Siapakah Harun Nasution itu? Ada baiknya perlu kita ketahui latar belakangnya sehingga akan lebih jelas bagi kita di dalam mengungkap pemikiran-pemikirannya. Harun Nasution menyelesaikan pendidikan menengahnya di salah satu madrasah Islam di Indonesia. Kemudian, ia melanjutkan studinya di SLTA Al-Azhar (Al-Ahliyah), kemudian melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Ia belajar di tempat ini dua tahun (1938-1940), lalu meninggalkannya, konon karena ia drop out. Namun, menurut pengakuannya, ia tidak setuju dengan metode pengajaran yang diterapkan di Al-Azhar. Harun sering menuduh Al-Azhar menganut pola pendidikan tradisional klasik dengan metode menghafal. Kemudian, ia pindah ke Universitas Amerika di Kairo (AUC), yang menurutnya mengagumkan dalam metode pengajaran dan sistem yang digunakannya. Ia belajar di tempat ini hingga selesai S1. Kemudian, oleh Prof. Dr. Rasjidi, ia dibantu untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas McGill, Kanada, karena Rasjidi waktu itu menjadi dosen di universitas tersebut. Rasjidi tadinya berharap bahwa mahasiswa Indonesia ini dapat mengikuti jejaknya dalam berinteraksi dengan kaum orientalis. Ia juga berharap agar Harun menjadi mahasiswa yang kritis dan cerdas terhadap apa yang ia terima dari orientalis.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Harun justru berbalik menjadi mahasiswa yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orientalis dan terkagum-kagum dengan mereka. Setelah menamatkan program Ph.D-nya, ia kembali ke negerinya dengan membawa ide dan pemikiran orientalis itu. Kemudian, ia diserahi jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama sepuluh tahun lebih kurang. Kemudian, sejak 1983 ia memegang jabatan sebagai direktur program pascasarjana pada institut yang sama. Ia meninggalkan beberapa karya tulis yang kecil-kecil, pada umumnya di bidang filsafat, pemikiran, dan tasawuf. Hampir tidak satu pun isi karya itu yang bersih dari penyimpangan (distorsi), penyesatan, atau kesalahpahaman. (Lihat: Prof. Dr. Rasjidi, Koreksi terhadap Harun Nasution, Muqaddimah).
Harun bisa disebut sebagai tokoh kaum rasionalis (paham yang mengedepankan logika) di Indonesia. Sejak menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, yang merupakan perguruan tinggi Islam terbesar di Indonesia, ia berkonsentrasi menumbuhkan pemikiran Mu’tazilah di kalangan mahasiswanya. Ia kagum dan memuja pemikiran Mu’tazilah ini.
Di antara pemikiran Harun yang sempat mengemuka adalah bahwa keterbelakangan umat Islam hari ini adalah dampak dari sikap mereka karena meninggalkan pemikiran rasionalisme, yang dalam sejarah Islam dianut Mu’tazilah. Menurutnya, kemajuan peradaban Islam abad pertengahan adalah hasil metode rasional yang dikembangkan kelompok ini. Oleh karena itu, menurut Harun, jika ingin kembali maju, pemikiran Mu’tazilah harus dihidupkan kembali.
Pemikiran ini mengingatkan kita pada peringatan Prof. Dr. Isma’il Raji al-Faruqi, seorang cendekiawan asal Palestina yang mengajar pada Departemen Studi Islam, Temple University, AS, tentang tujuan kaum orientalis dalam studi-studi Islam di Barat. Satu di antaranya adalah menghidupkan pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang dalam sejarah Islam, seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Shufiyah, Isma’iliyah, dan lain-lain. (Prof. Dr. Ismail al-Faruqi menguatkan bahwa dominasi Yahudi sangat besar di pusat-pusat studi Islam di universitas-universitas Eropa dan Amerika. Donatur pusat kajian Islam dan penelitian-penelitian yang ada di sana adalah kaum Yahudi. Faruqi mengingatkan putra-putra Islam akan bahaya belajar dari orientalis-orientalis itu dan agar mereka tidak datang belajar ke sana. Lihat jurnal “Al-Muslim al-Mu’ashir” edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).
Di antara pemikiran Harun yang nyeleneh adalah penolakannya terhadap qadha dan qadar sebagai rukun iman. Harun menganggap bahwa iman kepada qadha dan qadar adalah sebab terpinggirkannya umat Islam dari peradaban modern. Harun yakin bahwa iman pada qadha dan qadar akan mewariskan sikap pasrah dan membuat seorang Muslim lesu, malas, dan statis. Pasalnya, menurut Harun, kepercayaan ini akan membuat seorang Muslim yakin bahwa apa yang terjadi adalah qadha dan qadar Allah, oleh karena itu tidak butuh ikhtiar manusiawi. Menurut Harun, qadha dan qadar harus dihilangkan dari rukum iman. (Surat kabar PELITA, edisi 16 Juli 1992. Disebabkan karena pendapat-pendapatnya yang aneh, sejumlah ulama Indonesia menyampaikan bantahan terhadapnya, antara lain Prof. Dr. Rasjidi, Prof. Ali Yafie, Dr. Peunoh, dll).
Seperti diketahui, iman terhadap qadha dan qadar diterangkan dalam sebuah riwayat sahih dari Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits panjang, beliau merincinya saat ditanya oleh Jibril a.s. tentang pengertian Islam, iman, dan ihsan. “Bahwa iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-Nya, hari akhir, serta beriman pada qadar, baik dan buruknya.” (HR Muslim).
Dalam riwayat yang shahih lainnya, Rasulullah saw. juga bersabda, “Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberi keuntungan padamu, mereka tidak akan mampu kecuali mendatangkan apa yang telah Allah tentukan. Kalau mereka berkumpul untuk menimpakan bencana, mereka tidak akan mampu kecuali sebatas apa yang telah Allah tentukan. Pena telah diangkat, dan catatan telah kering.” (HR Tirmidzi, Ahmad).
Dalam hadits shahih riwayat Abu Darda r.a., Rasulullah saw. memberi peringatan keras terhadap mereka yang mengingkari qadha dan qadar. Sabdanya, “Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, peminum arak, dan orang yang mengingkari qadar.” (HR Ahmad).
Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang Muslim yang memiliki akidah yang shahih, menolak apa yang shahih dan datang dari Rasulullah saw., apa pun alasannya. Lebih dari itu, qadha dan qadar disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat, di antaranya seperti di dalam ayat berikut. “Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffaat: 96). “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadarnya (ukurannya).” (Al-Qamar: 49).
Harun menulis bukunya dengan judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Seperti tampak dari judulnya, Harun berusaha menampilkan pandangan pribadinya seputar Islam ditinjau dari aspek ibadah, sejarah, peradaban, politik, filsafat, tasawuf, hukum, dan lainnya. Buku itu, seperti kata Prof. Dr. Rasjidi, sangat berbahaya. Buku itu mengandung berbagai racun pemikiran orientalis dan penghinaan terhadap Islam, upaya peraguan terhadap akidah, dan distorsi.
Hal yang sangat membantu Rasjidi mengoreksi Harun adalah penguasaannya terhadap arah dan perkembangan pemikiran Harun. Pasalnya, sebelumnya Rasjidi adalah guru besar di Universitas McGill Kanada, salah satu pusat orientalisme di dunia, tempat Harun belajar. Namun demikian, menurut penulis, bantahan Rasjidi belum mewakili seluruh kekeliruan Harun. Dunia pemikiran Islam masih menanti kritik dan bantahan ilmiah terhadap buku ini secara lebih lengkap agar umat Islam pada umumnya dan kalangan peneliti pada khususnya dapat memahami masalahnya secara benar, tidak keliru seperti disajikan Harun dalam bukunya, sengaja atau tidak sengaja. Lebih berbahaya lagi buku itu dijadikan tekt book, buku pegangan bagi mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia.
Di sini penulis hanya ingin mengkritisi masalah yang terkait dengan sunnah. Dalam bukunya, Harun menulis tentang sunnah pada tiga tempat. Penulis akan menyajikan pandangan Harun seputar sunnah dengan mengutip teks bukunya apa adanya, tanpa melakukan manipulasi dan perubahan, sehingga tidak bias dari maksud sebenarnya. Selanjutnya, tiap kutipan akan diiringi dengan ulasan dan komentar.
Tuduhan Pertama
Harun menulis sebagai berikut. “Hadits, sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam, mengandung sunnah (tradisi) Nabi Muuhammad. Sunnah boleh mempunyai bentuk ucapan, perbuatan, atau persetujuan secara diam dari Nabi. Berlainan halnya dengan Al-Qur’an, hadits tidak dikenal, dicatat, dan tidak dihafal pada zaman Nabi. Alasan yang selalu dikemukakan ialah bahwa pencatatan dan penghafalan hadits dilarang Nabi karena dikuatirkan bahwa dengan demikian akan terjadi pencampur-bauran antara Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan dan hadits sebagai ucapan-ucapan Nabi. Ada disebut bahwa Umar bin Al Khatthab, khalifah kedua, berniat untuk membukukan hadits Nabi, tetapi karena takut akan terjadi kekacauan antara Al-Qur’an dan hadits, niat itu tidak jadi dilaksanakan.
Pembukuan baru terjadi pada permulaan abad kedua Hijriah, yaitu ketika Khalifah Umar bin Abd Al Aziz (717-720) meminta dari Abu Bakar Muhammad bin Umar dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, mengumpulkan hadits Nabi yang dapat mereka poeroleh. Pada tahun 140 H, Malik bin Anas menyusun hadits Nabi dalam buku Al-Muwaththa’.
Pembukuan secara besar-besaran terjadi pada abad ketiga Hijriah oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Keenam buku kumpulan hadits inilah yang banyak dipakai sampai sekarang.
Karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Abu Bakar dan Umar sendiri, walaupun mereka sezaman dengan Nabi, bahkan dua sahabat terdekat dengan Nabi tidak begitu saja menerima hadits yang disampaikan kepada mereka. Abu Bakar meminta supaya dibawa seorang saksi yang memperkuat hadits itu berasal dari Nabi, dan Ali bin Abi Thalib meminta supaya pembawa hadits bersumpah atas kebenarannya.
Dalam pada itu, jumlah hadits yang dikatakan berasal dari Nabi bertambah banyak sehingga keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadits yang oriosinil dan mana hadits yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Bukhari mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadits, tetapi setelah mengadakan seleksi, yang dianggapnya hadits orisinil hanya 3.000 (tiga ribu) dari yang 600.000 itu, yaitu hanya setengah persen.
Tidak ada kesepakatan kita antara umat Islam tentang keorisinalan semua hadits dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.” (Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 1, hlm. 28-30).
Bantahan Prof. Dr. M. Rasjidi
Sekilas tentang M. Rasjidi, setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Daru Al-‘Ulum, Kairo, Mesir, ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Tamat dari Mesir, ia belajar di Universitas Sorbonne, dengan meraih gelar Ph.D. Pernah mengajar di Institut Studi Islam Universitas McGill, Kanada, beberapa lama. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama RI, ia juga pernah menjadi duta RI di Mesir. Ia mempunyai karya-karya ilmiah yang cukup banyak.
Rasjidi sebagai pengkritik utama pemikiran Harun menulis bantahannya dalam buku berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang: Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Ia membantah apa yang ditulis Harun dengan mengomentari tiap bab.
Pada pembahasan “hadits”, Rasjidi memuliai bantahannya dengan memberikan pengantar seputar posisi sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam dengan mengutip firman Allah yang artinya, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 31-32).
Rasjidi, secara singkat, menjelaskan perhatian para sahabat terhadap hadits sejak masa Rasulullah saw. dengan menulis sebagai berikut.
“Selama Nabi Muhammad masih hidup sampai kepada zaman Khulafa Ar Rasyidin, para sahabat Nabi sangat berminat untuk mengingat dan menghafal apa yang pernah dikatakan atau dilakukan oleh Nabi.”
Selanjutnya, Rasjidi membahas masalah kodifikasi sunnah yang dimulai dengan perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Abu Ja’far Al Manshur.
“Tetapi makin lama makin bertambah terasa hajat umat Islam untuk mengetahui sunnah Nabi secara terperinci. Khalifah kerajaan Umawiyah, yaitu Unar bin Abdul Aziz (717-720 M) memerintahkan kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, maka dikumpulkannya apa yang dapat dikerjakannya.
Pada zaman Kerajaan Abbasiyah, Khalifah Abu Ja’far Al Manshur (khalifah kedua Kerajaan Abbasiyah (754-720 M) memerintahkan kepada Malik bin Anas (93-179 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ia ketahui, dan dikumpulkanlah buku hadits yang dinamakan Al Muwaththa’ (artinya: yang telah terkuasai) berjumlhah 870 hadits, menurut bin Hazm.”
Sayangnya, menurut Rasjidi, kodifikasi yang dilakukan Imam Zuhri dan Imam Malik masih dalam lingkup terbatas. Kodifikasi sunnah dalam bentuk yang lebih sempurna baru dilakukan pada abad ketiga Hijriah, sehingga wajar jika masa ini dianggap sebagai masa emas penulisan sunnah. Rasjidi menulis, “Pengumpulan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Abu Ja’far Al Manshur yang dilakukan oleh Az Zuhri dan Malik bin Anas merupakan usaha kecil karena Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Kota Madinah kecuali beberapa kali sebentar untuk haji, sedang Az Zuhri juga tidak melakukan penelitian yang besar skupnya.
Akan tetapi, pada abad ketiga Hijriah, lahirlah gerakan ilmiah yang menyeluruh berbarengan dengan terjemahan buku dari Yunani. Baik ilmu hukum, tafsir, maupun ilmu kalam atau tauhid, berkembang secara besar-besaran.
Mengenai pembukuan sunnah, menonjol pula nama-nama Al Bukhari (wafat 256), Muslim (wafat 261), Ibnu Majah (wafat tahun 273), Tirmidzi (wafat 274), An Nasa’i (wafat 303), dan Abu Dawud (wafat 275).”
Selanjutnya, Rasjidi menambahkan sebagai berikut. “Di antara mereka itu, Al Bukhari dan Muslim menggunakan kriteria yang sangat ketat untuk menyaring hadits-hadits. Cara penyelidikan Al-Bukhari dan Muslim yang begitu teliti telah menghasilkan dua kumpulan yang sekarang termasyhur dengan nama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yakni kumpulan yang sah, yang benar dari Al Bukhari dan Muslim.
Pengumpulan yang lain pun memakai kriteria juga, akan tetapi dirasakan agak lunak. Di samping yang enam tersebut, ada lagi beberapa kumpulan lain seperti Musnad Ibnu Hambal.”
Rasjidi mengulas nilai penting sunnah dalam kehidupan seorang Muslim, seraya menekankan agar setiap Muslim membaca, mempelajari, dan mencurahkan perhatian, sama seperti perhatiannya terhadap Al-Qur’an. Rasjidi menulis, “Sunnah Nabi atau hadits adalah begitu penting dalam Islam. Jika Al-Qur’an penting karena ia adalah wahyu dan barang siapa yang membacanya dengan mengerti bahasa serta maknanya ia akan hidup dalam suasana kerohanian yang tinggi, maka dengan membaca sunnah atau hadits, seseorang akan menjelma menjadi sahabat Nabi, seakan-akan ia dapat menemani dan melihat segala gerak-gerik Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi kebenarannya dan Dr. Harun Nasution meng-quote (mengutip) kata-kata Nicholson dan Gibb yang menguatkan keaslian Al-Qur’an.”
Rasjidi mengingatkan agar umat waspada terhadap upaya musuh-musuh Islam dalam menghancurkan sunnah dengan menggunakan banyak celah, seperti yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhasil disingkap kedoknya. Rasjidi menulis, “Tetapi orang yang tidak suka kepada Islam mencoba untuk menyerang sumber kedua yakni sunnah karena jika sunnah dideskreditkan maka akan kuranglah sumber kekuatan Islam.
Cara mendiskreditkan hadits adalah: pertama, menunjukkan bahwa ada kemungkinan hadits itu dibuat-buat atau dipalsukan dan memang itu terjadi, khususnya ketika terjadi sengketa politik dan perebutan kekuasaan. Bahwa ada hadits yang palsu telah disoroti oleh penyelidik-penyelidik Islam sendiri, khususnya Al Bukhari dan Muslim, dan oleh karena itu, maka mereka membentuk kriteria yang ketat dan ilmiah untuk menerima hadits. Akan tetapi, sekali dikatakan bahwa ada kemungkinan hadits itu dipalsukan dan memang sudah dibuktikan adanya beberapa hadits palsu, kaum orientalis menjadikan hal tersebut sebagai pokok, seakan-akan semua hadits itu sangat mungkin merupakan hadits palsu. Dengan cara inilah musuh-musuh Islam bermaksud menghilangkan salah satu sumber kekuatan Islam.”
Selanjutnya, Rasjidi mengutip berbagai ungkapan Harun yang sangat mirip dengan tuduhan orientalis yang bertujuan meragukan posisi sunnah. Rasjidi menjelaskan bahaya pemikiran yang dibawa dan disebarkan Harun di kalangan mahasiswa IAIN, kemudian menulis bantahan dan kritiknya serta mengingatkan bahaya pemikiran tersebut sebagai berikut.
“Keterangan Dr. Harun Nasution tersebut sudah cukup untuk memasukkan rasa goyah dalam keimanan generasi muda kita, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh kaum orientalis yang tidak suka Islam menjadi kuat.”
Tuduhan Kedua
Harun menulis, “Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para sahabat kembali ke Al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan Nabi. Soal kembali ke Al-Qur’an mudah karena Al-Qur’an dihafal oleh sahabat-sahabat dan telah pula dibukukan pada zaman Abu Bakar. Akan tetapi, berlainan halnya dengan soal sunnah. Hadits tidak dihafal dan belum dibukukan di waktu itu. Di sini, timbullhah keadaan terpaksa mencari sunnah dan hal itu nanti membawa kepada timbulnya hadits-hadits yang diragukan berasal dari Nabi, tetapi adalah sebenarnya hadits-hadits buatan.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 2, hlm. 11).
Rasjidi menolak tuduhan ini dengan menulis, “Keterangan di atas mengandung unsur orientalisme. Hadits tidak dihafal. Ini sepintas lalu benar. Tetapi sebenarnya banyak orang-orang yang mengetahui hadits dan hadits itu tidak selalu perlu dihafal karena kebanyakan mengenai suatu kejadian. Jika ada suatu kasus hukum, maka Abu Bakar, Umar, dan sahabat lainnya menanyakan apakah ada orang yang mengetahui bahwa Rasulullah pernah mengambil keputusan dalam kasus semacam itu. Jika pernah ada, maka sahabat yang mengetahuinya memberi tahu dengan membawa saksi. Jika tidak, maka para sahabat mengadakan sidang untuk merundingkan soal tersebut. Dan keputusan yang mereka ambil dinamakan ijma’ (konsensus sahabat).”
Tuduhan tentang pemalsuan hadits pada masa sahabat dibantah oleh Rasjidi sebagai berikut, “Mencari hadits pada zaman sahabat tidak perlu dihubungkan dengan timbulnya hadits-hadits buatan yang terjadi dua abad kemudian. Penonjolan adanya hadits buatan pada permulaan periode tasyri’ (legislasi) Islam adalah kebiasaan para orientalis, khususnya Goldziher.”
Tuduhan Ketiga
Harun menulis sebagai berikut, “Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu’tazilah umpamanya.”
Rasjidi menjawab tuduhan itu sebagaid berikut, “Kelicikan dari kaum orientalis yang dianut oleh Dr. Harun Nasution, entah dengan sadar atau tidak, ialah bahwa mereka membicarakan hadits secara keseluruhan. Dalam hadits secara keseluruhan–di antaranya dikatakan oleh Dr. Harun Nasution–yang didengar oleh Bukhari enam ratus ribu hadits, memang banyak hadits-hadits yang dibuat-buat orang. Akan tetapi, dari permulaan, para sahabat Nabi berhati-hati sekali menerima hadits.
Jumlah hadits Bukhari yang sahih adalah 7.397 hadits, tetapi banyak yang terulang oleh karena yang meriwayatkannya banyak, jadi jika dihitung hadits Bukhari yang shahih, yang tidak terulang jumlahnya, adalah 2.762 hadits sahih.
Adapun hadits Muslim seluruhnya berjumlah 7.275, dan yang tidak terulang berjumlah kira-kira empat ribu hadits.”
Sayangnya, Rasjidi tidak sepenuhnya benar dalam bantahannya. Ia menulis sebagai berikut. “Namun begitu, kita tidak mengatakan bahwa segala hadits Bukhari dan Muslim itu benar. Di antara 2.762 hadits sahih Bukhari, tentunya ada saja beberapa hadits yang tidak benar karena hadits Bukhari dikumpulkan oleh Al Bukhari dan ia adalah seorang manusia biasa.
Akan tetapi, dalam garis besarnya, kitab hadits yang enam memuat hadits-hadits yang sahih atau dekat kepada shahih karena kriteria yang dipakai oleh pengumpulnya adalah kriteria yang ketat.
Sikap orang Islam adalah bahwa hadits-hadits itu pada umumnya benar, ada sedikit sekali yang salah. Sikap kaum orientalis adalah: semua hadits itu buatan-buatan, kecuali beberapa hadits yang betul sahih dari Nabi Muhammad.”
Koreksi Rasjidi terhadap penyimpangan pemikiran Harun dalam bidang sunnah belum sepenuhnya selesai. Koreksi Rasjidi juga memerlukan koreksi. Tentu saja hal ini disebabkan karena minimnya informasi Rasjidi dalam bidang ini dan bukan faktor kesengajaan. Hal ini bisa ditoleransi karena ilmu hadits bukanlah bidang spesialisasinya. Tetapi, secara umum Rasjidi telah mengupas berbagai masalah yang tidak diketahui orang banyak dengan mengoreksi pemahaman yang keliru dan membantah tudingan yang salah kaprah. Selanjutnya penulis akan menambahkan beberapa catatan pelengkap. Penulis akan mengoreksi sisi yang keliru, mengacu pada paradigma ulama dan spesialisasi dalam bidang hadits.
Poin-poin yang perlu diluruskan itu dapat diringkas sebagai berikut. 1. Secara mutlak, Harun mengingkari penulisan dan penghafalan hadits pada masa Nabi. Alasannya adalah sikap Umar bin Khatthab r.a. yang mengurungkan niat menyusun hadits yang telah ia kumpulkan.
2. Kodifikasi hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriah, sehingga sebelum periode itu, antara hadits shahih dan hadits palsu tidak dapat dibedakan, akibat usaha pembukuan yang terlambat.
3. Para sahabat bersikap sangat ketat dalam menerima hadits. Hal ini dibuktikan oleh sikap Abu Bakar yang meminta saksi terhadap kebenaran rawi dan Ali bin Abi Thalib yang menyuruh beberapa rawi bersumpah. Secara implisit dan tidak langsung, Harun menganggap bahwa para sahabat meragukan kejujuran para rawi karena banyaknya kasus pemalsuan hadits.
4. Pembukuan dalam skala besar dilakukan pada abad ketiga Hijriah melalui para penulis Kutubus Sittah, enam kitab hadits utama.
5. Imam Bukhari menyaring tiga ribu hadits dari enam ribu hadits yang telah ia kumpulkan.
6. Tidak ada ijma’ (kesepakatan) kaum Muslimin tentang keshahihan hadits-hadits Nabi.
7. Sebagai konsekuensinya, kedudukan sunnah sebagai hujjah (dasar hukum) tidak sama dengan Al-Qur’an.
8. Yang disepakati tentang kehujjahannya hanya hadits mutawatir saja. Adapun hadits masyhur dan ahad, keduanya masih diperselisihkan.
9. Karena sibuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam masa itu, para sahabat menerima segala macam hadits, sekalipum maudhu’ (palsu).
Setelah itu bahasan akan mendiskusikan beberapa kesimpulan Rasjidi yang dipandang kurang tepat.
Poin-poin inilah yang Insya Allah akan dibicarakan di bawah ini. Berikut koreksi atas kekeliruan pemikiran Harun.
Penulisan Hadits pada masa Nabi
Seputar penulisan hadits dan kodifikasinya pada abad pertama Hijriah, timbul kontroversi yang dilontarkan musuh-musuh Islam dan pengikutnya dari kalangan umat bahwa sunnah belum ditulis pada masa Rasulullah saw. Mereka berasumsi bahwa sunnah dicemari oleh pemalsuan. Harun mengklaim bahwa sunnah tidak ditulis dan tidak dihafal pada masa Rasulullah saw., tetapi pada abad kedua Hijriah. Menurut penulis, pendapat ini jauh lebih berbahaya dari pemikiran orientalis. Pasalnya, orientalis sekaliber Goldziher–orientalis yang dikenal sangat benci kepada Islam–sekalipun tidak sampai menuduh demikian. Ia hanya menuduh bahwa hadits itu tidak ditulis pada masa Nabi saw.
Dalam mengkaji masalah ini, kaum orientalis dihadapkan pada beragam nash yang sepintas lalu tampak kontradiktif. Di satu sisi, terdapat beberapa nash–baik hadits ataupun atsar–yang melarang penulisan sunnah, dan di tempat lain terdapat nash yang membolehkan. Bahkan, sebagian nash itu memerintahkan penulisan.
Karena wawasan dan pengetahuan yang terbatas dalam masalah ini, kaum orientalis tidak mampu memahaminya secara benar. Mereka tidak mampu melakukan komparasi dan perbandingan berbagai nash ini, menimbang, lalu mengompromikan dan memilih yang terkuat. Masalahnya, pekerjaan ini memerlukan spesialisasi dan penelitian mendalam, keluasaan wawasan dan pemahaman yang jernih.
Ketika dihadapkan pada situasi ini, kaum orientalis kesulitan dan dilanda kebingungan. Mereka lalu menyimpulkan bahwa Rasul melarang penulisan. Ada dua kemungkinan yang mendorong mereka menyimpulkan seperti ini (tanpa kajian mendalam). Pertama, memang terdapat nash yang melarang penulisan hadits. Kedua, ini lebih mendukung kepentingan mereka. Larangan penulisan hadits pada masa Nabi adalah pendapat paling sesuai dengan kepentingan dan target orientalis. Yaitu, meruntuhkan posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Seperti diketahui, sebagian kaum orientalis–untuk tidak mengatakan mayoritas–bersikap apriori terhadap Islam sejak awal karena latar belakang pemikiran dan keyakinannya. Akibatnya, mereka kehilangan sikap objektif dan kejujuran.
Ketika mereka mengkaji sunnah, khususnya masalah kodifikasi, dan menemukan celah, mereka langsung membesar-besarkan dan menjadikannya sasaran tembak. Tujuannya jelas untuk menghancurkan sunnah. Atau, setidaknya menumbuhkan keraguan bahwa sunnah belum pernah ditulis pada masa Nabi.
Penulisan hadits pada masa Nabi adalah realitas yang tidak terbantahkan. Terdapat banyak keterangan dari rasul, para sahabat, dan tabi’in dengan dalil-dalil yang qath’i, yang tidak diragukan lagi.
Penulisan hadits pada masa Nabi merupakan pengamalan firman Allah berikut ini (yang artinya, red.), “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.” (Al-Hasyr: 7). “Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).
Berangkat dari instruksi ilahiah ini, para sahabat memiliki semangat dan atensi yang luar biasa terhadap sunnah. Mereka berpacu mendengar hadits dan menghafalnya. Hal ini terbukti, jika sebagian kebetulan absen, mereka lalu bertanya kepada orang yang hadir dalam majelis Rasul. Ditambah lagi mereka selalu berusaha mengamalkan apa yang mereka ketahui.
Semangat ingin mendengar wahyu dan hadits membuat para sahabat tidak rela ketinggalan. Bahkan, mereka secara teratur datang bergantian. Umar bin Khatthab r.a. menceritakan, “Dahulu, aku dan seorang tetanggaku dari kalangan Anshar tinggal di permukiman Bani Umayyah bin Zaid, sebuah kawasan di pinggiran Kota Madinah. Kami saling bergantian menemui Rasulullah saw. Aku menemui beliau hari ini dan ia pada esok harinya. Jika aku hadir, aku menemui dan memberitahukannya tentang apa yang kudengar, baik wahyu, hadits, atau lainnya. Jika tiba gilirannya, ia pun melakukan hal serupa.” (Shahih Bukhari, Kitab Al-Ilmi, Bab At-Tanawub bi Al-‘Ilmi, no. hadits 89).
Walaupun demikian, karena ingatan dan daya hafal manusia terbatas, mereka menulis hadits-hadits ini pada shahifah (lembaran). Ketika hal ini diketahui Rasulullah saw., awalnya beliau tidak setuju dan menyuruh mereka menghapus apa yang sudah ditulis. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Qur’an. Siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya dan sampaikanlah apa yang datang dariku dan tidak mengapa. Tetapi, siapa yang mendustakan atasku–Hammam, sang perawi hadits berkata, ‘Aku menduga beliau bersabda’–dengan sengaja, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (Shahih Muslim, Kitab Az-Zuhd, Bab At-Tasyadud fi Al-Hadits, wa Hukmu Kitabatu al-Ilmi, no. hadits 72.a).
Ini adalah bukti perhatian Rasulullah saw. terhadap Al-Qur’an sebagai sumber syariat Islam yang pertama. Berbeda dengan sunnah, Al-Qur’an harus diriwayatkan dengan redaksinya secara lengkap. Wajar jika beliau mengarahkan perhatian para sahabat untuk menulis Al-Qur’an dalam porsi terbesar. Sunnah tidak perlu terlalu dikhawatirkan saat itu karena Rasulullah saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Di samping itu, para sahabat punya ingatan dan daya hafal yang sangat kuat, berpikiran yang jernih, dan memiliki perhatian luar biasa terhadap agama ini. Tampaknya, larangan Nabi saw. untuk menulis hadits dilatari oleh kekhawatiran tercampurnya sunnah dengan Al-Qur’an. Kekhawatiran lain adalah kesibukan para sahabat menulis hadits dan melalaikan Al-Qur’an. Seandainya sunnah dikodifikasikan lebih dahulu seperti halnya Al-Qur’an, terdapat kesulitan sebab materinya sangat luas. Sunnah meliputi sabda, perbuatan, dan persetujuan Rasul, sejak awal masa kenabiannya hingga wafat. Hal itu tentu amat sulit.
Lebih jauh ada kekhawatiran bahwa sebagian sabda Nabi saw. yang ringkas dan mengandung hikmah, secara tidak sengaja, tercampur dengan Al-Qur’an. Jika terjadi, ini jelas sangat berbahaya. Ini adalah hikmah yang dapat dipetik dari tidak dibukukannya sunnah dalam kodifikasi sempurna pada masa Rasulullah saw. (Prof. Dr. Muhammad Musthafa as-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’i al-Islami, Al-Maktab al-Islami, Dimasyq, cet. keempat, tahun 1405 H, hlm. 59).
Pendapat lain menyebutkan, larangan ditujukan pada mereka yang memiliki hafalan dan daya ingat yang kuat. Larangan ini tidak berlaku bagi mereka yang hafalannya lemah atau mereka yang teliti dan cermat dalam menulis dan membuat ctatan. Pandangan ini sesuai dengan beberapa riwayat yang shahih yang menerangkan tentang izin menulis yang diberikan Rasul kepada sebagian sahabat. (Prof. Dr. Muhammad M. Abu Syahbah, Difa’ ‘an as-Sunnah wa ar-Radd Syubhah al-Mustasyriqin wa al-Kutub al-Mu’ashirin, Dar al-Jail, cet. pertama, tahun 1411 H, hlm. 20).
Jumlah riwayat yang membolehkan penulisan hadits sangat banyak. Hal ini dijelaskan Al-Khathib al-Baghdadi dalam bukunya Taqyid al-‘Ilm, termasuk di dalamnya riwayat dari sahabat dan tabi’in. Bahkan, Imam Bukhari membuat bab khusus “Penulisan Hadits” dalam kitab Shahih-nya dengan memuat beberapa hadits yang tegas membolehkan. Hal ini dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
Pertama, Imam Bukhari mengawali bab ini dengan kisah tentang Shahifah (lembaran) yang berada di tangan Ali r.a., yaitu hadits Abu Juhaifah. Ia berkata, kukatakan kepada Ali, “Apakah kamu memiliki kitab?” Ali menjawab, “Tidak ada, kecuali kitab Allah, pemahaman yang diberikan kepada seorang Muslim, dan shahifah ini.” Ia berkata, aku bertanya, “Apa yang terdapat dalam shahifah ini?” Ali menjawab, “Hukum tentang aql (denda, diyat), melepaskan tawanan dan seorang Muslim tidak dibunuh karena ia membunuh seorang kafir.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-‘Ilm, Bab Kitabat al-‘Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 111).
Kedua, Bukhari memuat hadits Abu Hurairah tentang khutbah Nabi saw. pada Fathu Mekah (pembebasan Kota Mekah) dan permintaan seorang sahabat agar khutbah itu dituliskan. Lalu, datanglah seorang pria dari Yaman dan berkata, “Tuliskanlah untukku, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda, “Tuliskanlah untuk Abu Fulan.” Lalu seorang pria dari kalangan Quraisy berkata, “Kecuali tanaman Al-Izkhir, wahai Rasulullah saw. karena kami menggunakannya untuk keperluan rumah dan kuburan. Abu Abdullah ditanya, apa yang ditulis untuknya? Ia menjawab, “Khutbah ini ditulis untuknya.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-‘Ilm, Bab Kitabat al-‘Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 112).
Ketiga, ungkapan Abu Hurairah, “Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin ‘Amr, sebab ia menulis sedang aku tidak menulis.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-‘Ilm, Bab Kitabat al-‘Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 113).
Keempat, hadits Ibnu Abbas tentang kisah sakitnya Nabi saw. dan beliau bersabda, “Bawalah padaku sebuah buku. Akan kutuliskan sebuah kitab agar kalian tidak sesat sesudahnya.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-‘Ilm, Bab Kitabat al-‘Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 114).
Masih banyak riwayat lain dengan makna yang sama, baik hadits ataupun atsar dari para sahabat dan tabi’in. Mungkin ada yang berpikir, meski terdapat banyak riwayat yang membolehkan penulisan hadits, termasuk dari kalangan sahabat dan tabi’in, tetapi riwayat shahih yang melarang hal itu tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita menyikapi kontradiksi ini secara benar? Sikap yang tepoat adalah mengompromikannya. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan hal ini sebagai berikut. 1. Larangan ini khusus berlaku selama Al-Qur’an turun. Nabi saw. melarang penulisan hadits hanya pawa waktu itu, agar Al-Qur’an tidak bercampur dengan yang lainnya. Setelah itu penulisannya diizinkan. Penafsiran ini juga disebutkan Imam Suyuthi dalam kitab Tadrib ar-Rawi.
2. Larangan ini berarti tidak dibolehkannya penulisan Al-Qur’an dan informasi lainnya dalam satu kertas. Jika ditulis terpisah, hal itu diizinkan. Alasannya sama dengan nomor di atas. Penafsiran serupa juga diungkap As-Suyuti dalam Tadrib ar-Rawi dan Al-Hafidz al-Iraqi dalam Fath al-Mughits. Pandangan inilah yang dipilih Dr. Muhammad al-A’Dzahami karena dua sebab. Pertama, Nabi saw. mendiktekan dan para sahabat menulis hadits-hadits Nabi yang sampai pada derajat mutawatir; kedua, diizinkannya melakukan penulisan hadits oleh Nabi saw.
3. Hadits-hadits yang melarang penulisan itu tidak berlaku dan dihapus oleh hadits-hadits yang membolehkan. Pelarangan ini datang lebih awal dan izin penulisan datang lebih akhir, saat tidak ada kekhawatiran tercampur dalam penulisan. Al-Hafidz al-Iraqi sepakat dengan pendapat ini.
4. Izin penulisan ditujukan bagi mereka yang dikhawatirkan lupa dan larangan ditujukan bagi orang-orang memiliki hafalan dan ingatan kuat. Larangan ini dimaksudkan agar mereka tidak mengabaikan daya hafalnya yang kuat dan tergantung pada tulisan.
Ada bentuk kompromi lain yang disebutkan para ulama, yaitu sebagai berikut. 1. Larangan ditujukan bagi orang-orang tertentu, yaitu mereka yang dikhawatirkan mencampurkan hadits dengan Al-Qur’an (secara tidak sengaja). Izin ditujukan bagi selain mereka. Hal ini dan yang sebelumnya dikemukakan Imam Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah. (An-Nawawi, At-Taqrib, juz 1, hlm. 67; Ibnu As-Shalah, Al-Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 182).
2. Izin khusus ditujukan kepada orang-orang yang pandai membaca dan larangan ditujukan bagi orang-orang yang tidak pandai membaca karena dikhwatirkan berbuat kesalahan. Pendapat ini dikutip dari Ibnu Qutaibah. (‘Abdullah bin Muslim Ibn Qutaibah ad-Dinawari, Takwil Mukhtalaf al-Hadits, tahkik Abdul Qadir ‘Atha, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Kairo, cet. pertama, 1402 H, hlm. 251).
Jelas sudah bahwa para sahabat telah melakukan penulisan hadits sejak masa hidup Rasulullah saw. Hadits-hadits yang ditulis tersebut jumlahnya tidak sedikit. Setelah Rasulullah saw. wafat, jumlah sahabat yang menulis hadits bertambah, termasuk kalangan tabi’in (generasi pascasahabat), bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Keadaan ini terus berlangsung; sebagian orang menulis, sebagian lagi tidak, hingga tiba masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau memutuskan untuk mengumpulkan hadits dan mengodifikasikannya karena khawatir hadits hilang atau tercampur antara yang hak dan batil. Patut dicatat, langkah Khalifah Umar ini terjadi pada akhir abad pertama Hijriah.
Bersambung …!
Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 17-48
Oleh: Abu Annisa