Allah SWT berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.'" (Ali 'Imran: 191).
"Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.'" (Yunus: 101).
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk neraka." (Shaad: 27).
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, "Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah." (Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]).
Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid r.a., dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; orang yang memisahkan diri dari jama'ah, ia mendurhakai imam dan mati dalam keadaan durhaka. Budak wanita atau pria yang melarikan diri dari tuannya, lalu mati. Dan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya dengan memberi perbekalan yang cukup, lalu sepeninggal suaminya ia bersolek (untuk lelaki lain)." Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; Orang yang merampas selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah kemuliaan. Orang yang ragu tentang Allah. Dan orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah." (Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [590], Ahmad [IV/19], Ibnu Hibban [4559], Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah [89], dan al-Bazzar [84]).
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu mengatakan, 'Siapakah yang telah menciptakanmu?' 'Allah!' jawabnya. Lalu syaitan bertanya lagi: 'Lalu siapakah yang menciptakan Allah?' Jika kalian menghadapi hal seperti ini, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.' Sesungguhnya, ucapan itu dapat menghilangkan waswas syaitan itu." (Shahih, HR Ahmad [VI/258] dan Ibnu Hibban dalam al-Mawarid [41])
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw., beliau bersabda, "Sesungguhnya syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu berkata, 'Siapakah yang telah menciptakan ini? Siapakah yang telah menciptakan itu?' Hingga syaitan berkata kepadanya: 'Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?' Jika sudah sampai demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dengan mengucapkan isti'adzah dan berhenti." (HR Bukhari [3276] dan Muslim [134]).
Dari jalur lain diriwayatkan dengan lafazh. "Hampir tiba masanya orang-orang saling bertanya sesama mereka. Sehingga ada yang bertanya, 'Allah telah menciptakan ini dan itu, lalu siapakah yang menciptakan Allah?' Jika mereka mengatakan seperti itu, maka bacakanlah, 'Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Mahaesa.' Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.' (Al-Ikhlas: 1-4). Kemudian, hendaklah ia meludah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan dengan mengucapkan isti'adzah." (HR Abu Dawud [4732], An-Nasa'i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah [460], Abu Awanah [I/81-82], Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhiid [VII/146]).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Allah SWT berfirman, 'Sesungguhnya ummatku akan terus-menerus bertanya apa ini, apa itu?' Hingga mereka bertanya, 'Allah telah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah'" (HR Muslim [136]).
Dalam riwayat lain ditambahkan, "Pada saat seperti itu mereka tersesat." (Shahih, HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [647]).
Kandungan Bab:
- Allah SWT. telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur. Anjuran ini ada dua macam.
Pertama, anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat disimak. Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat meyakini kehebatan atau Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an? kalau kiranya al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (Muhammad: 24).
Kedua, anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah SWT. firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'" (Yunus: 101).
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka, bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu." (Fushshilat: 53).
- Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah swt yang dapat disaksikan dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam, dengan menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah SWT, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 191).
- Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-kirakan. Allah SWT. berfirman, "Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaahaa: 110). Karena Dzat Allah Mahaagung dan Mahatinggi dari kandungan permisalan dan qiyas.
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu." (Al-An'aam: 103).
Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, "Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash: 4). Oleh sebab itulah melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-Nya Yang Mahasuci.
- Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan tentang Allah. Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat, "Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?" Pertanyaan itu pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah Pencipta bukan makhluk! Allah SWT berfirman, "Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).
Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah sebuah kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidakmungkinan. Karena kesamaran itulah, syaitan menerobos masuk ke dalam hati manusia sehingga mereka ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya menyamakan Allah (ak-Khaliq) dengan makhluk. Tanpa ragu lagi. Makhluk pasti ada yang menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang siapa yang menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk, wal 'iyaadzubillaah.
- Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-pemikiran syaitan ini, yaitu mengikuti tata cara Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.:
- Membaca surat Al-Ikhlash.
- Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.
- Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan membaca isti'adzah.
- Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.:
- Memutus waswas dan menghentikan keraguannya.
- Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati penyakit waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal (perdebatan) logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang bingung. Hendaklah orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda Nabi, "Sesungguhnya hal itu dapat menghilangkannya."
Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, maka syaitan pasti lari.
- Kaum Salafush Shalih menerapkan metodologi Al-Qur'an dalam memutus waswas ini.
Diriwayatkan dari Abu Zumail, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., kukatakan padanya, 'Ada suatu perkara yang terlintas dalam hatiku.'" "Apa itu?" tanya beliau. "Demi Allah, aku tidak ingin membicarakannya!" jawabku pula. Beliau berkata, "Adakah itu sesuatu yang membuatmu ragu?" Beliau tersenyum, lalu berkata, "Tidak ada seorang pun yang terhindar dari hal itu. Namun Allah SWT telah menurunkan firman-Nya, "Maka, jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca al-Kitab sebelum kamu." (Yunus: 94) Lalu ia berkata kepadaku, "Jika engkau merasakan sesuatu yang meragukan di dalam hati, maka katakanlah, 'Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu.'" (Al-Hadiid: 3). (Shahih, HR Abu Daud [5110]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 91-98.