Pengingkaran Adanya Ijma tentang Keshahihan Hadits dan Kedudukan Hadits Ahad

Harun menafikkan adanya ijma (kesepakatan) terhadap keshahihan hadits-hadits. Harun menulis sebagai berikut. “Tidak ada kesepakatan antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadits dari Nabi. Jadi, berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umatnya, dalam keorisinilan hadits terdapat perbedaan antara umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 28-30).

Pengingkaran adanya ijma tentang keshahihan hadits tidak mempunyai dasar. Umat Islam telah sepakat tentang keshahihan hadits yang termuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dan mereka menerimanya dengan baik. Para ulama juga telah menegaskan kedudukan kedua kitab ini sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Tidak ada satu orang pun yang mengingkari hal ini, kecuali Harun dan yang sehaluan dengannya. Penolakan ini tidak berpengaruh pada ijma atas keshahihan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Pengingkarannya yang bersifat umum itu jauh dari sikap jujur dan objektivitas yang merupakan ciri penelitian ilmiah. Bagaimana mungkin ia menggeneralisasi pengingkaran, padahal tidak ada yang mengingkari, kecuali dirinya dan orang yang sepemikiran dengannya. Sikap menggeneralisasi ini tidak dapat diterima dan sekaligus bukti bahwa murid-murid kaum orientalis tidak memiliki objektivitas seperti yang mereka klaim.

Tuduhannya bahwa hadits berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah juga tidak bisa diterima. Alasannya, sabda Rasulullah saw. adalah wahyu, sesuai firman Allah yang artinya sebagai berikut. “Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4). Beliau ditugaskan untuk menyampaikan sunnahnya, seperti ia ditugaskan untuk menyampaikan Al-Qur’an.

Simpulan Harun bahwa kedudukan hujjah sunnah tidak seperti hujjah Al-Qur’an dari segi kekuatan, kadang-kadang dapat diterima jika ia berdiri sendiri. Namun, introduksi yang ia sampaikan sama sekali keliru. Sunnah adalah hujjah, seperti halnya Al-Qur’an dan menempati posisi sumber hukum kedua. Ia juga independen dalam penetapan syariat. Kedudukan hujjah sunnah dibuktikan oleh nash Al-Qur’an itu sendiri. Allah SWT berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

Hujjah Hadits Ahad?

Hadits ahad atau juga populer dengan sebutan khabar wahid ialah hadits yang tidak sampai ke tingkat mutawatir. Secara ilmiah, ulama hadits membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya menjadi dua bagian: hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah besar orang yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut dengan khabar wahid.

Perlu diketahui, keshahihan suatu hadits tidak bergantung pada banyak sedikitnya jumlah rawi. Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan dha’if (lemah). Di bawah hadits ahad itu terhimpun tiga jenis hadits: masyhur, ‘aziz, dan gharib. Jadi, apabila termasuk ahad, sebuah hadits tidak langsung berarti diriwayatkan oleh satu orang perawi saja.

Para ulama sepakat bahwa kedudukan hadits ahad sebagai hujjah harus diamalkan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini. Para ahli fikih dan mayoritas ahli hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang berintegritas baik adalah hujjah yang harus diamalkan dalam masalah agama, tetapi tiak memberikan simpulan yang bersifat pasti (ilmul yaqin). Sebagian ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hambal, bersimpulan bahwa hadits ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti. Pendapat ini juga disebutkan dari Imam Malik. (Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-‘Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 119; Rif’at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 89).

Apa pun persoalannya, dapat dikatakan bahwa hadits ahad menurut ulama adalah dapat dipercaya. Ia dirujuk dalam menentukan halal dan haram dan mereka menggolongkannya sebagai salah satu sumber syariat.

Pada abad kedua Hijriah muncul segelintir orang yang berbeda pendapat dari ijma (kesepakatan) umat dan mengingkari kedudukan hadits ahad. Sebagian lagi bersikap berlebih-lebihan sampai tingkat mengingkari kedudukan hadits-hadits mutawatir. Al-Baghdadi menjelaskan dalam bukunya Al-Farq Baina al-Firaq bahwa mereka itu adalah kaum Mu’tazilah. Ia berkata, “Sesungguhnya An-Nazzham (230 H) berkata bahwa hadits mutawatir meskipun diriwayatkan oleh banyak perawi bisa saja terdapat kedustaan di dalamnya.” Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi (429 H), Al-Farqu Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma’rifah, hlm. 132, 143, dan 144).

Ibnu Hazm menguatkan perkataan Al-Baghdadi, “Seluruh kaum Muslimin menerima hadits ahad yang diriwayatkan perawi yang bisa dipercaya dari Nabi saw. Hal ini terus berlangsung dan diterima oleh berbagai kalangan, seperti Ahluss Sunnah, Khawarij, Syi’ah, dan Qadariyah sehingga muncullah para ulama Mu’tazilah setelah berlalu satu abad. Maka, mereka menyalahi ijma dalam masalah ini.” (Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-‘Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 114).

Dari sisi lain, Harun mengklaim bahwa yang disepakati kehujjahannya hanya hadits mutawatir, sedangkan hadits masyhur dan ahad kedudukannya dipertentangkan. Ia menulis, “Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu’tazilah umpamanya.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 2, hlm. 25).

Kita katakan bahwa tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita ketahui, tuduhan ini sudah muncul sejak lama. Imam Syafi’i telah berhadapan dengan pendukung pendapat ini pada abad kedua Hijriah, berdebat langsung dengan orang-orang yang mengingkari kedudukan hujjah hadits ahad dan membantah mereka dengan argumentasi ilmiah, baik bersifat naql dari Al-Qur’an dan sunnah maupun akal.

Perdebatan ini terdokumentasikan dalam bukunya, Ar-Risalah. Sayangnya, Imam Syafi’i tidak menyebutkan identitas orang yang didebatnya, dan dari kelompok mana mereka berasal. Namun, beliau menyebutkan bahwa mereka tinggal di Bashrah, dan kebanyakan para ahli ilmu kalam itu, termasuk di dalamnya Mu’tazilah, saat itu berada di Bashrah.

Di tempat lain, Al-Hafidz al-Hazimi mengungkapkan bahwa orang yang mengingkari adalah kaum Mu’tazilah, dengan menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan hukum karena kebanyakan hukum syariat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad. Jika berargumentasi dengan hadits-hadits ahad itu dianggap tidak sah, dengan sendirinya hukum-hukum syariat dianggap tidak sah pula. Al-Hazimi berkata, “Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari firqah (aliran) Islam yang mempersoalkan keberadaan hadits ahad, kecuali kalangan Mu’tazilah. Mereka menganalogikan (menyamakan hukum) riwayat dengan kesaksian ….” Sasaran mereka adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat, seperti dikatakan Abu Hatim bin Hibban.” (Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A’immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H, hlm. 47).

Imam Syafi’i yang bergelar “Nashir as-Sunnah” (Pembela Sunnah) mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah dan menantang para pengingkarnya. Beberapa pembelaannya antara lain sebagai berikut.

1. Abdullah bin Mas’ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Semoga Allah mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar sabdaku, menghafal, memahami, dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang meriwayatkan tidak paham apa yang diriwayatkannya, mungkin saja orang yang mendengar lebih paham dari perawi yang meriwayatkannya.”

Imam Syafi’i menjelaskan segi argumentasi hadits ini, “Rasulullah saw. memotivasi seseorang untuk mendengar, menghafal, dan menyampaikan sabdanya. Kata “seseorang” di sini artinya satu. Ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk menyampaikan apa yang terkait dengan halal, haram, hukuman yang harus dilaksanakan, harta yang harus diambil dan diberikan, dan nasihat soal agama dan dunia. Berarti, berita dari satu orang adalah hujjah.” (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 402-403).

2. Diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku tidak sekali-kali mendapat salah seorang dari kalian yang duduk di atas tempat duduknya, lalu datang urusanku yang berkaitan dengan yang aku larang atau aku perintahkan, lalu ia berkata, ‘Kami tidak tahu. Apa yang kami dapati dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti’.” (R Al-Hakim).

Argumentasi hadits, seperti disebutkan Imam Syafi’i, adalah “Bahwa berita dari Rasulullah saw. harus dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nsh dalam kitab Allah.” (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 404).

3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, “Ketika orang berada di Quba’ untuk melaksanakan shalat shubuh, seseorang datang dan berkata, ‘Sesungguhnya telah turun ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah saw., dan ia diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Kakbah. Mereka lalu menghadap Kakbah, padahal sebelumnya menghadap ke Syam, lalu mereka memutar badan menghadap Kakbah’.” (Al-Muwaththa’, Kitab Al-Qiblat, Bab Ma Ja’a fil Qiblah, juz 1, hlm. 195, no. hadits 6).

Sisi argumentasi kisah ini, penduduk Quba menghadap ke kibat yang telah ditetapkan oleh Allah, dan mereka tidak meninggalkan kewajiban ini, hingga terdapat hujjah (dalil). Ketika pembawa berita tentang perubahan kiblat, mereka tidak menunggu hingga Rasulullah saw. datang untuk menguatkan berita ini. Mereka juga tidak bersikap tawaquf (abstain) terhadap keshahihan berita tersebut hingga tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka segera menghadap ke Kakbah dengan alasan hadits yang dibawa satu orang, dan Rasulullah saw. tidak mengingkari sikap mereka. Jika hadits ahad yang mereka amalkan itu tidak dapat dijadikan hujjah, insya Allah mereka akan berkata, “Kalian sudah menghadap kiblat. Kalian tidak boleh meninggalkannya, kecuali telah mengetahui betul hingga dapat dijadikan hujjah dari pendengaran kalian dariku, atau berita umum, atau lebih dari berita satu orang dariku.” (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 408). Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Sangat banyak nash-nash sunnah yang disampaikan Imam Syafi’i. Semuanya tegas menunjukkan bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah jika pembawa berita memiliki integritas yang baik.

Selain itu, dalam Al-Qur’an juga terdapat hujjah terhadap ajaran yang dibawa oleh seorang rasul. Meski demikian, sebagai tambahan dalam menguatkan hujjah terhadap kaum yang diutus pada mereka para rasul, kadang-kadang Allah mengutus lebih dari seorang rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka, yaitu ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan denan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu’.” (Yasin: 13-14).

Imam Syafi’i mengomentari penjelasan tersebut di atas, “Tampaknya, argumentasi bagi mereka adalah dengan dua orang kemudian tiga, dan barulah hujjah dapat ditetapkan terhadap seluruh umat oleh satu orang, dan bukanlah tambahan itu sebagai penghalang untuk dijadikannya hujjah dengan berita yang dibawa oleh satu orang.” (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 432-438; Rif’at Fauzi, Kutub as-Sunnah, Dirasah Tautsiqiyah, Maktabah al-Khanji, Kairo, cet. pertama, tahun 1399 H, hlm. 100).

Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa hadits ahad adalah hujjah dan harus diamalkan. Umat Islam telah sepakat akan hal ini. Adapun pengingkaran kaum Mu’tazilah seperti disebutkan Harun tidak diperhitungkan dan tidak bisa dijadikan cacat yang merusak ijma. Alasannya, mereka menyimpang dari garis besar Islam, selain tidak memiliki argumentasi yang kuat.

Dari segi lain, Mu’tazilah telah mengingkari sunnah secara keseluruhan, termasuk di dalamnya hadits-hadits mutawatir. Ini tidak seperti dugaan Harun bahwa mereka hanya mengingkari hadits ahad dan masyhur.

Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai tuduhan yang dilemparkan oleh Harun Nasution seputar hadits sama sekali tidak punya basis argumentasi yang kuat. Semua itu dibangun oleh dugaan dan merupakan pengulangan terhadap pernyataan orientalis tanpa sikap kritis.

Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 106-114).

Oleh: Abu Annisa