KH. Agus Salim Bukanlah Tokoh Liberal

Agussalim

Islampos.com – GERAKAN liberalisme pemikiran Islam tercatat adalah gerakan yang sering membonceng nama para ulama untuk melegitimasi gerakannya. Tercatat nama seperti Buya Hamka dan Muhammad Natsir dicatut demi memuluskan legitimasi gerakannya.

Dalam sebuah diskusi bertemakan “Masa Depan Pemikiran Islam” di markas Jaringan Islam Liberal (5-Maret-2005), misalnya, Ulil Abshar Abdalla pernah membuat statement mengejutkan. Menurutnya, pemikiran ‘Islam Liberal’ di Indonesia sudah memiliki akar cukup panjang pada Islam intelektual didikan Barat tahun 1930-an seperti KH. Agus Salim.

KH. Agus Salim, lanjut Ulil, sekalipun tidak pernah kuliah di Barat, namun sangat akrab dengan buku-buku Barat. Rupanya, inilah yang menurut Ulil bahwa amat beralasan jika kemudian nama KH. Agus Salim dimasukkan sebagai tokoh Muslim yang merintis pemikiran liberal di Indonesia.

Namun sayang tidak banyak menanggapi tuduhan Ulil tersebut. Sebab jika kita berkaca kepada bukti sejarah, klaim Ulil tentu saja tidak berdasar. KH. Agus Salim sendiri pernah menyatakan bahwa ia merasakan jauh dari Islam justru ketika ditempa oleh Barat lewat pendidikan sekuler. Seperti dikutip Yudi Latif dalam bukunya Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20 (Jakarta: Mizan, 2005), KH Agus Salim berujar,

“Meskipun saya lahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak (setelah masuk sekolah belanda) saya mulai kehilangan Iman.”

Pengakuan jujur KH. Agus Salim inilah yang dengan serta merta meruntuhkan klaim Ulil akan watak liberal yang disematkan tokoh muslim asli Minang tersebut. Bahkan dalam dokumen dari Panitia Buku Peringatan 100 Tahun KH Agus Salim, tokoh kharismatik dari Syarikat Islam tersebut berterus terang bahwa model penidikan HBS (Sekolah menegah Belanda) telah menjauhkannya dari Islam.

Berbeda dengan Ulil yang takluk akan Barat dan sangat bangga akan peradaban Barat, KH. Agus Salim sekalipun membaca buku-buku Barat, ia sama sekali tidak terpukau dengan peradaban luar. Kemampuan Agus Salim akan penguasaan banyak bahasa pun tidak membuatnya memandang peradaban barat lebih hebat dari Islam.

Sikap itu dapat tercermin saat KH. Agus Salim masih muda. Pada tahun 1903, setelah menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, KH. Agus Salim ditemui Kartini yang berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Kartini pun berniat berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima.

Sikap ini sebenarnya lahir dari keberanian KH. Agus Salim yang sudah terasah sejak kecil. Beliau memang dididik untuk berani menentang kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan umat. Jadi, kita bisa bandingkan dengan JIL, yang justru meminta kucuran dana dari Barat demi menopang roda organisasinya. Betul memang KH Agus Salim kemudian pernah bekerja untuk Belanda di Mekkah. Tapi awal ketika tawaran itu datang dari Snouck Hugronje, KH Agus Salim sudah memberi syarat bahwa kepergiannya ke Jeddah menjadi pegawai Belanda bukan dalam kapasitas untuk membantu misi kolonialisme, namun sesuai yang dijanjikan, yakni sebagai staff penerjemah.

Dan apa yang terjadi setelah itu? Ketika sampai di Jeddah dan aktif sebagai pegawai, ternyata KH. Agus Salim banyak mengalami pertentangan pemikiran dengan fihak Belanda. Hal inilah yang kemudian menjadikan KH Agus Salim mendekat kepada kelompok Islam di Jeddah. Disana ia juga bertemu sang paman, Achmad Khotib, seorang Ulama besar Hindia terakhir di Haramain. Pertemuan inilah yang dilukiskan KH. Agus Salim sebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya. (Pizaro/fyd)