Ayat 23, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,” (an-Nuur: 23)
Sebab Turunnya Ayat
Ath-Thabrani meriwyatkan dari Khashif, dia berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id ibnuz-Zubair, “Mana yang lebih berat: zina atau qadzf? Ia menjawab, ‘Zina.’ Aku berkata, ‘Allah berfirman, ‘Sesunguhnya orang yang menuduh wanita yang baik-baik.” Ia berkata, “Ini turun khusus tentang urusan Aisyah.'” Dalam sanad riwayat ini terdapat Yahya al-Hamaani, seorang yang lemah. (383)
Ia meriwayatkan pula dari adh-Dhahhak bin Muzahim bahwa ayat ini turun tentang istri Nabi saw. secara khusus, “Sesungguhnya orang yang menuduh wanita baik-baik.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Sa’id ibnuz-Zubair dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun tentang Aisyah secara khusus. (384)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Aku difitnah tanpa aku menyadarinya. Kemudian aku mendengarnya. Dan ketika Rasulullah berada bersamaku, beliau menerima wahyu…lalu bersabda, ‘Hai Aisyah, bergembiralah!‘ Aku menyahut, ‘Aku memuji Allah, bukan memujimu!’ Lalu beliau membaca, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita baik-baik, ” sampai ayat, “…Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang…'” (an-Nuur: 26)
Ayat 26, yaitu firman Allah ta’ala,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (an-Nuur: 26)
Sebab Turunnya Ayat
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang para perawinya tsiqat dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tentang firman-Nya, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji,” bahwa ayat ini turun tentang Aisyah ketika difitnah orang munafik, lalu Allah menyatakan kebersihannya dari tuduhan itu. (386)
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan dua sanad, yang kedua-duanya mengandung kelemahan, dari Ibnu Abbas bahwa ayat, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji,” turun tentang orang-orang yang membicarakan gosip dusta mengenai istri Nabi saw.. (387)
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari al-Hakam bin Utaibah bahwa ketika orang-orang membicarakan perihal Aisyah, Rasulullah mengutus seseorang menemui Aisyah dengan pertanyaan, “Aisyah, apa yang dibicarakan orang-orang itu?” Ia menjawab, “Saya tidak meminta maaf atas apa pun hingga turun uzur saya dari langit.” “Maka Allah menurunkan mengenai dirinya lima belas ayat dari surah an-Nuur. Lalu ia membaca sampai ayat, “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji,” Ini mursal, tapi sanadnya shahih. (388)
Ayat 27, yaitu firman Allah ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (an-Nuur: 27)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Faryabi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Adi bin Tsabit bahwa seorang wanita Anshar datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, di rumah saya berada dalam keadaan yang saya harap tidak seorang pun melihat saya dalam keadaan itu, akan tetapi selalu saja ada seorang lelaki dari keluarga saya yang masuk rumah sementara saya berada dalam keadaan tersebut. Apa yang harus saya perbuat?” Maka turunlah ayat,” “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu…” (389)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan bahwa ketika turun ayat isti’adzaan (etika meminta izin) memasuki rumah, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan para pedagang Quraisy yang bolak-balik antara Mekah-Madinah-Syam, dan mereka mempunyai rumah-rumah tertentu di tengah perjalanan? Bagaimana mereka meminta izin dan mengucapkan salam padahal tidak ada yang tinggal di dalamnya?” Maka turunlah ayat, “Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (390)
Ayat 31, yaitu firman Allah ta’ala,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bahwa mereka mendapat kabar bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan bahwa Asma’ binti Martsad ketika itu sedang berada di kebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita masuk ke kebun tanpa mengenakan busana sehingga terlihat perhiasan (yakni gelang) di kaki mereka, juga terlihat dada dan rambut mereka. Maka Asma berkata, “Alangkah buruknya hal ini!” Maka Allah menurunkan ayat mengenai hal itu, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (391)
Ayat 33, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (an-Nuur: 33)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnus Sakan, dalam Ma’rifatush Shahaabah, meriwayatkan dari Abdullah bn Shabih dari ayahnya, ia berkata, “Dulu aku adalah budak Huwaithib bin Abdul Uzza. Ketika aku meminta transaksi mukaatabah (393) padanya, ia menolak. Maka turunlah ayat, ‘…Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka,…'” (394)
Firman-Nya, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,”
Muslim meriwayatkan dari jalur Abu Sufyan dari Jabir bin Abdillah bahwa Abdullah bin Ubay pernah mengatakan kepada seorang budak wanitanya, “Pergilah dan melacurlah untuk kami!” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,” (395)
Muslim juga meriwayatkan dari jalur ini bahwa seorang budak wanita milik Abdullah bin Ubay, yang bernama Masikah, dan seorang budak wanita yang lain yang bernama Umaimah, dipaksa oleh Abdullah untuk berzina, lalu keduanya mengadukan hal itu kepada Nabi saw.. Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.” (396)
Al-Hakim meriwayatkan dari jalur Abuz Zubair dari Jabir bahwa Masikah datang kepada sebagian orang Anshar, lalu mengatakan, “Majikan saya memaksa saya melacur.” Maka turunlah ayat, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.” (397)
Al-Bazzar dan ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas bahwa dahulu Abdullah bin Ubay punya seorang budak wanita yang pada masa jahiliah melakukan pelacuran. Ketika zina diharamkan, budak ini berkata, “Demi Allah, saya tidak akan berzina untuk selamanya!” Maka turunlah ayat, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.” (398)
Al-Bazzar meriwayatkan hal senada dengan sanad yang lemah dari Anas, dan ia menyebut nama budak wanita itu Mu’adzah.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Sufyan dari Amr bin Dinar dari ‘Ikrimah bahwa Abdullah bin Ubay dahulu punya dua orang budak wanita: Masikah dan Mu’adzah. Abdullah memaksa mereka berzina. Maka salah seorang budak itu berkata, “Kalau zina memang bagus, aku sudah terlalu sering melakukannya. Tapi kalau tidak bagus, sudah sepatutnya aku meniggalkannya.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.” (399)
383. Dhaif. Disebutkan oleh ath-Thabrani (13/151) dalam al-Mu’jamul Kabiir. Pengarang telah menjelaskan sisi kelemahannya.
384. Kata al-Qurthubi (6/4744), “Beberapa orang mengatakan, ‘Ia turun tentang Aisyah dan istri-istri Nabi saw. yang lain.’ Ia menisbatkannya kepada Ibnu Abbas dan adh-Dhahhak.”
385. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/389-390)
386. Shahih. Ath-Thabrani (23/156) dalam al-Mu’jamul Kabiir.
387. Dhaif. Ath-Thabrani (23/159) dalam al-Mu’jamul Kabiir.
388. Dhaif. Ath-Thabrani (23/160) dalam al-Mu’jamul Kabiir. Lihat mengenai itu semua dalam ad-Durrul Mantsuur (5/39-40).
389. Kedua riwyat ini disebutkan oleh al-Wahidi (hlm. 271). Ibnu Katsir menyebutkan sebab kedua. Katanya, “Ini dipilih dan dituturkan oleh Ibnu Jarir. Kata Zaid bin Aslam,” ‘Yakni rumah bulu.’ “Juga keduanya disebutkan oleh al-Qurthubi (6/4749) dalam tafsirnya.
390. Ibid.
391. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/398).
392. Disebutkan oleh al-Qurthubi (6/4774).
393. Yakni seorang budak meminta kepada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa si budak akan membayar sejumlah uang yang ditentukan. (Penj.).
394. Disebutkan oleh al-Wahdidi (hlm. 271) dalam Asbabun Nuzuul. Biodata Huwaithib disebutkan dalam al-Ishaabah (1158). Kata al-Qurthubi (6/4781), “Nama budak itu adalah Shubh atau Shabih.”
395. Muslim (3029) dalam at-Tafsiir.
396. Ibid.
397. Shahih. Al-Hakim (2/229) dalam al-Mustadrak, sambil mengatakan, “Shahih, memenuhi syarat Muslim, tapi tidak diriwayatkan oleh mereka (Bukhari dan Muslim).” Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi.
398. Shahih. Al-Haitsami (7/83) dalam Majma’uz Zawaa’id. Katanya, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Bazzar dengan lafazh senada. Dan para perawi ath-Thabrani adalah perawi hadits shahih.” Ibnu Katsir menyebutkan seluruh riwayat di atas (3/406-408).
399. Ibid.
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 399 – 405.