Ayat 48, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (an-Nuur: 48)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari mursal al-Hasan bahwa dahulu, kalau seorang punya permusuhan atau persengketaan dengan orang lain, lalu ia diajak menghadap Nabi saw., dan ia berada di pihak yang benar, maka ia akan patuh dan ia tahu bahwa Nabi saw. akan memberikan haknya kepadanya. Tapi kalau ia mau berbuat zalim lalu ia diajak untuk menghadap Nabi saw., ia akan berpaling seraya mengatakan, “Pergilah menemui si Fulan!” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya,…” (400)
Ayat 55, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur: 55)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Hakim (sambil menyatakan shahih) dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab bahwa ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah dan ditampung kaum Anshar, seluruh bangsa Arab bersatu memusuhi mereka. Kaum muslimin ketika itu tidak tidur tanpa membawa senjata, dan tidak bangun kecuali memegang senjata. Maka mereka berkata, “Kalian lihat kapan kita hidup dan tidur dengan aman, tidak takut kecuali kepada Allah?!” Maka turunlah ayat, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu …” (401)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Barra’, dia berkata, “Ayat ini turun tentang kami tatkala kami berada dalam ketakutan yang hebat.” (402)
Ayat 61, yaitu firman Allah ta’ala,
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (an-Nuur: 61)
Sebab Turunnya Ayat
Abdurrazzaaq berkata, “Muammar memberi tahu kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid bahwa dahulu orang menuntun orang bta, orang pincang, dan orang sakit ke rumah ayahnya, rumah saudara lelakinya, rumah saudara wanitanya, atau rumah bibinya. Sementara orang-orang yang sakit kronis enggan melakukan hal itu. Kata mereka, “Mereka membawa kita ke rumah selain rumah mereka sendiri!’ Maka turunlah ayat ini sebagai rukhsah bagi mereka.” (403)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Allah menurunkan ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar),…” (an-Nisaa'” 29)
Kaum muslimin berkata, “Allah melarang kita memakan harta benda di antara sesama kita dengan cara yang batil. Karena makanan termasuk harta paling afdhal, berarti seseorang tidak boleh makan di tempat orang lain.” Maka orang-orang pun berhenti melakukannya, sehingga turun ayat, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu,…” sampai firman-Nya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan berasama-sama mereka atau sendiri.” (404)
Adh-Dhahhak meriwayatkan (405) bahwa dahulu sebelum Nabi saw. diutus, orang-orang jahiliah pada waktu makan tidak mau ditemani orang buta, orang sakit, atau orang pincang, sebab orang buta tidak dapat melihat makanan yang bagus, orang yang sakit tidak dapat menyantap makanan seperti orang sehat, dan orang pincang tidak dapat berdesakan untuk mendapatkan makanan. Maka, turunlah rukhsah tentang makan bersama mereka.
Ia meriwayatkan dari Maqsim bahwa dahulu mereka enggan makan bersama orang buta dan orang pincang. Maka turunlah ayat ini. (406)
Ats-Tsa’labi meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas bahwa al-Harits berangkat perang bersama Rasulullah dan dia meninggalkan keluarganya dalam penjagaan Khalid bin Zaid, tapi dia segan makan makanan mereka sebab dia sakit. Maka turunlah firman Allah, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri,…” (407)
Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Aisyah bahwa kaum muslimin sangat ingin pergi berperang bersama Rasulullah. Maka mereka pun menyerahkan kunci rumah-rumah mereka kepada orang-orang yang sakit keras disertai pesan kepada mereka, “Kami izinkan kalian makan apa saja yang kalian inginkan!” Akan tetapi mereka (orang-orang yang sakit itu) berkata, “Kita tidak boleh makan, sebab mereka memberi izin tidak secara sukarela.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri,” hingga firman-Nya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (408)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari az-Zuhri bahwa ia ditanya tentang firman-Nya, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri,” “Mengapa orang buta, orang pincang, dan orang sakit disebut di sini?” Ia menjawab, “Ubaidullah bin Abdullah memberi tahuku bahwa dahulu apabila kaum muslimin pergi berperang, mereka meninggalkan orang-orang sakit keras dan menyerahkan kunci rumah kepada mereka, disertai pesan, ‘Kami izinkan kalian makan apa saja yang ada di rumah kami.’ Akan tetapi orang-orang sakit itu merasa segan melakukannya. Kata mereka, ‘Kita tidak boleh memasuki rumah mereka sewaktu mereka tidak ada.’ Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai rukhsah bagi mereka.” (409)
Ia meriwayatkan dari Qatadah bahwa ayat, ““Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” “turun tentang satu marga bangsa Arab, yang salah seorang dari mereka tidak mau makan seorang diri, dan selalu membawa makanannya setengah harian sampai dia temukan seseorang yang makan bersamanya. (410)
Ia meriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Abu Shaleh, kata mereka, “Apabila orang-orang Anshar menerima tamu, mereka tidak makan hingga si tamu makan bersama mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai rukhsah bagi mereka.” (411)
Ayat 62, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mu’min ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nuur: 62)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Ishaq dan al-Baihaqi dalam ad-Da’aa’il meriwayatkan dari Urwah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, dan lain-lain bahwa ketika Quraisy datang menyerbu pada Perang al-Ahzab, mereka berkemah di Majma’ul Asyaal dekat Roumah Bi’r di Madinah. Mereka dipimpin Abu Sufyan. Suku Ghathafan juga datang dan mereka berkemah di Na’maa, di lereng Gunung Uhud. Ketika Rasulullah mendengar berita itu, beliau segera menggali parit di sekitar Madinah. Beliau bekerja, juga kaum muslimin ikut bekerja, sementara kaum munafikin berlambat-lambat (enggan). Mereka memilih pekerjaan yang ringan-ringan, lalu menyelinap pergi ke rumah mereka tanpa sepengetahuan dan izin Rasulullah.
Sementara kalau seseorang dari kaum muslimin punya hajat ang harus diselesaikan, ia memberitahukannya kepada Rasulullah dan meminta izin untuk memenuhi hajatnya lalu beliau memberinya izin. Kalau sudah selesai dari hajatnya, dia kembali bekerja. Maka Allah menurunkan firman-Nya tentang kaum mukminin itu, “(Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad), dalam suatu urusan bersama,…” hingga firman-Nya ayat 64, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (412)
Ayat 63, yaitu firman Allah ta’ala,
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nuur: 63)
Sebab Turunnya Ayat
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam ad-Dalaa’il melalu jalur adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas bahwa mereka dahulu memanggil, “Hai Muhammad, hai Abul Qasim!” Maka Allah menurunkan ayat, “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…” Maka mereka memanggil, “Wahai Nabi, Wahai Rasulullah!” (413)
400. Takhrij atsar ini telah disebutkan dalam ayat 60 surah an-Nisaa’.
401. Shahih. Al-Hakim (2/401) dalam al-Mustadrak sambil menyatakan shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Ibnu Katsir berkata (3/425), “Nabi saw. dan para sahabatnya di Mekah selama sekitar sepuluh tahun berdakwah secara rahasia, menyeru masyarakat untuk hanya menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. Mereka dalam keadaan takut. Mereka tidak diperintahkan berperang, kecuali setelah hijrah ke Mdinah. Setelah mereka pindah ke Madinah, Allah memerintahkan mereka berperang. Mereka tinggal di sana dalam keadaan takut, siang malam membawa senjata. Hal itu berlangsung selama beberapa waktu. Kemudian seorang sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah untuk selamanya kita akan berada dalam ketakutan seperti ini? Apakah belum tiba waktunya kita hidup aman dan dapat meletakkan senjata?’ Rasulullah menjawab, ‘Kalian hanya perlu bersabar sedikit hingga kalian nanti dapat duduk di antara kumpulan orang banyak tanpa memegang senjata.’ Dan Allah menurunkan ayat ini. Lalu Allah memenangkan nabi-Nya atas jazirah Arab. Di saat itulah mereka dapat hidup aman dan meletakkan senjata.”
402. Kata al-Qurthubi (6/4835), “Ayat ini turun tentang Abu Bakar dan Umar r.a..”
403. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (4/429-430). Kata al-Qurthubi (6/4851), “Dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai rasul, bangsa Arab dan orang-orang yang tinggal di Madinah menghindari makan bersama orang-orang yang punya uzur. Sebagian di antara mereka berbuat demikian karena merasa jijik dengan gerayangan tangan orang yang buta, cara duduk orang yang pincang, dan bau penyakit orang yang sakit. Ini merupakan akhlak jahiliah dan mencerminkan kesombongan. Maka turunlah ayat ini mengingatkan…Sedang sebagian lagi dari mereka berbuat demikian karena merasa rikuh…”
404. Ibid.
405. Ibid.
406. Ibid.
407. Ad-Durrul Mantsuur (5/63).
408. Shahih. Al-Haitsami (7/84) dalam Majma’uz Zawaa’id, seraya mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para perawinya adalah perawi hadits shahih.” Lihat Ibnu katsir (3/430).
409. As-Suyuthi (5/58) menisbatkannya kepada Abd bin Humaid dalam ad-Durrul Mantsuur. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/430).
410. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/430), “Ini adalah marga dari bani Kinanah.” Ia lalu menisbatkannya kepada Qatadah.
411. As-Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsuur (5/58) dan dinisbatkannya kepada Ibnu Jarir. Lihat Ibnu Jarir (18/172).
412. Al-Qurthubi menambahkan (6/4589), “Ayat ini turun tentang Umar yang meminta izin pulang kepada Nabi saw. dalam Perang Tabuk dan beliau mengizinkannya dengan mengatakan, ‘Pergilah, kamu bukan seorang munafik.’ Ibnu Abbas r.a. berkata, ‘Umar r.a. meminta izin pada waktu umrah, dan Nabi saw. bersabda kepadanya setelah beliau memberinya izin, ‘Hai Abu Hafsh, jangan lupa mendoakan kami!’ Yang shahih adalah riwayat yang pertama, yaitu yang berkenaan denan kisah pembuatan parit.”
413. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/432). Kata al-Qurthubi (6/4860), “Ibnu Abbas berkata, ‘Jangan mencari gara-gara dengan membuat marah Rasulullah sehingga beliau mendoakan kecelakaan atas kalian, sebab doa beliau mustajab.'” Menurut saya, tentang sebab turunnya ayat ini ada riwayat lain bahwa kaum munafikin ketika itu menyelinap pergi pada waktu shalat Jumat dan enggan menyimak khotbah dengan cara berlindung dengan tubuh para sahabat. Lalu kedok mereka dibuka ayat ini. (Lihat al-Qurthubi dan Ibnu Katsir).
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 405 – 412.