1. Keutamaan Kota Madinah
Dari Jabir bin Samurah r.a., berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi Madinah dengan sebutan Taabah.’” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:1775 dan Muslim II:1007 no:1385) (riwayat yang semakna direkam dalam shahih Bukhari, kitab haji dalam bab al-Madinah Thabah Madinah dapat sebut Thabah (pent.))
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sesungguhnya Madinah bagaikan ubupan [alat tiup] tukang besi yang bisa melenyapkan orang-orang yang buruk, sebagaimana tiupan tukang besi melenyapkan kotoran besi.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:782 dan Muslim I:1005 no:1381)(Riwayat yang sema’na dengan ini terdapat juga dalam Shahih Bukhari, kitab Hajj bab Fadhlil Madinah Tanfin an-Naas’ bab keutamaan Madinah dan bahwa Madinah itu melenyapkan orang-orang yang buruk.’ (pent.).
2. Keutamaan Masjid Nabawi dan Keistimewaan Shalat di Dalamnya
Dari Abu Hurairah r.a. ia pernah informasi bahwa Nabi saw., ”Tidaklah pelana kuda diikat (untuk bepergian), kecuali ke tiga masjid: (pertama) masjid ini, (kedua) Masjid Haram, dan (ketiga) Masjidil Aqsh.,” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:63 no:1189, Muslim IIL1014 no:1397, ’Aunul Ma’bud VI:15 no:2017 dan Nasa’i II:37).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:63 no:1190, Muslim II:1012 no:1394, Tirmidzi I:204 no:324, Nasa’i II:35)
Dari Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Antara rumahku dengan mimbarku ada satu taman dari sekian banyak taman surga.” (Muttafaqun ‘alaih: III:70 no:1195, Muslim II:1010 no:1390, dan Nasa’i:35).
3. Adab Ziarah Masjid Nabawi Dan Kuburan Yang Mulia
Sejatinya afdhaliyah yang secara khusus diperuntukkan bagi Masjid Nabawi yang mulia, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha adalah semata-mata takrim ‘penghormatan’ dari Allah SWT terhadap ketiga masjid ini. Demikian pula keutamaan shalat di masjid-masjid yang lain. Oleh karena itu, barangsiapa yang datang ke sana tentu hanya datag dalam rangka ingin mendapatkan pahala yang berlipat-lipat dan demi memenuhi ajakan Nabi saw., di mana beliau menganjurkan agar kita memasang pelana kuda untuk berangkat dan ziarah ke tiga masjid yang mulia itu.
Sebenarnya tidak ada adab dan aturan khusus yang hanya berlaku bagi peziarah ke tiga masjid yang mulia ini, hanya saja ada keracunan persepsi yang menimpa sebagian orang, sehingga mereka menetapkan adab tertentu untuk ziarah ke Masjid Nabawi. Padahal kerancuan persepsi ini tidak akan terjadi, kalaulah sekiranya di dalam Masjid yang mulia ini tidak ada kuburan Nabi.
Agar orang Muslim mempunyai gambaran yang jelas lagi benar bila hendak ke Madinah dan ingin ziarah ke Masjid Nabawi, maka penulis kemukakan beberapa adab ziarah ke Masjid Nabawi:
- Apabila hendak masuk Masjid Nabawi, maka masuklah dengan mendahulukan kaki kananya, lalu mengucapkan do’a:, “Allahumma Shalli’alaamuhammad Wasallim, Allaahummaf Tahlii Abwaaba Rahmatik(Ya Allah limpahkanlah shalawat dan salam kepada (Nabi) Muhammad; yang Allah bukalah pintu-puntu rahmat- Muhammad bagi-ku!).” (Takhrij hadits sudah pernah dimuat pada pembahasan Do’a Ketika Akan Masuk Masjid).
Atau mengucapkan do’a, "'Auudzubillaahil’azhimwabiwajhihilkariim Wasulthaanihil Qadiim Minasysyaithaanir Rajiim (Aku berlndung kepada Allah Yang Maha Agung, kepada wajah-Nya Yang Maha Mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang tak berpemulaan, dari godaan syaitan yang terkutuk).” (Takhrij hadits ini telah termaktub dalam pembahasan Do’a Ketika Akan Masuk ke Masjid).
- Kemudian mengerjakan shalat tahiyyatul masjid dua raka’at sebelum duduk.
- Waspadalah, jangan sampai shalat menghadap kuburan Nabi yang mulia dan menghadap ke sana ketika berdo’a.
- Kemudian bergerak menuju kubur Nabi saw. untuk mengucapkan salam kepada beliau saw.; waspadalah, jangan sampai orang yang berziarah ke kubur Nabi saw. meletakkan kedua tangannya pada dadanya, menundukkan kepalanya, dan jangan pula bersikap merendah (menghinakan diri) yang hanya layak ditujukan kepada Allah serta jangan pula melakukan istighotsah, berdo’a meminta kepada Nabi saw. Kemudian ucapkan salam kepada Nabi saw. dengan redaksi salam yang pernah beliau ucapkan kepada mayat-mayat di makam Baqi’. Banyak redaksi salam yang secara sah bersumber dari Nabi saw. Di antaranya ialah, ”Assalaamu’ala ’Ahlid Diyaari – Minal Mukminiina Wal Muslimin, Wa Yarhamullaahul Mustaqdimiina Minna Wal Mustakhiriin, Wa Inna Insya Allaahu Bikum Lalaahikuun (Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada penghuni alam kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin, dan (mudah-mudahan) Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia di antara kita dan orang-orang yang akan meninggal dunia, dan sesungguhnya kami, insya Allah, pasti akan berjumpa dengan kalian). (Takhrij hadits sudah pernah dimuat pembahasan jenazah).
Di samping itu, ia mengucapkan salam juga kepada sahabat Abu Bakar dan Umar ra.
- Tidak termasuk adab yang masyru’ mengeraskan suara ketika berada di dalam masjid, atau ketika berada di dekat kubur Nabi saw. Maka hendaklah bersuara dengan suara yang lirih; karena adab yang harus diterapkan kepada Rasulullah saw. pada waktu beliau sudah meninggal dunia, seperti adab di waktu beliau masih hidup.
- Giatlah mengerjakan shalat berjama’ah dan berusaha untuk menempati’ di shaf pertama; karena hal itu mengandung keuntungan yang besar dan pahala yang melimpah.
- Jangan sampai semangat untuk shalat di raudhah menyebabkan tertinggal yang duduk di shaf-shaf pertama; karena shalat di Raudhah, sama sekali tidak memiliki keutamaan dibandingkan dengan shalat bagian yang lain dari Masjid Nabawi.
- Bukanlah dari sunnah Nabi saw. kesungguhan mengerjakan shalat di masjid yang mulia ini empat puluh kali shalat secara berturut-turut, hanya berdasar pada hadits yang terkenal di kalangan orang banyak, yang berbunyi, ”Barangsiapa mengerjakan shalat di masjidku ini ia empatpuluh (kali) shalat dengan lengkap, niscaya ia dicatat terlepas dari siksa api neraka, selamat dari adzab, dan terlepas dari sifat nifaq.” (Diriwayatian oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Adh Dha’ifah no:164. Beliau berkata, ”Hadits ini dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad III:155 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jemul Ausath II:125 no:1 berasal dari Zawa-idul Mu’jamain dari jalur Abdurrahman bin Abir Rijal dari Nubaith bin Amr dari Anas bin Malik secara marfu.” Thabrani mengatakan, ”Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas, kecuali Nubaith yang mana Abdurrahman meriwayatkan darinya secara sendirian.” Syaikhul Albani berkata lagi. ”Sunah ini dha’if, karena Nubaith adalah rawi yang tidak dikenal kecuali dalam meriwayatkan hadits ini.” selesai).
Padahal hadits termasuk dha’if, lemah, tidak shahih.
- Tidak disyari’atkan sering-sering pergi ke kubur Nabi saw. guna mengucapkan salam kepadanya. Salam kepada Rasulullah saw. dapat disampaikan di mana saja ia berada, walaupun ia berada di suatu daerah yang terpencil. Ia dan orang-orang yang berada di depan kubur Nabi saw. miliki hak dan peluang yang sama untuk mendapatkan pahala mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw..
- Manakala ia keluar dari Masjid yang mulia ini, janganlah keluar dengan berjalan sambil mundur, namun keluarlah dengan mendahulukan kakinya yang kiri seraya mengucapkan, ”Allahumma Shalli ’Alaa Muhammad, Allahumma Innii Asaluka Minfadhlik (Ya Allah mudahkanlah shalawat kepada Muhammad; ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada –Mu sebagaian karunia Mu).” (Takhrid hadits ini sudah ditampilkan pada pembahasan Do’a ketika akan Masuk Masjid).
4. Ziarah Ke Masjid Quba’
Disunnahkan bagi orang yang datang ke Madinah agar ziarah dan shalat di Masjid Quba’ demi mengikuti sunnah Rasulullah saw. Sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat berikut.
"Adalah Nabi ’alaihissalaatu wassalamu berjanji kepada dirinya sendiri hendak ziarah ke Masjid Quba’, baik dengan jalan kaki maupun naik kendaraan beliau datang ke sana pada hari Sabtu, lalu mengerjakan shalat di sana dua raka’at.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:69 no:1193 dan 1194, Muslim II:1024 no:1399, ’Aunul Ma’bud VI:25 no:2024, dan Nasa’i II:37).
Adalah Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian dating ke Masjid Quba’, lalu shalat di sana, maka baginya padahal seperti pahala umrah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1160, dan Ibnu Majah I:453 no:1412).
5. Ziarah Ke Baqi’ Dan Gunung Uhud
Baqi’ adalah makam kaum Muslimin di Madinah. Disana banyak sekali sahabat yang dikebumikan, dan senantiasa kaum Muslimin dikubur di sana hingga sekarang. Dan banyak juga diantara mereka yang dikubur di situ adalah orang-orang yang datang ke Madinah berambisi untuk meninggal dunia di sana supaya dikubur di Baqi’.
Dalam satu haditsnya, Rasulullah saw. Bersabda, "Uhud adalah sebah gunung yang cinta kepada kita dan kita pun cinta kepadanya." (Muttafaqun ’alaih : Fathul Bari VII:377 no:4083, dan Muslim II:1011 no:1393).
Di kaki bukit Uhud telah dikubur dari tujuh puluh syahid dari kalangan prajurit yang gugur sebagai syahid dalam peperangan yang berkecamuk di sekitar bukit tersebut, lalu perang termaksud dinisbatkan kepada bukit Uhud sehingga disebut perang Uhud.
Maka manakala ada seseorang bermaksud hendak datang ke madinah, lalu ingin berziarah ke Baqi’ atau ke syuhada’ Uhud, maka tidak terlarang, karena dahulu Rasulullah saw pernah mencegah kita dari ziarah dari kubur, kemudian mengizinkannya lagi agar kita mengingat akhirat dan mengambil pelajaran dari perjalanan hidup mereka. Namun, satu hal yang harus diperhatikan, jangan sampai kita meminta barakah kepada kuburan, atau meminta tolong kepada ahli kubur, atau meminta syafa’at kepada mereka untuk orang-orang yang masih hidup, atau bertawassul [menjadikan mereka sebagai perantara] guna mendekatkan diri kepada Rabb Dzat Pencipta seluruh hamba.
Tidak disyari’atkan bagi orang yang datang ke bukit Uhud menuju ke suatu tempat di bukit ini, yang kata orang sebagai tempat shalat Nabi saw. yaitu di kaki bukit ini, untuk mengerjakan shalat di situ, atau mendekati bukit Uhud dengan tujuan untuk mendapat barakah, atau mendaki “Bukit Rumat”.
Bukit Rumat adalah sebuah bukit kecil yang menurut sejarah di bukit ini ditempatkan 40 pasukan pemanah oleh Rasulullah saw pada waktu terjadinya perang Uhud demi mengikuti jejak para sahabat. Maka perbuatan ini dan yang semisal dengan ini termasuk bukan dari ajaran Islam; kecuali mengucapkan salam dan berdo’a untuk para syuhada. Bahkan perbuatan ini termasuk kategori perkara-perkara yang diadakan, yang dilarang dan yang dikecam oleh Nabi saw. Dalam kaitannya dengan masalah ini, khalifah Umar r.a. menegaskan, ”Sesungguhnya telah binasa umat-umat sebelum kalian hanyalah karena mereka (ambisius) untuk mengikuti [membuntuti] jejak para nabi mereka.”
maka cukuplah bagi kita peringatan keras Umar itu sebagai wejangan yang memuaskan dan meyakinkan.
6. Beberapa Tempat Ziarah
Ada sejumlah tempat yang lain di Madinah Munawwarah yang dikenal oleh masyarakat sebagai lokasi untuk ziarah, misalnya: tujuh masjid yang ada didekat lokasi perang Khandaq, Masjid Qiblatain, sebagain sumur, Masjid Ghamamah, dan beberapa masjid yang dinisbatkan kepada Abu Bakar, Umar dan Aisyah r.a.. Semua tempat-tempat ini, tidak ada dalil syar’i yang secara khusus menganjurkan berziarah kesana. Dan jangan sekali-kali orang yang berziarah ke sana menyangka bahwa ia akan meraih pahala berlipat, karena sejatinya mengikuti bekas-bekas peninggalan para nabi dan orang-orang shalih justru menjadi penyebab binasanya umat-umat sebelum kita. Jangan pula sekali-kali ia menilai baik orang-orang muslim yang menyalahi petunjuk Nabi Muhammad saw. dan arahan para sahabat beliau r.a. karena sesungguhnya kebajikan yang hakiki terdapat didalam petunjuk beliau dan di dalam arahan mereka r.a. sedangkan keburukan yang sebenarnya terpendam di dalam sikap menyalahi petunjuknya dan bimbingan mereka.
7. Dua Pengamatan Yang Amat Urgen
Pertama: Mayoritas jama'ah haji berkeinginan kuat untuk tinggal di kota Madinah Munawwarah lebih lama dari pada tinggal di Mekkah, padahal shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu kali shalat di masjid-masjid yang lain.
Adapun shalat di Masjid Nabawi, pahalanya sama dengan seribu kali shalat di masjid-masjid yang lain.
Perbedaan yang amat besar tentang keutamaan shalat di Mekah dengan shalat di Madinah, sepatutnya menjadi pemacu bagi jama’ah haji agar mereka tinggal di Mekkah lebih lama dari pada tinggal di Madinah.
Kedua: Kebanyakan dari jama’ah haji menduga bahwa ziarah ke Masjid Nabawi termasuk rangkaian manasik haji. Oleh karena itu, mereka antusias sekali untuk melakukanya sebagaimana antusias mereka ketika melaksanakan manasik haji, sehingga tidak sedikit yang berasumsi, bahwa andaikata seseorang menunaikan ibadah haji, lalu tidak sempat ziarah ke Madinah, maka mereka anggap hajinya kurang, tidak sempurna!!
Mereka, dalam hal ini, meriwayatkan hadits-hadits yang maudhu’, palsu. Seperti, ”Barang siapa menunaikan ibadah haji, lalu tidak sempat ziarah ke makamku, maka sungguh ia telah meremehkanku.”
Persoalan yang sesungguhnya tidaklah seperti apa yang mereka duga, ziarah ke Masjid Nabawi adalah suatu sunnah yang disyari’atkan oleh Rasulullah saw. supaya mengerjakan shalat di sana. Namun sama sekali tidak memiliki hubungan antara ziarah dengan manasik haji. Ziarah seorang jama’ah haji ke Masjid Nabawi tidak ada hubungannya dengan menjadikan ibadah hajinya menjadi sah, bahkan tidak pula menyebabkan hajinya sempurna; kerena ziarah kesana tidaklah termasuk rangkaian manasik haji. Namun ziarah ke Masjid Nabawi adalah di syariatkan secara tersendiri, tidak bertalian dengan pelaksanaan manasik haji.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 521 – 529.