Ayat 111, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah. lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 111)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi bahwa Abdullah bin Rawahah berkata kepada Rasulullah, “Tetapkan syarat sesukamu untuk Tuhanmu dan untuk dirimu.” Beliau bersabda, “Aku syaratkan untuk Tuhanku: kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun; dan aku syaratkan untuk diriku: kalian melindungi aku seperti melindungi diri dan harta kalian sendiri.” Mereka menjawab, “Kalau kami lakukan itu, apa balasan untuk kami?” Beliau menjawab, “Surga.” Kata mereka, “Transaksi yang menguntungkan! Kami tidak akan membatalkannya! Maka turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min…” (229)
Ayat 113, yaitu firman Allah ta’ala,
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (at-Taubah: 113)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari jalur Sa’id ibnul-Musayyab dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abu Thalib hendak meninggal, Rasulullah datang menemuinya, sementara di ruangan tersebut ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah. Rasulullah bersabda, “‘Wahai Paman, ucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ agar aku dapat membelamu dengannya di hadapan Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah berkata, “Hai Abu Thalib, apakah kamu mau meninggalkan agama Abdul Muththalib?’
Keduanya terus berbicara kepadanya hingga kalimat terakhir yang dia ucapkan kepada mereka adalah, ‘Di atas agama Abdul Muththalib.’ Nabi saw. berucap ‘Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.’ Maka turunlah ayat,
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,...’
Dan Allah menurunkan firman-Nya tentang Abu Thalib,
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi,...” (al-Qashash: 56)
Zhahir hal ini menunjukkan bahwa ayat ini turun di Mekah.” (230)
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ali–dan dinyatakan hasan oleh al-Hakim–, kata Ali, “Aku mendengar seorang beristighfar untuk kedua orang tuanya yang musyrik, maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu beristighfar untuk orang tuamu padahal mereka musyrik?’ Ia menjawab, ‘Nabi Ibrahim pun beristighfar untuk bapaknya padahal ia musyrik!’ Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah sehingga turunlah ayat,’ ‘Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,…'” (231)
Al-Hakim, al-Baihaqi dalam ad-Dalaa’il, dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah pergi ke pekuburan pada suatu hari. Beliau lalu duduk di salah satu kuburan, berbicara kepadanya lama, lalu menangis. Aku pun ikut menangis mendengar tangis beliau. Kemudian beliau berkata, “‘Kuburan yang aku duduk di dekatnya tadi adalah kuburan ibuku. Aku telah meminta izin kepada Allah untuk mendoakannya, akan tetapi Dia tidak mengizinkan.” Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,…'” (232)
Ahmad dan Ibnu Mardawaih (lafazh berikut darinya) meriwayatkan hadits Buraidah, ia berkata, “Ketika itu aku bersama Nabi saw. di ‘Usfan. Beliau melihat kuburan ibunya, kemudian berwudhu, shalat, lalu menangis. Selanjutnya beliau bersabda, ‘Aku tadi meminta izin Allah untuk beristighfar baginya tapi aku dilarang.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,…'” (233)
Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan hal serupa dari hadits Ibnu Abbas, dan bahwa hal itu terjadi setelah beliau kembali dari Tabuk ketika beliau pergi umrah ke Mekah dan singgah di ‘Usfan. (234)
Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Ada kemungkinan turunnya ayat ini punya sejumlah sebab, sebab yang terdahulu adalah perkara Abu Thalib, sebab yang belakangan adalah perkara Aminah dan kisah Ali.” Ulama yang lain mengompromikan (riwayat-riwayat di atas) bahwa ayat ini turun beberapa kali. (235)
Ayat 117, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,” (at-Taubah: 117)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Bukhari dan lain-lain meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik, katanya, “Aku tidak pernah tidak ikut bersama Rasulullah dalam suatu pertempuran kecuali Perang Badar, hingga terjadi Perang Tabuk, yang merupakan perang terakhir yang beliau jalani. Beliau mengumumkan keberangkatan kepada khalayak… (ia menceritakan kisahnya dengan panjang), Kemudian Allah menurunkan ayat tentang tobat atas kami, “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin,…” hingga firman-Nya pada ayat 118,’ ‘…Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.’ Dan tentang kamilah turun ayat 119, ‘….Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.'” (236)
Ayat 122, firman Allah ta’ala,
“Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Irkimah bahwa ketika turun ayat, “Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih…” (at-Taubah: 39)–padahal waktu itu sejumlah orang tidak ikut pergi berperang karena sedang berada di padang pasir untuk mengajar agama kepada kaum mereka–maka orang-orang munafik mengatakan,—“Ada beberapa orang di padang pasir tinggal (tidak berangkat perang). Celakalah orang-orang padang pasir itu.” Maka turunlah ayat, “Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang)….” (237)
Ia meriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Umar, katanya, “Karena amat bersemangat untuk berjihad, apabila Rasulullah mengirim suatu regu pasukan, kaum muslimin biasanya ikut bergabung ke dalamnya dan meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama sejumlah kecil warga. Maka, turunlah ayat ini.” (238)
229. Ibnu Jarir (11/27). Demikian pula al-Qurthubi dan Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini.
230. Shahih, muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1360) dalam al-Janaa’iz dan Muslim (24) dalam al-Iimaan. Ibnu Katsir (2/517) mengatakan, “Juga turun mengenai Abu Thalib ayat: [al-Qashash: 56]. Dan ia menisbatkannya kepada Ahmad (1/99).
231. Hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (3101) dalam at-Tafsiir.
232. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (2/518), dan riwayat ini lemah, diriwayatkan oleh al-Hakim (1/375) dan al-Baihaqi (4/77).
233. Ibid. Juga oleh Ahmad (5/355) dan al-Hakim (2/336), dan ini lemah.
234. Ath-Thabrani (11/374) dalam al-Mu’jamul Kabiir.
235. Lihat ad-Durrul Mantsuur (3/307).
236. Shahih Bukhari (4418) dalam al-Maghaazi. Dan disebutkan oleh Ibnu Katsiir (2/522).
237. Ibnu Katsir (2/528) menulis bahwa Mujahid mengatakan, “Ayat ini turun tentang beberapa orang sahabat Rasulullah yang pergi ke padang pasir, lalu mereka mendapat perlakuan yang baik dari penduduknya, dan mereka memanfaatkan kesuburan daerah itu, serta mendakwahi orang-orang yang mereka temui. Penduduk setempat berkata kepada mereka, ‘Kami lihat kalian telah meninggalkan para sahabat kalian dan kalian mendatangi kami.’ Kalimat itu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati mereka. Lalu mereka semuanya meninggalkan daerah padang pasir untuk mengahdap Rasulullah. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Falaulaa nafara.”
238. Lihat ad-Durrul Mantsuur (3/317).
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 304-309.