalah ruqyah yang bercampur syirik, bukan ruqyah yang bersih dari syirik.
Diriwayatkan dari Kuraib al-Kindi, ia berkata, "'Ali bin al-Husain meraih tanganku, lalu membawaku kepada seorang syaikh Quraisy yang bernama Ibnu Abi Hatsmah yang saat itu ia sedang mengerjakan shalat di salah satu tiang masjid. Kami pun duduk menunggunya. Begitu melihat 'Ali bin al-Husain telah duduk menunggu, Syaikh itu pun mendatanginya. 'Ali berkata kepadanya, 'Sampaikanlah kepada kami sebuah hadits tentang ruqyah dari ibumu.' Ia berkata, 'Ibuku telah menyampaikan kepadaku bahwa ia biasa meruqyah pada zaman Jahiliyyah.' Ketika dienul Islam datang, ia berkata, 'Aku tidak akan meruqyah tanpa seizin Rasulullah saw..' Maka ia pun menemui Rasulullah saw. untuk meminta izin kepada beliau. Rasulullah berkata kepadanya, 'Lakukanlah, selama tidak bercampur dengan syirik.'" (Shahih, Ibnu Hibban [6092], Hakim [IV/57], Abu Dawud [3887], Ahmad [VI/372], dan Baihaqi [IX/349])
Diriwayatkan juga dari 'Auf bin Malik al-Asyja'i, ia berkata, "Pada masa Jahiliyyah dahulu, kami biasa meruqyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang masalah ini?' Beliau berkata, 'Perlihatkan dulu kepadaku ruqyah-ruqyah yang kalian baca. Sebab, boleh saja meruqyah selama tidak bercampur dengan syirik.'" (HR Muslim [2200]).
Oleh sebab itu, Imam al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah [XII/159] sebagai berikut, "Ruqyah yang dilarang adalah ruqyah yang bercampur dengan syirik, atau ruqyah yang biasa dibaca oleh syaitan-syaitan durjana, atau ruqyah dalam bahasa 'ajam (selain bahasa Arab) yang tidak diketahui maknanya, sehingga bisa jadi yang diucapkannya adalah bacaan sihir atau kata-kata kufur. Adapun ruqyah dengan membaca Al-Qur'an atau dzikrullah, maka hal itu dibolehkan dan dianjurkan."
Dengan demikian, jelaslah seorang Muslim boleh meruqyah orang lain dengan syarat ruqyah tersebut tidak bercampur dengan syirik, berdasarkan hadits Jabir bin 'Abdillah r.a., ia berkata, "Dahulu, Rasulullah saw. melarang ruqyah. Lalu datanglah keluarga 'Amr bin Hazm menemui Rasulullah saw. dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kami biasa meruqyah orang yang terkena sengatan kalajengking. Sementara sekarang, engkau telah melarang ruqyah." Kemudian mereka memperlihatkan ruqyah tersebut kepada beliau. Rasulullah saw. bersabda, "Menurutku ruqyah seperti itu dibolehkan. Siapa saja yang dapat memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaklah ia berikan." (HR Muslim [199] dan [63]).
Kondisinya tentu tidak sama dengan orang yang meminta ruqyah atau meminta orang lain supaya meruqyahnya, hal semacam itu makruh hukumnya berdasarkan hadits 'Ukasyah di atas tadi. Dan berdasarkan sabda Nabi saw., "Barang siapa berobat dengan cara kay atau meminta ruqyah, berarti ia telah terlepas dari tawakkal." (Shahih, HR Tirmidzi [2055], Ibnu Majah [3489], Ahmad [IV/249 dan 253], Hakim [IV/415], Baihaqi [IX/341], Ibnu Hibban [6087], dan Baghawi [3241]).
- Jenis-jenis ruqyah yang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah saw. di antaranya adalah:
- Ruqyah al-Ladiigh (ruqyah dari sengatan binatang berbisa), disebutkan dalam kisah Abu Sa'id al-Khudri ra yang meruqyah pemimpin satu kaum dengan membacakan surat al-Faatihah kepadanya. Kisah ini disebutkan dalam kitab ash-Shahihain.
- Ruqyah an-Namlah (ruqyah dari penyakit namlah). Ruqyah ini disebutkan dalam hadits asy-Syifa' binti 'Abdillah r.a., hadits ini shahih sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab Zaadul Ma'aad (IV/184), "Namlah adalah bisul yang keluar dari lambung. Penyakit ini telah dikenal luas. Dusebut namlah (semut) karena penderitanya merasakan seolah semut merayap dalam tubuhnya dan menggigitnya."
- Ruqyah an-Aqrab (ruqyah dari sengatan kalajengking). Ruqyah ini disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah r.a. baru lalu.
- Ruqyah al-Qarhah dan al-Jarh (ruqyah dari bisul dan luka). Ruqyah ini disebutkan dalam hadits Aisyah r.a. dalam ash-Shahihain, Aisyah berkata, "Apabila ada orang yang mengadukan sakitnya kepada Rasulullah, atau orang itu menderita bisul atau luka, maka beliau mengisyaratkan dengan jari beliau seperti ini." Sufyan memperagakan dengan meletakkan jari telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya. 'Aisyah melanjutkan, "Kemudian beliau membaca do'a, 'Dengan menyebut Nama Allah, inilah tanah bumi kami dan dengan ludah kami mudah-mudahan penyakit kami dapat disembuhkan dengan izin Rabb kami.'"
- Ruqyah al-'Ain (ruqyah dari pengaruh jahat pandangan mata yang hasad). Ruqyah ini disebutkan dalam hadits Abu Sa'id al-Khudri r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwasanya Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah saw., dan berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau mengeluh sakit?" Rasul menjawab, "Benar!" Maka Jibril berkata, "Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu dari gangguan segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala jiwa dan mata orang yang hasad. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu."
- Sabda Nabi saw., "Tidak ada ruqyah (yang lebih mujarab) kecuali karena 'ain (pengaruh jahat pandangan mata orang yang hasad) atau terkena humah (sengatan berbisa). (Shahih, Abu Dawud [3884], Tirmidzi [2057], dan Muslim [220].
Sabda Nabi bukanlah pembatasan ruqyah hanya untuk dua penyakit itu saja, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Zaadul Ma'aad (IV/175), Jika ada yang bertanya, "Bagaimanakah menurut kalian tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang berbunyi, 'Tidak ada ruqyah (yang lebih mujarab) kecuali karena 'ain atau terkena humah?'" Humah adalah seluruh jenis binatang berbisa. Maka jawabnya, "Maksud Rasulullah saw. bukanlah melarang ruqyah karena penyakit-penyakit lainnya. Maksud beliau adalah, tidak ada ruqyah yang lebih baik dan lebih mujarab kecuali ruqyah untuk orang yang terkena 'ain atau humah. Kisah dalam hadits tersebut cukup menjadi bukti, dalam kitab itu disebutkan bahwa ketika Sahl bin Hunaif terkena pengaruh jahat pandangan mata orang yang hasad (terkena 'ain), dikatakan kepadanya, 'Bisakah sembuh dengan ruqyah?' Beliau berkata, 'Tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali ruqyah karena 'ain atau terkena humah.'"
Bukti lainnya adalah hadits-hadits yang bercerita tentang ruqyah, baik hadits umum maupun hadits khusus. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Tidak ada ruqyah (yang lebih mujarab) kecuali ruqyah karena 'ain atau terkena humah atau darah yang mengucur (luka).'"
Dalam Shahiih Muslim dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. membolehkan ruqyah karena 'ain, terkena humah atau penyakit namlah."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 104-118.