Awal Penetapan Sanad

Harun menuduh bahwa para sahabat menerima semua hadits sekalipun yang palsu, dan pada saat yang sama, menuduh mereka terlalu ketat dalam menerima hadits karena ragu terhadap integritas rawi. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Kita lihat keterangan berikut ini untuk menilai sejauh mana kebenaran dari tuduhan Harun tersebut.

Awal Penetapan Sanad

Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu.

Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.

Pertama, membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat. Hadits yang selaras dengan hadits yang dihafal diterima dan yang bertentangan ditolak. Imem Muslim meriwayatkan dalam pengantar Shahih-nya dari Ibnu Abi Malikah, ia berkata, “Aku menulis permintaan pada Ibnu Abbas agar menuliskan untukku sebuah kitab dan menyembunyikannya dariku. Ia berkata, ‘Anak cerdas. Aku dimintanya untuk memilih beberapa masalah, lalu aku sembunyikan darinya’.” Ibnu Abi Malikah selanjutnya berkata, “Lalu Ibnu Abbas mencari dan mengumpulkan putusan hukum Ali dan menulisnya. Saat menemukan ada yang janggal dalam catatan itu, ia berkata, ‘Demi Allah, Ali tidak pernah memutuskan hal seperti itu, kecuali jika ia telah sesat’.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).

Kedua, menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi’in bernama Muhammad bin Sirin berkata, “Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami para perawi Anda.’ Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid’ah, haditsnya ditolak.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).

Ketiga, mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, awal pemalsuan hadits adalah akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sebagai respon terhadap situasi ini, lahir pula kritik terhadap matan dan isnad. Hal ini akhirnya tidak memberi kesempatan kepada pengikut bid’ah dan hawa nafsu untuk melempar tuduhan dan menjadikannya bagian dari agama dan syariat. (Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 44).

Dengan demikian, jelaslah bahwa para sahabat bersikap sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, misalnya tindakan Umar yang meminta saksi jika hatinya ragu atau sikap Ali yang menyuruh sebagian rawi bersumpah.

Dalam situasi ini, kita tidak bisa membayangkan tuduhan Harun bahwa sahabat menerima setiap hadits, sekalipun maudhu’ (palsu), akibat kesibukan mereka mencari solusi berbagai masalah umat. Di sisi lain, tuduhan ini juga kontradiksi dengan tuduhan Harun lainnya yang menyebutkan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Ali r.a. tidak mudah menerima sebuah hadits. Mereka meminta bukti penguat sehingga para sahabat seolah-olah saling meragukan. Pemahaman dan cara berpikir Harun tampak rancu dalam hal ini.

Pada bagian lain, Harun menuduh bahwa pascawafatnya Nabi saw., khususnya pada abad ketiga, sulit membedakan hadits shahih dan palsu karena jumlah hadits yang begitu banyak. Tampaknya Harun beralasan dengan pernyataan Bukhari yang menyaring 600.000 hadits menjadi 3.000 hadits. Lalu, Harun menyimpulkan bahwa hadits yang ditinggalkan Bukhari tidak shahih.

Benarkan demikian? Tuduhan ini hanya akan muncul dari orang yang tidak mengetahui kerja keras para ahli hadits di dalam menyaring sunnah, baik sanad maupun matannya. Sebelumnya telah dijelaskan perhatian ulama dalam menjaga sunnah sejak masa Rasulullah saw. Mereka mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.

Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid’ah dan batil dapat membuat-buat hadits. (Dr. Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 139).

Dalam hal ini, komentar Abdullah bin Mubarok menjadi sangat tepat, “Sanad termasuk bagian dari agama, tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa saja yang ia inginkan.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah).

Sanad mulai ditetapkan sejak timbulnya pemalsuan hadits, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. atau pada akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sehingga, para pengikut hawa nafsu dan bid’ah tidak punya kesempatan untuk menyerang sunnah.

Seorang ulama dari kalangan tabi’in yang bernama Mujahid menceritakan sikap hati-hati para ahli hadits. Begitu hati-hatinya sampai mereka tidak mau menerima hadits kecuali dari orang yang mereka kenal. Imam Muslim meriwayatkan dalam pengantar kitab Shahih-nya, dari Mujahid, bahwa Busyair al-Adawi datang kepada Ibnu Abbas r.a., lalu mulai menceritakan sebuah hadits. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda yang bunyinya begini dan begini.” Tetapi, Ibnu Abbas tidak memedulikan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya.

Busyair lalu berkata, “Hai Ibnu Abbas, mengapa Anda tidak mau mendengar hadits dariku? Aku menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah saw. dan Anda tidak mau mendengarkan!” Ibnu Abbas r.a. menjawab, “Dulu, jika mendengar seseorang mengatakan Rasulullah saw. bersabda, pandangan kami segera mengarah padanya dan segera kami memasang telinga. Akan tetapi, setelah orang dilanda fitnah dan kahinaan, kami hanya menerima hadits dari orang yang kami kenal.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, no. hadits 7).

Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, “Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu.” Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali. Anda akan mengetahui hal ini jika merujuk pada kitab Ar-Risalah al-Mustathrafah karya Syaikh al-Kitani. Contoh kitab lainnya adalah At-Tarikh oleh Yahya bin Ma’in, seorang pakar di bidang Jarh wa at-Ta’dil, At-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari, Jarh wa at-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, dan lainnya.

Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri.

Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, “Tanyakan kepada orang lain tentang beliau.” Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, “Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif).”

Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki’, guru Imam Syafi’i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, “Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta.” (Abdullah bin Sulaiman, wafat tahun 316 H. Lihat Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 9 hlm. 464).

Zaid bin Abi Unaisah (w. 124 H) berkata, “Janganlah kalian mengambil hadits dari saudaraku, yaitu Yahya.” Semakna dengan itu adalah komentar Adz-Dzahabi tentang anaknya yang bernama Abu Hurairah (w. 779 H), “Sesungguhnya ia dulu pernah menghafal Al-Qur’an, lalu ia sibuk hingga melupakannya.” (Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad as-Sakhawi (831-902 H), Al-I’lan bi at-Taubikh Liman Dzamma al-Tarkih, Tahqiq Frans Rosenthal, penerjemah Dr. Shaleh Ahmad al-‘Ali, Mu’asasah ar-Risalah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1407, hlm. 112-113; Muqaddimah Shahih Muslim, juz 1, hlm. 27; Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 83; Dr. ‘Abd al-Muhdi, As-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 89).

Keempat, kritik matan dan makna hadits. Kritik yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas pada sanad, seperti anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadits. Hal ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan tumbuh berkembang pada era berikutnya.

Kelima, ilmu jarh wa at-ta’dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.

Dengan ilmu ini, kaum salaf (terdahulu ) dan khalaf (belakangan) berhasil menyingkap berbagai illat (penyakit) dalam setiap hadits yang diriwayatkan. Di antara orang-orang yang dikaruniai kemampuan dalam bidang ini adalah Asy-Sya’bi, Al-A’masi, Ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Abdur Rahman bin Mahdi, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Yahya bin Ma’in, dan lainnya. Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 100).

Keenam, penulisan kitab tentang hadits maudhu’ (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak. Sebagai contoh, Imam Ishaq bin Rahawaih menghafal 4.000 hadits palsu. (Al-Khatib, Tarkih Baghdad, juz 6, hlm. 352).

Para ulama menulis banyak kitab tentang hadits palsu, terpisah dari kitab tentang rawi yang lemah dan tercela. Mereka menjelaskan profil orang-orang yang biasa berdusta dan memalsukan hadits. Mereka menyingkap pribadi para pemalsu hadists dan menyertakan hadits-hadits palsu yang diriwayatkannya agar orang lain waspada.

Sebagai contoh adalah kitab Adh-Dhu’afa oleh Imam Bukhari, Adh-Dhu’afa oleh Imam Nasa’i, Adh-Dhu’afa oleh Imam Al-‘Uqaili, dan Adh-Dhu’afa wa al-Matruukiin oleh Ibnu Hibban. Sebagian ulama juga menulis buku-buku khusus tentang orang-orang yang biasa memalsukan hadits, seperti kitab Al-Kasyf al-Hadits ‘Amman Rumiya bi Wadh’ al-Hadits oleh Hafidz Burhanuddin al-Halabi. (Muqaddimah Syaikh ‘Abdul Wahhab dalam kitab Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah, hlm. (ha) dan (ya).

Para pakar hadits mengidentifikasi hadits palsu dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui hadits palsu, di antaranya sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan hadits, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur’an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana.

2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi.

4. Indikasi yang berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan, seperti yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa ditafsirkan, bertentangan dengan makna Al-Qur’an yang qath’i, atau hadits mutawatir atau ijma’ (kesepakatan) yang sifatnya qath’i (punya kebenaran dan makna pasti). (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 5-8).

5. Kerancuan susunan bahasa hadits dari segi bahasa. Dalam masalah ini, Ibnu Daqiq al-Id berkomentar, “Banyak ulama yang menghukum palsu sebuah hadits karena faktor-faktor yang berkaitan dengan matan dan susunan bahasa hadits. Karena seringnya bergumul dengan hadits, mereka akhirnya memiliki kepekaan dan kemampuan membedakan redaksi Nabi dan bukan.” (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 6).

Di sini tampak kesungguhan para ulama di dalam mengawal sunnah dari kebohongan dan pemalsuan, sehingga para pembenci, perusak, dan pendengki sunnah tidak mampu mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip yang diletakkan para ulama membuat tiap ulama dan penuntut ilmu dapat membedakan antara hadits shahih dan maudhu’ (palsu). Mereka bisa mengetahui rawi yang jujur dan berbohong, yang benar dan yang salah, yang cermat dan ceroboh.

Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang kekhawatiran terhadap sunnah dari ulah kaum pendusta dan perusak, “Bagaimana dengan hadits-hadits palsu itu?” Ibnul Mubarak menjawab, “Para pakar telah menguasainya.” Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami juga yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9).

Bersambung …!

Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 77-85).

Oleh: Abu Annisa