Fatwa Salaf tentang Syiah Tetaplah Berlaku

Syiah1

Oleh; Bahrul Ulum

Hidayatullah.com – BELUM lama ini, Ketua Dewan Syuro Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi) Jalaludin Rahmat menulis opini di Harian Repubilka, Sabtu, (10/11/2012) berjudul “Menyikapi Fatwa tentang Fatwa”.

Tulisan tersebut sebagai bantahan atas tulisan KH. Ma’ruf Amin sebelumnya, di harian yang sama berjudul “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” yang mendukung fatwa MUI Jawa Timur tentang peenyesatan Syiah.

Dalam tulisan itu, secara eksplisit Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa fatwa tersebut salah dan dilakukan oleh sekelompok orang yang belum punya kapasitas untuk memberi fatwa.

Padahal menurutnya, para ulama Salaf yang memiliki keilmuan yang tinggi, tidak gampang mengeluarkan fatwa, karena hal itu memiliki dampak yang besar. Mereka merasa takut untuk memberikan fatwa, lebih takut daripada menghadapi singa.

Menurut Jalaludin Rakhmat dalam artikel itu, “fatwa salah yang disampaikan oleh lembaga yang mengklaim berhak memberikan fatwa, sama seperti obat yang salah yang diberikan kepada pasien. Alih-alih menyembuhkan, ia bisa membunuh.”

Karenanya, kasus di Sampang yang menghilangkan nyawa orang, menurutnya akibat fatwa yang salah dari MUI Jawa Timur.

Pendapat ini menarik untuk dikritisi, terlepas apakah kasus Sampang akibat fatwa MUI Jawa Timur atau bukan.

Apa yang disampaikan Jalaludin Rakhmat tentang sikap kehati-hatian para ulama Salaf dalam berfatwa memang benar. Mereka tidak akan mudah mengeluarkan fatwa sebelum memahami dan tahu persis serta urgennya kasus yang hendak difatwakan. Sebaliknya, mereka akan tegas ketika melihat ada persoalan yang dianggap penting untuk dikeluarkan fatwanya.

Di antara masalah yang dianggap penting ketika itu yaitu maraknya kaum Syiah Rafidah yang senang mencela sahabat Rasulullah. Para ulama melihat fenomena ini sebagai persoalan yang tidak ringan sehingga mereka banyak yang mengeluarkan fatwa tentang kaum tersebut.

Imam Malik menyebut Syiah Rafidah sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam. Al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” (As-Sunnah, juz 2: 557).

Sedang Imam Syafi’i menilai Syiah sebagai kelompok yang terjelek.

Dari Yunus bin Abdil A’la, beliau berkata: “Saya telah mendengar Imam Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Syiah itu kelompok terjelek.” (Manaqib Imam as-Syafii oleh Imam Baihaqi, juz 2:486)

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas mengatakan, kaum Syiah yang senang mengkafirkan para sahabat, terutama Sahabat Abubakar, Sahabat Umar dan Sahabat Ustman adalah orang-orang yang keluar dari Islam. Beliau berkata, “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.” (As-Sunnah Imam Ahmad: 82)

Selain ulama di atas, masih banyak ulama Salaf yang dengan tegas mencela bahkan menyesatkan kaum Syiah karena sikapnya terhadap sahabat Nabi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Ahlul Bait sendiri yang tidak senang dengan kaum yang suka mencela sahabat Rasulullah. Imam Zainal Abidin Ali bin Husein pernah mengusir orang-orang Syiah Rafidah karena mereka mencela sahabat Rasulullah dihadapannya.

Diriwayatkan dari Ali al-Arbali di dalam kitabnya “Kasyful Ghummah” dari Imam Ali bin Husein. “Datang menghadap kepada Imam beberapa orang dari Iraq, mereka mencaci maki Abubakar, Umar, dan Utsman (radhliyallahu ‘anhum). Ketika mereka sudah selesai berbicara, Imam berkata kepada mereka: “Apakah kalian mau menjawab pertanyaanku? Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”? (al-Hasyr:8). Mereka menjawab: “Bukan.” Beliau kembali bertanya: “Apakah kalian termasuk orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan (apa-apa yang mereka berikan itu).”? (al-Hasyr 9). Mereka menjawab: “Bukan.” Beliau berkata lagi: “Kalian telah mengakui, bahwa kalian bukan termasuk salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya bersaksi, bahwa kalian juga bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan Allah: “Mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hasyr 10). Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!”(Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, juz II, hal 291).

Dari penjelasan tersebut teranglah bahwa persoalan fatwa ulama Salaf dengan Syiah sudah gamblang. Saya kira MUI Jawa Timur juga mengacu pada fatwa-fatwa tersebut sebelum mengeluarkan fatwa tentang Syiah. Karena fatwa ulama Salaf itu sudah menjadi rahasia umum sehingga tidak perlu dipersoalkann jika ada orang atau kelompok yang menggunakan fatwa itu untuk menilai kaum yang senang mencela Sahabat Rasulullah.

Logika Jalaluddinn yang mencoba melemahkan fatwa MUI Jawa Timur dengan membandingkan cara ulama Salaf mengelurkan fatwa tidak pada tempatnya. Ini menunjukkan kalau ia berusaha mengelabui pembaca seakan fatwa MUI Jawa Timur salah.

Keliru, Berlindung Dibalik Risalah Amman

Adapun alasan Jalaluddin yang menolak fatwa MUI Jatim dengan berlindung dibalik Risalah Amman, juga tidak tepat. Sepertinya Jalal sengaja menutupi atau tidak tahu dinamika dibalik risalah tersebut.

Beberapa ulama yang terlibat dalam deklarasi itu, telah sadar dan menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi ‘taqrib’ antara Sunni dan Syiah setelah mempelajari ajaran Syiah.

Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam sebuah wawancara televisi yang dirilis Islamworld.us, menjelaskan panjang lebar ketidakmungkinan adanya “taqrib” antara Sunni dan Syiah.

Alasannya, salah satu ajaran Syiah yang tidak mungkin bisa ditolerir oleh kaum Sunni yaitu senang mencela sahabat dan istri Rasulullah. Sampai sekarang, ajaran ini masih dijalankan oleh hampir semua lapisan kaum Syiah mulai dari para ulamanya sampai orang awamnya.

Hal ini bisa dimaklumi karena mencela Sahabat menurut Syiah, merupakan salah satu wasilah agar do’a cepat terkabul. Tentu saja ajaran ini menyakiti umat Islam karena bagi Sunni para sahabat adalah orang-orang mulia yang harus dihormati.

Selain Al-Qaradhawi, ulama yang tegas menyatakan tidak akan terjadi taqrib yaitu Syeikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’ dan Syeikh Shalih alu al-Syekh. Keduanya aktif menjelaskan kepada umat Islam tentang kesesatan ajaran Syiah.

Karena itu tidak tepat jika Jalaluddin menjadikan risalah ini sebagai hujjah bahwa Syiah bukan kelompok yang sesat.

Dan yang paling penting, Risalah Amman tidak akan mampu menjatuhkan atau menghapus fatwa-fatwa ulama Salaf tentang kesesatan dan kekafiran para pencela Sahabat Rasulullah yang mulia.*

Penulis Peneliti pada Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya