Harun menulis dalam bukunya bahwa Umar membatalkan niatnya menulis hadits, seperti kutipan berikut ini. “Umar bin Khatthab pernah berniat mengumpulkan hadits dan mencatatnya. Beliau kemudian mengurungkan niatnya karena takut bercampurnya Al-Qur’an dengan hadits.”
Barangkali, inilah alasan Harun–tanpa mencantumkan sumbernya, sebuah sikap tidak teliti dalam penelitian ilmiah–bahwa tidak terjadi penulisan hadits pada masa Nabi. Riwayat ini berasal dari Urwah bin Zubair yang menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab bermaksud menulis hadits. Beliau lalu meminta pendapat para sahabat Rasulullah saw. dan mereka memberi siyarat setuju. Umar lalu beristikharah kepada Allah selama sebulan sehingga akhirnya beliau berkata tegas pada suatu kali, “Sungguh, dulu aku ingin menulis sunnah-sunnah. Aku pernah menyebut suatu kaum sebelum kalian yang menulis berbagai buku hingga mereka sibuk dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, aku tidak ingin mencampurkan kitab Allah dengan apa pun, selamanya.” (Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (392-463 H), Taqyid al-‘Ilm, tahkik Yusuf al-‘Isy, Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dimasyq, cet. kedua, tahun 1974, hlm. 49).
Riwayat ini dibantah dari berbagai segi. Pertama, riwayat Urwah bin Zubair dari Umar bin Khatthab ini terputus sanadnya. Dengan sendirinya, riwayat ini lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. (Ibn al-Hajar al-‘Asqalani, Tahzib at-Tahzib, Da’irat al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Heidarabad abad, India, cet. pertama, 1325 H, juz 7, hlm. 183, berkata Mush’ab az-Zubayri: “Urwah lahir pada tahun keenam dari kelahiran Utsman.”).
Kedua, kalaupun riwayat ini dianggap shahih, di dalamnya ada isyarat kesepakatan (ijma’) para sahabat untuk melakukan penulisan, saat Umar meminta pendapat mereka. Dengan kata lain, mereka tidak mengetahui adanya larangan Rasulullah saw. terhadap penulisan hadits. Jika mereka tahu larangan itu ada, pastilah mereka menolak niat Umar untuk menulis hadits. Hal ini tidak terjadi. Sebaliknya, mereka justru sepakat dengan usulan Umar. Oleh karena itu, batalnya rencana Umar menulis hadits tidak didasari hadits Rasulullah saw. ataupun musyawarah para sahabat, tetapi semata-mata didasari pada ijtihad pribadinya. Pertimbangannya, seperti dibayangkan oleh Dr. Al-A’zhami, mungkin tujuan Umar adalah memberikan prioritas terhadap kitab Allah karena redaksi dan maknanya harus dihafal. Ini berbeda dengan hadits yang cukup dihafal maknanya, dan itu relatif lebih mudah.” (Mushthafa al-A’zhami, Dirasat fi Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Thab’at as-Su’udiyah, cet. ketiga, tahun 1401 H, juz 1, hlm. 133).
Dari sisi lain, kalaupun riwayat ini shahih, kekhawatiran itu hanya terjadi pada masa Umar r.a. dan kemudian sirna. Urwah sendiri menceritakan, “Dulu kami berpendapat untuk tidak menulis kitab apa pun kecuali Al-Qur’an sehingga kuhapus semua bukuku. Demi Allah, aku mendambakan sekiranya buku-buku milikku itu ada padaku dan kitab Allhah terus selesai ditulis.” (Ibn al-Hajar al-‘Asqalani, Tahzib at-Tahzib, Da’irat al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Heidarabad abad, India, cet. pertama, 1325 H, juz 7, hlm. 183).
Maksudnya, proses penulisan Al-Qur’an sudah selesai dan sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa sibuk dengan hadits membuat orang meninggalkan Al-Qur’an tidak lagi ada. (Abdul ar-Rahman al-Mu’allami, Al-Anwar al-Kasyifah, hlm. 38).
Selanjutnya, di sini akan dipaparkan bukti penulisan. Bukti ini adalah bantahan atas tuduhan Harun bahwa sunnah belum ditulis dan dihafal pada masa Nabi.
Secara individu, kodifikasi hadits sudah dilakukan pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in. Artinya, tidak diabaikan seperti anggapan Harun dan kawan-kawannya sehingga terjadi pemalsuan.
Menurut Harun, sangat sulit membedakan antara hadits shahih dan palsu. Anggapan ini jelas keliru, sebab penghafalan dan penulisan hadits dalam lembaran dilakukan secara bersamaan. Terdapat banyak riwayat dalam kitab-kitab hadits yang merujuk pada shahifah-shahifah para sahabat.
Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali. Ia berkata bahwa pada sarung pedang Rasulullah saw. ditemukan sebuah catatan bertuliskan “Dilaknat orang yang mencuri batas tanah, orang yang menjadikan wali terhadap orang yang bukan haknya, dan orang yang mengingkari nikmat dari orang yang memberinya.” (Ibnu Abdil Barr, Jami Bayan al-‘Ilm Fadhlih, juz 1, hlm. 86).
Nafi’ meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa dia pernah menemukan catatan pada sarung pedang ayahnya, berisi keterangan tentang zakat hewan ternak. Al-Khatib al-Baghdadi (392-463 H), Al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah, hlm. 354; Thahir bin Shalih al-Jaza’iri, Tawjih an-Nazhar Ila Ushul al-Atsar, hlm. 348).
Di antara lembaran-lembaran yang terkenal pada masa sahabat adalah milik Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. yang ia gantungkan di pedangnya. Lembaran ini memuat hadits-hadits yang berbicara soal diyat (denda), zakat, kemuliaan Kota Madinah, dan ketentuan bahwa seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir, dan masalah-masalah lainnya. (Lihat kata pengantar Prof. Dr. Rif’at Fauzi pada Shahifah al-Hammam Ibn Munabbih, hlm. 4).
Abu Hurairah (59 H) yang terkenal dengan hafalan haditsnya juga bahkan menyimpan catatan hadits-hadits Rasulullah saw. Fudhail bin Hasan bin ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamari menceritakan dari ayahnya bahwa dia berkata, “Aku memberi tahu Abu Hurairah tentang sebuah hadits dan ia mengingkarinya. Aku berkata, ‘Aku mendengarnya dari Anda.’ Abu Hurairah berkata, ‘Jika mendengar dariku, pasti pernah kutulis.’ Lalu ia membawaku ke rumahnya, ia memperlihatkan kepadaku buku-buku yang banyak, memuat hadits-hadits Rasulullah saw. dan beliau mendapati hadits tersebut. Abu Hurairah lalu berkata, ‘Seperti kukatakan, jika aku pernah memberitahukanmu, berarti hadits itu tercatat padaku’.” (Lihat Ibnu Abdil Barr, Jami Bayan al-‘Ilm Fadhlih, juz 1, hlm. 89).
Lembaran lain adalah Shahifah ash-Shadiqah yang ditulis Abdullah bin ‘Amr (7-65 H). Seperti diketahui, Rasulullah saw. mengizinkannya menulis hadits karena dikenal tekun dan cakap membuat catatan. Wajar jika ia banyak menulis hadits dari Rasulullah saw. Lembaran milik Abdullah bin ‘Amr ini memuat 1.000 hadits seperti disebutkan Ibnul Asir. (Ali bin Muhammad al-Jazari (555-630 H), Usud al-Ghabah fi Ma’rifat ash-Shahabah, tahkik: Muhmmad Ibrahim al-Banna dkk, Thab’at asy-Sya’b, Kairo, tahun 1970, juz 3, hlm. 349). Mujahid bin Jabar (21-104) pernah melihatnya langsung di tangan Abdullah bin ‘Amr, lalu dia menemuinya untuk mendapatkannya. Maka, Abdullah berkata, “Diamlah wahai putra Bani Makhzum.” Mujahid berkata, “Aku tidak menuli apa-apa.” Ia berkata, “Ini adalah Ash-Shadiqah yang memuat hadits-hadits saya dengar langsung dari Rasulullah saw., tanpa perantara sama sekali.” (Al-Hasan bin Abd ar-Rahman ar-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa’i, hlm. 369; Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-‘Ilm, hlm. 84).
Lembaran ini bernilai penting secara ilmiah. Ini adalah dokumen sejarah yang menjadi bukti penulisan hadits dengan izin Rasul.
Selain itu, terdapat juga shahifah milik Jabir bin Abdullah al-Anshari (16-78 H) dan Shahifah ash-Shahifah milik Hammam bin Munabbih (4-131 H).
Lembaran ini memiliki nilai sejarah sekaligus mementahkan tuduhan mereka yang meragukan kodifikasi hadits sebelum abad kedua Hijriah, sebab Hammam, salah seorang ulama kalangan tabi’in, berjumpa dengan Abu Hurairah. Tidak diragukan lagi, ia menulis langsung dari Abu Hurairah di masa hidupnya karena Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H. Artinya, pencatatan dilakukan sebelum tahun ini atau pertengahan abad pertama.
Lembaran ini berhasil sampai pada kita secara utuh, persis seperti riwayat dan catatan Hammam dari Abu Hurairah. Lembaran ini pertama kali ditemukan dan ditahkik oleh Dr. Muhammad Humaidillah. Selanjutnya, tahkik kedua dilakukan oleh Dr. Rif’at Fauzi dengan menambahkan beberapa keterangan penting. Lembaran ini memuat 138 hadits, tepat seperti keterangan Ibnu Hajar bahwa Hammam mendengar sekitar 140 hadits dari Abu Hurairah dengan satu sanad. (Ibnu Hajar, At-Tahzib, op.cit., juz 11, hlm. 67).
Masih banyak riwayat-riwayat lain yang menerangkan bahwa para sahabat telah mengodifikasikan hadits sebelum abad kedua Hijriah. Ini membuktikan bahwa para ulama telah melakukan kodifikasi sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintahkannya.
Bukti dan keterangan di atas semoga dapat menjawab tuduhan Dr. Harun Nasution bahwa hadits belum ditulis pada masa Rasulullah saw. Sebaliknya, fakta membuktikan bahwa penulisan hadits telah terjadi sejak masa awal Rasulullah saw.
Bersambung …!
Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 37-51
Oleh: Abu Annisa