Larangan-Larangan Yang Berlaku di Haramain, Mekkah Dan Madinah

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta selain keduanya disebutkan hadits sebagai berikut:

Dari Ubbad bin Tamim dari pamannya bahwa Rasulullah saw. bersabda,  ”Sesungguhnya (Nabi) Ibrahim telah mengharamkan Mekkah dan telah mendo’akan kebaikan untuknya; dan sesungguhnya aku telah mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Mekkah.”

Jadi, pengharaman dua tanah suci itu hanyalah berdasar wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada dua orang Nabi dan Rasul-Nya yang mulia. Oleh sebab itu, bila dikatakan Haramain maka maksudnya ialah Mekkah dan Madinah. Kata haram, secara syar’i, tidak boleh digunakan kecuali untuk keduanya saja. Tidak boleh ditujukan kepada Masjidil Aqsha, tidak boleh dialamatkan kepada Masjidil Haram, kecuali Mekkah dan Madinah. Ini adalah ketetapan syari’at yang mana akan manusia tidak berwenang campur tangan dalam penggunaan kata tersebut.

Ada sejumlah larangan yang berlaku di kawasan Haramain, tidak boleh dilanggar oleh penduduk yang tinggal di sana, atau oleh orang-orang yang datang ke sana dalam rangka menunaikan ibadah haji dan umrah atau untuk selain keduanya. Larangan-larangan termaksud ialah:

a.      Memburu hewan dan burung, atau mengusirnya atau membantu orang yang melakukan salah satu dari keduanya.

b.     Memotong tumbuh-tumbuhan dan duri, kecuali memang sangat dibutuhkan atau terpaksa.

c.      Membawa senjata tajam

d.     Memungut barang temuan di tanah Haram Mekkah bagi jama’ah haji yang berasal dari luar Mekkah. Adapun orang yang muqim di sana boleh memungutnya dan mengumumkannya. Perbedaan antara jama’ah haji dengan orang yang muqim dalam masalah ini sangat jelas. Selesai.

Menurut hemat penulis, dasar yang dijadikan acuan dalam menetapkan larangan-larangan tersebut adalah sabda Nabi yang beliau sampaikan pada hari penaklukan kota Mekkah:

”Sesungguhnya negeri ini diharamkan (yaitu dijadikan tanah suci) oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Ia menjadi tanah haram dengan pengharaman Allah hingga hari kiamat kelak. Tidak halal bagi seorangpun sebelumku mengadakan peperangan di negeri yang suci ini, dan tidak halal pula bagiku sendiri, melainkan hanya sesaat dari waktu siang belaka. Ia menjadi tanah haram dengan pengharaman Allah hingga hari kiamat nanti. Tidak boleh dipotong darinya, tidak boleh diusir binatang buruannya, tidak halal apa-apa yang ditemukannya disitu, kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya kepada khalayak ramai, dan tidak halal pula ditebang tanamannya yang hijau untuk dijadikan makam binatang yang ada disitu.”

Kemudian Abbas r.a. berkata, ”Ya Rasulullah saw., apakah tidak dapat dikecualikan tanaman idzhkir yang bisa dipergunakan oleh tukang besi untuk menyalakan api, dan untuk keperluan membuat rumah?” Maka sabda beliau, ”Ya benar, kecuali tanaman idzhkir.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV:46 no:1834, Muslim II:986, dan Nasa’i 203).

Dari Jabir r.a. berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw. bersabda, ”Tidak halal bagi seorang di antara kamu membawa senjata ke Mekkah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:7645, dan Muslim II:989 no:1356).

Dari Ali r.a. dari Nabi saw. bersabda (yaitu di Madinah),  ”Tidak halal ditebang tanamannya yang hijau untuk dijadikan makanan binatang ternak yang ada di Madinah, tidak boleh diusir binatang buruannya, tidak boleh dipungut apa-apa yang ada disitu kecuali orang yang hendak mengumumkannya (kepada masyarakat luas), tidak pantas seseorang membawa senjata ke sana untuk berperang, dan tidak patut juga ditebang pohonnya kecuali bagi orang yang hendak memberi makan untanya.” (Shahih Abu Daud no:179, dan ’Aunul Ma’bud VI:20 no:2018).

Syaikh Muhammad Ibrahim Syuqrah menegaskan, ”Barangsiapa yang melanggar salah satu dari sejumlah larangan ini, maka ia telah berdosa dan harus bertaubat serta beristighfar [memohon ampun) kepada-Nya. Kecuali orang yang berihram yang melanggar larangan berburu, maka disamping harus bertaubat dan beristighfar, juga wajib membayar dan [denda]. Selesai.

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.504-506.