Ayat 102, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit. dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu .” (an-Nisaa’: 102)
Sebab Turunnya Ayat
Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwwah–dia juga menshahihkannya–meriwayatkan bahwa Abi Ayyasy az-Zuraqi berkata, –“Pada suatu ketika kami bersama Rasulullah saw. di Asfan. Di sana kami bertemu dengan orang-orang musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Posisi mereka adalah antara kami dan Kiblat. Lalu Rasulullah saw. memimpin kami melakukan shalat zhuhur. Maka orang-orang musyrik berkata, ‘Sunngguh mereka tadi dalam kondisi lengah dan bisa kita menyerangnya.’ Setelah beberapa saat mereka berkata lagi, ‘Saat ini tiba waktu mereka senangi daripada anak-anak dan diri mereka sendiri.’ Lalu Jibril turun kepada Rasulullah saw. di antara waktu zhuhur dan ashar menyampaikan ayat, ‘“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka,…'” (94)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Abu Hurairah. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits serupa dari Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Firman Allah, ‘…Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit,…” (an-Nisaa’: 102), turun pada Abdurrahman bin Auf ketika menderita luka-luka.” (95)
Ayat 105, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat ,” (an-Nisaa’: 105)
Sebab Turunnya Ayat
At-Tirmidzi, al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Qatadah ibnun Nu’man berkata, “Di antara kerabat kami ada yang bernama Basyar, Basyir, dan Mubasyar. Mereka adalah anak-anak Ubairiq. Basyir adalah seorang munafik. Dia merangkai syair untuk mengejek para sahabat Nabi saw., kemudian mendapatkan imbalan dari beberapa orang Arab. Dia berkata, ‘Si fulan berkata begini…’ Dan mereka adalah orang miskin ketika masa jahiliah dan setelah Islam. Adapun makanan mereka (kaum miskin itu) adalah kurma dan gandum dari Madinah.
Kemudian paman saya, Rifa’ah bin Zaid, membeli tepung banyak satu bawaan unta. Kemudian dia meletakkannya di salah satu ruangan di dalam rumahnya yang juga terdapat senjata, baju perang, dan pedang miliknya. Lalu kamarnya itu dibobol dari bawah dan bahan makanan serta senjatanya diambil. Ketika pagi tiba, paman saya, Rifa’ah mendatangi saya lalu berkata, “Wahai keponakanku, ruangan di rumah kita dibobol tadi malam. Makanan dan senjata yang ada di dalamnya diambil.’
Kami segera menyelidiki seluruh rumah kami. Kami bertanya kepada orang-orang, lalu ada seseorang berkata, ‘Tadi malam kami melihat anak-anak Ubairiq menyalakan api untuk masak. Dan kami melihat itu adalah bahan makanan kalian. Ketika kami sedang menanyakan tentang hal itu, anak-anak Ubairiq berkata, ‘Demi Allah, menurut kami Labid bin Sahl, salah seorang dari kita yang shaleh dan agamanya bagus, yang mencurinya.’
Ketika mendengar tuduhan itu, Labid menghunus pedangnya dan berkata kepada anak-anak Ubairiq, ‘Apa? Saya mencuri? Demi Allah, pedang ini akan menebas kalian atau kalian dakan menjelaskan kebenaran pencurian ini!’
Anak-anak Ubairiq pun berkata, ‘Menjauhlah dari kami, engkau bukanlah pemilik barang-barang itu (bukan pencuri).’ Lalu kami menannyakan kembali tentang makanan itu agar kami tidak ragu lagi bahwa mereka benar-benar pemiliknya.
Lalu paman saya berkata kepada saya, “Keponakanku, coba engkau temui Rasulullah saw. dan kau ceritakan tentang hal ini.’
Lalu saya menemui Rasulullah saw. dan berkatakan kepada beliau, “Di antara kerabat kami ada orang-orang yang berwatak keras. Mereka membobol salah satu ruangan di rumah saya, lalu mengambil senjata dan bahan makanan yang ada di dalamnya. Kami meminta mereka mengembalikan senjata kami. Adapun makanan, kami tidak lagi membutuhkannya.’
Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Akan saya pikirkan hal ini.’
Ketika anak-anak Ubairiq mendengar aduan itu, mereka mendatangi salah seorang dari keluarga mereka yang bernama Asir bin Urwah dan memberi tahunya tentang hal itu. Kemudian beberapa orang dari keluarga mereka berkumpul dan menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah dan pamannya menuduh keluarga kami, orang-orang Islam yang baik, telah mencuri tanpa ada bukti.’
Qatadah berkata, ‘Lalu kami mendatangi Rasulullah saw.. Kemudian beliau bertanya kepada saya, ‘Engkau menuduh keluarga yang dikenal sebagai orang Islam dan orang baik telah mencuri tanpa ada bukti.‘ Saya pun kembali ke rumah. Lalu saya memberi tahu paman saya tentang hal itu. Dia pun berkata, ‘Hanya Allah tempat meminta pertolongan.’ Tidak lama dari itu, turunlah firman Allah,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat ? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah) ? Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (an-Nisaa’: 105-113)
Maksud, ‘…orang-orang khianat,” adalah orang-orang dari bani Ubairiq. ‘Dan mohonlah ampun kepada Allah,” wahai Muhammad dari apa yang kau katakan kepada Qatadah.
Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. menyerahkan senjata itu kepada Rifa’ah. Sedangkan Basyir, dia mendatangi orang-orang musyrik lalu singgah di tempat Sulafah binti Sa’ad. Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisaa’: 115-116)
Al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.’ (96)
Ibnu Sa’ad, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Mahmud bin Labid berkata, “Basyir ibnul Harts memasuki ruang di atas rumah Rifa’ah bin Zaid, paman Qatadah bin Nu’man, dengan paksa dan membobolnya dari bagian belakang. Lalu dia mengambil makanannya, baju perangnya, serta peralatan keduanya.
Lalu Qatadah mendatangi Nabi saw. dan mengadukan hal itu. Beliau pun memanggil Basyir dan menannyakan hal itu. Namun, dia tidak mengakuinya. Dia malah menuduh Labid bin Sahl, salah seorang dari keturunan terhormat, yang telah melakukannya. Lalu Allah menurunkan firman-Nya yang menyatakan kebohongan Basyir dan menjelaskan ketidakbersalahan Labid, “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia…,” “hingga akhir ayat.
Ketika ayat itu turun, Basyir melarikan diri ke Mekah dalam keadaan murtad. Lalu dia singgah di tempat Salamah binti Sa’ad dan menjelek-jelekkan Nabi saw. serta orang-orang muslim. Turunlah friman Allah padanya,
“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad)...” (an-Nisaa’: 115)
Hasan bin Tsabit pun mengejeknya dengan syairnya hingga dia kembali pada bulan Rabi’ul tahun empat Hijriah.
Ayat 123, yaitu firman Allah ta’ala,
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (an-Nisaa’: 123)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Tidak akan masuk surga selain kami.’ Sedangkan orang-orang Quraisy berkata, ‘Kami tidak akan dibangkitkan kembali setelah mati.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.”
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Masruq berkata, “Orang-orang Nasrani dan orang-orang Islam saling membangga-banggakan diri. Orang-orang Nasrani berkata, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Orang-orang Islam juga membalas, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.'”
Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Qatadah, adh-Dhahak, as-Suddi, dan Abu Shaleh. Sedangkan lafal dari jalur mereka adalah, “Para pemeluk berbagai agama saling membangga-banggakan diri mereka…”
Dalam lafal lain, “Pada suatu hari beberapa orang Yahudi, orang Nasrani, dan beberapa orang Islam duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Sebagian lagi membalas, “Kamilah yang lebih baik.’ Lalu turunlah firman Allah di atas.”
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bahwa Masruq berkata, “Ketika firman Allah, ‘”(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab” orang-orang dari Ahli Kitab berkata, “Kami dan kalian adalah sama saja.’ Maka turunlah firman Allah,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (an-Nisaa’: 124)
Ayat 127, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (an-Nisaa’: 127)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah tentang ayat ini, dia berkata, “Yang dimaksud ayat ini adalah seorang lelaki yang mengasuh seorang anak perempuan yatim. Lelaki itu sendiri adalah wali dan pewarisnya. Dia ikut makan dari harta anak perempuan yatim itu hingga dari pohon kurmanya. Dia sendiri ingin menikahinya dan tidak ingin menikahkannya dengan orang lain karena khawatir seuaminya kelak akan ikut mengambil bagian dari harta anak yatim itu. Maka dia pun menahannya agar tidak menikah dengan orang lain. Lalu turun firman Allah di atas.” (97)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddi bahwa Jabir mempunyai seorang putri pamannya yang tidak cantik. Putri pamannya itu memunyai harta warisan dari ayahnya. Jabir tidak ingin menihakinya, namun juga tidak ingin menikahkannya dengan orang lain karena khawatir suaminya akan mengambil hartanya. Lalu dia bertanya kepada Nabi saw.. Kemudian turunlah firman Allah di atas.
Ayat 128, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya , dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir . Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisaa’: 128)
Sebab Turunnya Ayat
Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Saudah takut dicerai oleh Rasulullah saw. ketika usianya semakin tua. Maka dia berkata, ‘Hariku bersama beliau saya berikan kepada Aisyah.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh,…” hingga akhir ayat.” 98)
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dengannya dari Ibnu Abbas.
Sa’id bin Manshur juga meriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyib bahwa putri Muhammad bin Maslamah adalah istri Rafi’ bin Khudaij. Lalu Rafi’ menjadi tidak suka terhadapnya, entah karena sudah tua atau yang lainnya, lalu dia ingin mencerainya. Maka istrinya itu berkata, “Jangan kau cerai aku. Aku rela menerima apa saja yang akan kau berikan kepadaku.” Lalu turunlah firman Allah, “”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh,…” hingga akhir ayat.
Al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Firman Allah, ‘…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…,‘ turun pada seorang lelaki yang mempunyai seorang istri yang telah melahirkan beberapa anak untuknya. Lalu dia ingin mencerainya dan menikah dengan yang lain. Istrinya itu memohon kepadanya agar dia tetap dijadikan istrinya, walaupun tidak mendapatkan giliran.” (99)
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Ketika firman Allah, ““”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh,...” turun, seorang wanita datang dan berkata, ‘Saya ingin mendapatkan bagian nafkah darimu.’ Padahal sebelumnya dia rela untuk tidak mendapatkan giliran dan tidak dicerai. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘…walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir…'”
Ayat 135, yaitu firman Allah ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisaa’: 135)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa as-Suddi berkata, “Ayat ini turun pada Nabi saw. ketika seorang kaya dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan Rasulullah saw. memihak orang yang fakir karena menurut beliau orang fakir tidak menzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tetap ingin agar beliau berlaku kepada orang yang kaya dan fakir tersebut.”
94. HR. Ahmad dalam al-Musnad (4/59) dan HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak (No. 1/337).
95. HR. Bukhari dalam Kitabut Tafsir, 4599.
96. HR. Tirmidzi dalam Kitabut Tafsir, No. 3036 dan HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/385).
97. HR. Bukhari dalam Kitabut Tafsir, No. 4600.
98. HR. Abu Dawud dalam Kitabun Nikah, No. 2135 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, No. 2710.
99. HR. Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, (7/296) dan HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, (2/238).
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 197-206.