Islam-Barat: A Permanent Confrontation

Jauh sebelum Bernard Lewis dan muridnya, Samuel P. Huntington, rajin mengangkat isu “the clash of civilizations”, yang makin hari arahnya makin jelas menghadap-hadapkan Barat dan Islam, sebenarnya kajian tentang peradaban Barat sudah lama berkembang di kalangan ilmuwan Muslim. Abul Hasan Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, Muhammad Iqbal, Abul A’la Maududi, Sayyid Qutb, dan banyak lagi, telah memberikan kritik dan analisis tajam tentang karakteristik peradaban Barat. Mereka melakukan kajian komparatif antara peradaban Barat dengan peradaban Islam dan kemudian mengingatkan kaum Muslim untuk tidak gampang mengikuti pandangan dan jalan hidup peradaban Barat.

Peradaban Barat, menurut pemikir Muslim terkenal asal India, Abul Hasan Ali an-Nadwi, adalah kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi yang telah mewariskan kebudayaan politik, pemikiran, dan kebudayaan. Kebudayaan Yunani, yang menjadi inti kebudayaan Barat, memiliki sejumlah “keistimewaan”:

(1) kepercayaan yang berlebihan terhadap kemampuan pancaindera dengan meremehkan hal-hal yang di luar pancaindera,
(2) kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian,
(3) sangat menjunjung tinggi kehidupan duniawi dan menaruh perhatian yang berlebihan terhadap manfaat dan kenikmatan hidup, dan
(4) memiliki kebanggaan patriotisme.
Semua itu dapat diringkas dalam satu kata:”materialisme”. Peradaban Romawi yang menggantikan peradaban Yunani memiliki keunggulan dalam hal kekuatan, tata pemerintahan, luasnya wilayah, dan sifat-sifat kemiliteran. Romawi kemudian mewarisi kebudayaan Yunani sampai ke akar-akarnya, sehingga bangsa Romawi tidak lagi berbeda dengan Yunani dalam karakteristik dasar. Keduanya memiliki persamaan besar: mengagungkan hal duniawi, skeptis terhadap agama, lemah iman, meremehkan ajaran dan praktik keagamaan, fanatik kebangsaan, serta patriotisme yang berlebihan. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Romawi tidak memiliki kepercayaan keagamaan yang mantap. Sejak semula mereka telah mengembangkanpaham sekularisme yang menganggap Tuhan tidak berhak memasuki urusan politik maupun urusan keduniaan lainnya. (Abul Hasan Ali an-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia [Jakarta: Pustaka Jaya, 1988], hlm. 227-235).

Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntunan-tuntunan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhan mereka yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. Konsep “keadilan” bagi Romawi adalah “keadilan” bagi orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya irreligious. (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads [Kuala Lumpur: The Other Press], hlm. 26-29).

Sayyid Quthb juga dikenal sangat kritis terhadap Barat, terutama setelah berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1948-1950. Di sana Quthb belajar tentang metode pendidikan Barat (Western Methods of Education). Ia belajar di Wilson’s Teachers College (saat ini bernama The University of the District of Columbia) pada The University of Northern Colorado’s Teachers College. Ia meraih gelar MA di universitas itudan juga di Stanford University. Setelah tamat kuliah, Quthb juga sempat berkunjung ke Inggris, Swiss, dan italia. Pengalamannya lebih dari dua tahun di Amerika itu tampaknya menjadi “titik balik” yang penting dalam hidupnya. Ia kemudian menjadi kritikus Barat yang tajam, dan segera sekembalinya ke Mesir pada 1952, ia bergabung dengan Al-Ikhwanul Muslimin. Quthb juga dikenal sangat menekankan bahaya perang pemikiran. Dia menulis, “Para penjajah dewasa ini tidak mengalahkan kita dengan senjata dan kekuatan, tetapi melalui orang-orang kita yang telah terjajah jiwa dan pikirannya. Kita dikalahkan oleh dampak yang ditinggalkan oleh para imperialis pada departemen pendidikan dan pengajaran, juga di pers serta buku-buku. Kita kalah oleh pena-pena yang tenggelam dalam tinta kehinaan dan jiwa yang kerdil, sehingga pena-pena itu hanya bangga jika menulis tentang para pembesar Prancis, Inggris, dan Amerika.” (Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Sayyid Quthb Mengungkap Amerika, hlm. 63).

Sarjana dan penyair Muslim terkenal, Dr. Muhammad Iqbal, pun dikenal sangat tajam dalam menyorot peradaban Barat dan banyak menulis puisi tentang kebobrokannya. Iqbal sendiri merupakan produk pendidikan Barat. Ia meraih Ph.D. di Eropa dengan tesis berjudul “TheDevelopment of Metaphisics in Persia”. Dalam kumpulan puisinya, Javid Namah, Iqbal mengungkap ketamakan peradaban Barat modern yang kurang mempedulikan aspek kemanusiaan. “Her eyes lack of the tears of humanisy, because of the love of gold and silver.” Dalam puisinya Bal-e-Jibril, Iqbal juga mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadapagamanya. Padahal, menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang manusia, maka itu lebih buruk ketimbang perbudakan.

Dalam bukunya, Islam Versus the West, Maryam Jameela–seorang keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus–memaparkan bahwa antara Islam dan barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler akan berujung pada pemusnahan Islam. (Maryam Jameela, Islam Versus the West [Saudi Arabia: Abul Qasim Publishing House, 1994], hlm. 57).

Kritik-kritik para sarjana Muslim terkenal itu dikemukakan jauh sebelum Perang Dingin (Cold War) usai. Ketika itu dunia Barat masih melakukan berbagai kerja sama dengan negara-negara Muslim untuk menghadapi musuh utama mereka, yaitu komunisme. Mereka melakukan kajian terhadap Barat bukan karena kepentingan politik, tetapi berusaha menyelami hakikat perbedaan antara peradaban Islam dan Barat. Di antara mereka muncul seorang cendekiawan terkemuka kelahiran Bogor, Jawa Barat, bernama Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dibandingkan dengan cendekiawan-cendekiawan Muslim lain, Naquib al-Attas mengungkapkan pandangan yang lebih sistematis, filosofis, dan mendasar tentang Barat. Ia mengungkapkan, karena adanya perbedaan yang sangat fundamental antara peradaban Barat dan peradaban Islam, maka apa yang sesungguhnya terjadi disebutnya sebagai satu kondisi “permanent confrontation” (konfrontasi permanen), atau konflik abadi.

Al-Attas meraih gelar Ph.D. dari University of London pada awal tahun 1970-an. Sejak itu ia justru semakin aktif menulis dan berceramah tentang tantangan dan ancaman peradaban Barat terhadap kaum Muslim dan dunia Islam, khususnya dalam bidang keilmuan dan kebudayaan. Ia kemudian dikenal luas sebagai cendekiawan yang sangat kritis dalam menyorot masalah sekularisme dan menulis satu buku yang sangat terkenal di dunia internasional, yaitu buku “Islam and Secularism”.

Tentang konflik abadi Islam-Barat ini, Al-Attas mencatat dalam buku klasiknya itu bahwa konfrontasi antara peradaban Barat dengan Islam telah bergerak dari level sejarah keagamaan dan militer ke level intelektual. Menurut hasil pengkajiannya, konfrontasi itu secara historis bersifat permanen. Islam dipandang Barat sebagai tantangan terhadap prinsip yang paling asasi dari pandangan hidup Barat. Islam bukan hanya tantangan bagi kekristenan Barat, tetapi juga prinsip-prinsip Aristotellianisme dan epistemologi serta dasar-dasar filosopi yang diwarisi dari pemikiran Yunani-Romawi. Unsur-unsur itulah yang membentuk komponendominan yang mengintegrasikan elemen-elemen kunci dalam berbagai dimensi pandangan hidup Barat.

Untuk menyadarkan kaum Muslim akan tantangan besar yang mereka hadapi, khususnya dari peradaban Barat, Al-Attas memberikan banyak ceramah dan menulis berbagai buku dan risalah. Salah satu kumpulan ceramahnya pada tahun 1973, kemudian dibukukan dalam sebuah buku adalah berjudul “Risalah untuk Kaum Muslimin”, yang berbahasa Melayu. Ia menyerukaum Muslimin agar benar-benar mengenal peradaban Barat. Sebab, peradaban inilah yang kini sedang menguasai dan tidak henti-hentinya melakukan serangan terhadap Islam dalam berbagai bentuknya.

“Seperti juga dalam ilmu peperangan kau harus mengenali siapakah dia seterumu itu; di manakah letaknya kekuatan dan kelemahan tenaganya; apakah helah dan tipu muslihatnya bagi mengalahkanmu; bagaimanakah cara dia menyerang dan apakah yang akan diserangnya; dari jurusan manakah akan serangan itu didatangkan; siapakah yang membantunya, baik dengan secara disadari mahupun tiada disedari–dan sebagainya ini, maka begitulah kau akan lebih insaf lagi memahami nasib serta kedudukan Islam dan kau sendiri dewasa ini apabila penjelasan mengenai seterumu itu dapat dipaparkan terlebih dahulu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Rislaah untuk Kaum Muslimin [Kuala Lumpur: ISTAC, 2001], hlm. 9).

Dalam pandangan Al-Attas, kedatangan Islam sejak awal memang telah memberikan tantangan yang sangat fundamental terhadap sendi-sendi utama agama Kristen, yang merupakan suatu unsur penting bagi peradaban Barat. Islam menjelaskan bahwa agama Kristen yang dikenal sekarang bukanlah agama yang ditanzilkan oleh Allah SWT, dan bukan agama yang mendapat pengesahan dari-Nya. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah yang diperintahkan membetulkan semua penyelewengan agama Yahudi dan menyampaikan kabar baik tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. Jadi, Nabi Isa a.s. tidaklah diutus untuk membawa agama baru yang kemudian dikenal dengan nama Kristen. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Wahai Bani Israel, aku ini adalah utusan Allah yang diutus kepadamu bagi mengesahkan semula Taurat yang telah datang sebelumku dan untuk menyampaikan kabar baik tentang seorang rasul yang akan datang sesudahku bernama Ahmad.” (Ash-Shaff: 6).

Karena itu, dalam memandang agama Kristen sekarang, Al-Attas mempunyai pandangan yang jelas: “Maka agama Kristen, agama Barat–sebagaimana juga agama-agama lain yang bukan Islam–adalah agama kebudayaan, agama ‘buatan’ manusia yang terbina dari pengalaman sejarah, yang terkandung oleh sejarah, yang dilahirkan serta dibela dan diasuh dandibesarkan oleh sejarah.” (Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 37).

Bukan hanya dari segi ajaran, Islam membongkar dasar-dasar kepercayaan agama Kristen, tetapi kemunculan Islam pada awal abad ke-7 M juga memberikan tantangan hebat terhadap eksistensi politik, ekonomi, dan geografi Kristen. Fajar Islam kemudian mengubah peta sejarah, khususnya di kawasan Timur Tengah. Islam menggantikan posisi Kristen sebagai agama dominan saat itu. Hal ini dikatakan oleh Al-Attas:

“Pada waktu fajar Islam mulai menyingsing maka agamaKristen itu sudah pun menguasai kawasan yang luasnya melingkungi Eropah Barat hingga ke Timur, termasuk Asia Barat dan Afrika Utara … akan tetapi impian agung dan idaman-idaman yang tentu giat membujuk hasrat dan ghairah penganjur serta penganut-penganut agama Kristen Barat itu tiba-tiba getar gugur hancur akibat terbitnya Islam.

Islamlah agama yang mula-mula mendakwahkan peranannya sebagai agama yang bersifat menyeluruh bagi anutan segenap masyarakat insani; agama yang merupakan fitrah atau mengandung bawaan asalsifat insani; yang mula-mula menda’wa bagi membetul dan melengkapkan agama-agama lampau, khususnya agama Yahudi dan Kristen; yang mula-mula menggugat dan melabrak dasar-dasar akidah agama Kristen …. Kemudian gugatan serta labrakan batin terhadap agama Kristian itu disusuli segera dengan cabaran (tantangan) zahir yang merupakan perkobaran Islam, dalam masa sejarah yang sesingkat lebih kurang lima puluh tahun sahaja, laksana api yang merebak menjalar keluar dari tanah Arab ke Mesir; ke Afrika Utara (Al-Maghrib); ke Spanyol; ke Irak; ke Syria; ke Farsi; ke India dan China sehingga sampai juga ke Kepulauan Melayu-Indonesia ini!

Dalam masa hampir dua ratus tahun sesudah Hijratu’l-Nabiy (shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka jajahan dan kawasan Islam itu luasnya jauh lebih besar dari jajahan dan kawasan agama dan imperaturia mana pun dalam dunia, dan melingkungi kawasan-kawasan Eropa Barat dan Timur termasuk negeri Turki. Orang-orang Islamlah yang pertama mena’lukkan orang Barat; yang pertama memainkan peranan besar dalam menyanjung tinggi pelita ilmu pengetahuan ke Eropa dan dengan demikian menerangi suasana gelap gulita yang menyelubungi dunia Barat dewasa itu; yang pertama melangsungkan pembicaraan akliah menerusi ilmu kalam dengan para failasuf dan ahli teologi agama Kristen Barat ….

Pukulan zahir batin yang maha hebat yang telah dikenakan oleh Islam kepada agama Kristen dan Kebudayaan Barat itu tentulah terasa oleh hati sanubarinya bagai sebatan cemeti yang terlalu amat pedih menggeleparkan, hingga lalu memaksa meragut keluar dari dalam kunhi jiwanya satu laungan maha dahsyat yang ngilunya masih dirasai olehnya kini!

Shahadan, makasesungguhnya tiadahairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggapIslam sebagaibandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi. Dankita pun tahu bahawa tiadalah dapat Islam itu bertolak-ansur dalam menghadapi serangan kebudayaan Barat, justru sehingga kebudayaan Barat itu tentulah menganggap Islam sebagai seterunya yang mutlak; dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan kemenangannya dalam pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam belum dapat ditewaskan olehnya maka akan terus ada tanding dan seteru yang tiada akan berganjak daripada mencabar dan menggugat kedaulatan serta faham dasar-dasar hidup yang dida’yahkan olehnya itu.” (Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 16).

Al-Attas mengimbau agar kaum Muslimin tidak alpa dan lena dalam mengemban tugasnya sebagai umat Islam. Umat Islam tidak seharusnya secara bulat-bulatmenerima dan mengharapkan harapan yang sia-sia bantuan dan kerja sama sertapersahabatan yang ikhlas dari yang lain. Ia mengajak umat Islam merenungkan makna firman Allah dalam surah Al-Baqarah 120,

“Tiada akan orang Yahudi dan Kisten itu rela menerimamu melainkan kaujua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya. Katakanlah (oleh-mu): Sesungguhnya petunjuk Allah–itulah satu-satunyapetunjuk. Andai kata kaumengikuti hawa nafsu mereka, sesudah sampai kepadamu ilmu yang sebenarnya, maka tiada akan kau dapati bagimu pelindung mahupun penolong yang akan apat mencegah tindak balasan Allah.”

Diingatkan pula oleh Al-Attas dengan bahasa yang lugas: “Bukankah di zaman kita ini pun jelas bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen–yang keduanya menjelmakan sifat asasi kebudayaan Barat–memang tiada rela menerima baik seruan Islam dan kaum Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya?–menganuti sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan kebendaan, kenegaraandan keduniaan belaka.

Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah ilmu yang sebenarnya sudah sampai kepada kita? Maka mengapa pula kita membiarkan sahajanasib umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmupengetahuan dan juga para ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada sadar bahawa mereka sedang mengekori hawa nafsu kebudayaan Barat!

Mereka membayangi kebudayaan Barat dalam cara berpikir, dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham serta tujuan ilmu. Kepada kebudayaan Baratkah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah kelak? Waspadalah saudaraku Muslimin sekalian!” (Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 17-18).

Sebagai ulama yang memiliki tanggung jawab keilmuan dan penjagaan akidah dan eksistensi umat Islam, Naquib al-Attas menyerukan agar kaum Muslim–di samping memahami Islam dengan baik–juga memahami secaramendalam realita peradaban Barat. Ia mencatat bahwa, “Kebanyakan orang Islam belum lagi mengetahui dan mengenali apa dia sebenarnya kebudayaan Barat itu. Sebelum dapat kita mengukuhkan diri terhadap serangan yang ditujukan kepada kita oleh kebudayaan Barat maka perlulah bagi kita mengenali sifat-sifat asasi kebudayaan itu.”

Teori Al-Attas tentang sifat-sifat asasi peradaban Barat dan Islamtelah menarik banyak perhatian dunia internasional, baik kalangan Muslim maupun non-Muslim. Buku-bukunya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia memiliki pendirian yang kokoh dan tajam, meskipun harus memberikan kritik langsung terhadap peradaban Barat di depan para cendekiawan Barat itu sendiri. Ia memberikan kritik keras terhadap berbagai pendapat orientalis. Tetapi, ia juga tidak segan-segan berdiskusi dan bergaul dengan kalangan orientalis.

Sebagai contoh, perhatian terhadap teori Al-Attas adalah apa yang dilakukan oleh The MyerFoundation di Australia bernama “The Cranlana Program” yang menerbitkan dua volume buku berjudul Powerful Ideas: Perspectiveson theGood Society (2002). Buku ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarahumat manusia. Volume 1 buku ini memuat pemikiran:
Confucius (551-479 SM),
Sopocles (495-406 SM),
Thucydides (460-400 SM),
Plato 428-348 SM),
Aristotle (384-322 SM),
Mencius (371-289 SM,
St. Agustine (354-430 SM),
Xunzi (310-220 SM),
Nicolo Machiavelli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704),
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778),
Adam Smith (1723-1790),
Immanuel Kant (1724-1804),
Karl Marx (1818-1883),
Frederick Engels (1820-1895),
John Stuart Mill(1806-1873),
Harriet Taylor Mill (1807-1858).
Sedangkan volume 2 buku itu memuat pemikiran:
Simone Weil (1909-1943),
John Rawls (1921-),
Avishai Margalit(1939-),
Raimond Gaita (1946-),
R.H. Tawney (1880-1962),
Friedrich Hayek (1899-1992),
Milton Friedman (1912-),
Arthur Okun (1928-1980),
Rachel Carson (1907-1964),
Garret Hardin (1915-),
Isaiah Berlin (1909-1997),
Amartya Sen (1933-),
Nelson Mandela (1918-),
Marthin Luther King Jr. (1929-1969),
Virginia Woolf (1882-1941),
CarolGiligan (1936-),
J. Appleby,
E. Covington,
D. Hoyt,
M. Latham,
A. Sneider,
Edwar Said (1935-2003),
Syed Naquib al-Attas (1931-),
Kevin Gilbert (1933-1993),
Jean Paul Sartre (1905-1980),
Ummberto Echo (1932-),
Peter Singer (1946-),
Vaclav Havel (1936-),
Ursula Le Guin (1929-).
Dari sederetan nama itu, Al-Attas merupakan satu-satunya ilmuwan Muslim yang pemikirannya diambil sebagai reprensentasi dalam memandang Barat secara kritis. Menariknya, gagasan Al-Attas yang diambil adalah pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan berjudul “The Dewesternization of Knowledge”. (Jennifer M. Webb [ed.], Powerful Ideas: Perspektives on the Good Society [Victoria, The Cranlana Program, 2002]).

Dalam tulisannya itu, Al-Attas mencatat bahwa yang disebut sebagai Western Civilization adalah peradaban yang dibangun atas unsur-unsur budaya, filsafat, dan nilai-nilai Yunani dan Romawi Kuno, Judaisme, Kristen, dan tradisi sejumlah bangsa Eropa. Secara lebih sederhana, hakikat peradaban Barat dijelaskan Al-Attas dalam buku Risalah untuk Kaum Muslimin,

“Biasanya yang disebutkan orang sebagai kebudayaan Barat itu adalah hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropah dari kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian diadun pula dengan campuran kebudayaan Rumawi dan unsur-unsurlain dari hasil cita-rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropah sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa Jerman, Inggris, dan Perancis.

Dari kebudayaan Yunani kuno mereka telah meletakkan dasar-dasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengetahuan dan kesenian; dari kebudayaan Rumawi purbakala mereka telah merumuskan dasar-dasar undang-undang dan hokum serta ketatanegaraan. Agama Kristen, sungguhpun berjaya memasuki benua Eropah, namun tiada juga meresap ke dlaam kalbu Eropah. Justru sesungguhnya agama yang berasal dari Asia Barat dan merupakan, pada tafsiran aslinya, bukan agama baharu tetapi suatu terusan dari agama Yahudi itu, telah diambil-alih dan dirobah-ganti oleh kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan yang telah lama dianutnya sebelum kedatangan “agama Kristian”.

Mereka telah mencampuradukan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristian dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan dan Rumawi, dan Mesir dan Farsi dan juga anutan-anutan golongan Kaum Biadab.” (Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 18).

Dengan sifat dan posisi agama Kristen sebagai agama mayoritas bangsa Barat semacam itu, maka kebudayaan Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam hal ini, pandangan Al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid Quthb, Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendekiawan Muslim lainnya. Namun, pandangan Al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan sistematis, yaitu ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno, Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat. Dengan mengesampingkan agama dan menjadikan falsafah sebagai asas berpikirnya, maka tiada tempat dalam jiwa pengalaman mereka itu beragama sesuatu ketetapan mengenai keyakinan. Mereka hanya menegaskan dasar “teori”, yaitu ilmu pengetahuan atau hasil akal-nazari yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan dan pencapaian akal jasmani yang mungkin benar dan mungkin tidak benar. Maka dari itu, dasar ‘ilmu’ yang demikian dan sikap hidup yang menjadi akibatnya tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Sifat agama Kristen itu sendiri, yang problematis dalam asas-asas kepercayaannya, menurut Al-Attas, juga turut membentuk sikap peradaban Barat. Secara singkat, Al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi kebudayaan Barat:
(1) berdasarkan falsafah dan bukan agama,
(2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan faham panduan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta, dan
(3) kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragic. Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia. Al-Attas menjelaskan tentang konsep ‘Tragedi’ dalam peradaban Barat.

“Sedari zaman Yunani Kuno lagi kita lihat bahwa bangsa-bangsa Yunani itu menganggap tragedi sebagai satu unsur penting kehidupan manusia: bahwa manusia ini merupakan pelakon dalam drama kehidupan dan pahlawan-pahlawannyamembayangkan watak tragic. Faham tragedi kehidupan ini disebabkan oleh kehampaan kalbu akan nikmat iman.

Kehampaan iman ini adalah akibat dari falsafah panduan mutlak yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling bertentangan satu sama lain hingga menimbulkan syak serta ketegangan jiwa. Keadaan jiwa yang tiada tenteram ini mengakibatkan pula perasaan takut dan sedih menenangkan nasib dirinya. Keadaan jiwa yang tegang ini jugalah yang menganjurkan orang Barat, yang menyifatkan kebudayaannya, untuk mencari jawapan bagi soal-soal abadi, untuk giat berusaha menyelidik dan mengkaji dan mereka teori-teori baharu, mengemukakan masalah asal-usul alam dan manusia dan lain-lain renungan yang dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan–terus madang mencari dengan tiada akhirnya!

Pengembaraan dalam alam pikiran dan renungan yang tiada berakhir ini merupakan semangat kebudayaan Barat, dan sesungguhnya mereka tiada ingin mengakhirkan pengembaraan itu justru sebab pengembaraan itu sekurang-kurangnya meringankan beban kekosongan dan kesunyian kalbu, seolah-olah bagai penawar hati jiwa yangtegang. Semangat kebudayaan Barat itu membyangkan suatu yang ‘menjadi’ tetapi tiada juga ‘jadi’.” (Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 21-22).

Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, Al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia.

Dalam “Dewesternization of Knowledge”, Al-Attas mengungkapkan, bahwa sepanjang sejarahnya manusia telahmenghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Kekacauan itu, menurut Al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri.

Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut Al-Attas, pada hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olahbenar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam “The Three Kingdom of Nature”, yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral. Menurut Al-Attas, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekadar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat, dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Man is deified and Deity humanised. (Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspektives on the Good Society [Victoria, The Cranlana Program, 2002], vol. 2, hlm. 231-240).

Kritik-kritik Al-Attas terhadap karakteristik keilmuan Barat modern juga disampaikan saat konferensi internasional para filsuf pada Januari 2000 diUniversity of Hawaii. Konferensi inidiikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangsung selama dua minggu. Tiga ilmuwan terkenal: Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames mencatat bahwa paparan Al-Attas yang menyorot kesesuaian dan ketidaksesuaian antara tradisi Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam merupakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, yaitu tentang basis islami terhadap tujuan dan premis-premismoral dalam sains dan teknologi.

Ketika itu Al-Attas menyampaikan makalah bertajuk “Islam and the Challenge of Modernity: Divergence of Worldviews” Al-Attas menguraikan konsep-konsep pokok dalam epistemologi dan metafisika Islam, seperti konsep “religion”dalam Islam (ad-din), yang sumber tertingginya diambil dari Al-Qur’an. Ia juga menguraikan tentang konsep “the truth” yang tidak mengenaldikotomi “subjektif” dan “objektif”, sebagaimana dalam tradisi filsafat Yunani. Ia mengkritikkonsep desakralisasi alam ilmuwan sekuler, yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur Ketuhanan. Ia menekankan bahwa alam bukanlah entitas Ketuhanan, tetapi merupakan bentuk yang memanifestasikan Ketuhanan. Agama menentang desakralisasi, jika desakralisasi diartikan sebagai pembuangan semua makna spiritual dalam pandangan terhadap alam. Agama juga menentang desakralisasi yang diartikan sebagai pembatasan terhadap metode pemahaman manusia terhadap metode ilmiah yang diajukan oleh filsafat dan sains sekuler.

Paparan Al-Attas tentang konsep epistemologi dan metafisika Islam dan tantangan konsep Barat modern menunjukkan bahwa memang konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat sekuler merupakan tantangan terbesar bagikaum muslim saat ini. Karena itu, tentang Islam dan Barat, Al-Attas dengan tegas menyatakan secara konseptual bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen.

Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 231-248.

Oleh: Abu Annisa