Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan kean yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarah dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan orang-orang itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema’afkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kemali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya dan Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan) untuk menyiksa." (Al-Maidah:95). Mufassir kenamaan Ibnu Katsir dalam kitab tafsirannya II:98 menulis sebagai berikut, ”Ini adalah pengharaman dari Allah Ta’ala perihal membunuh binatang buruan pada waktu sedang berihram dan larangan mengambilnya pada waktu itu juga. Tahrim ’pengharaman’ ini, ditinjau dari sisi ma’na, hanya meliputi binatang buruan yang bisa dimakan dagingnya dan yang terlahir darinya serta yang selain darinya. Adapun binatang-binatang darat yang tidak bisa dimakan dagingnya, maka menurut Imam Syafi’i, orang yang berihram boleh membunuhnya. Sedangkan jumhur ulama’ memandangnya haram juga, tanpa terkecuali, melainkan beberapa binatang yang sudah digariskan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, melalui jalan as-Zuhri dari Urwah.
Dari Aisyiah, Ummul Mukminin r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda. ”Ada lima macam binatang yang liar yang halal dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah suci; (pertama) burung gagak, (kedua) burung rajawali, (ketiga) kalajengking, (keempat) tikus, dan (kelima) anjing buas.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV:34 no:1829, Muslim II:856 no:1198, dan Tirmidzi II:166 no:839).
Masih menurut Ibnu Katsir, “Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang berburu dengan sengaja atau dalam keadaan lupa, sama-sama wajib mendapat hukuman. Menurut az-Zuhri bahwa kitabullah menunjukkan kepada orang yang berburu dengan sengaja dan sunnah Nabi menunjukkan kepada orang yang berburu dalam keadaan lupa. Ini berarti memberi arti bahwa Al-Qur’an menunjukkan kepada wajibnya membayar denda atas orang yang berburu di tanah haram dengan sengaja dan ia berdosa karena tindakannya. Ini didasarkan pada firman Allah yang artinya. “Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatan-perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa.” Sedangkan Nabi saw. datang membawa hukum-hukum dari Nabi saw. dan hukum-hukum yang berasal dari pada sahabatnya tentang wajibnya membayar denda karena keliru, sebagaimana Kitabullah menetapkan kewajiban membayar denda bagi orang-orang yang melakukan tindak kesalahan dengan sengaja. Di samping itu juga, memburu binatang buruan adalah upaya perusakan, sedangkan upaya perusakan adalah sesuatu yang harus diganti dengan yang senilai, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak. Hanya saja orang yang melakukan tindak kesalahan dengan sengaja berdosa, sedangkan yang keliru tidak berdosa.”
Lebih lanjut Ibnu Katsir menulis, Firman Allah, "Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan binatang burun yang dibunuhnya", itu adalah dalil bagi Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa wajib membayar dendan yang semisal dengan binatang buruan yang dibunuh oleh orang yang sedang berihram. Adapun manakala tidak didapati binatang yang seimbang dan sejenis dengan binatang buruan tersebut, maka Ibnu Abbas ra menetapkan harus mengganti harganya, yang kemudian dibawa ke Mekkah, demikian menurut riwayat Imam Baihaqi sebagai berikut :
Dari Ikrimah, ia bertutur, Marwan pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., sementara kami berada di lembah al-Azraq, ”Bagaimana pendapat Anda perihal tentang buruan yang kami bunuh, lalu kami tidak mendapati binatang ternak yang seimbang sebagai gantinya?” Jawabnya, ’Kamu perhatikan berapa harganya, (lalu ganti), kemudian shadaqahkanlah kepada fakir miskin dari penduduk Mekkah!’ (Tafsir al-Qur’anul ’Azhim II:99). Selesai.
Beberapa Contoh Hukuman Yang Seimbang Yang Pernah Ditetapkan Nabi Saw Dan Para Sahabatnya
Dari Jabir r.a. berkata, saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw. perihal (memburu) sejenis anjing hutan. Maka jawab beliau, ”Ia adalah binatang buruan. Dan, ditetapkan dengan memburunya adalah satu ekor kambing gibas, bila diburu oleh orang yang sendang berihram.” (Shahih: Shaih Abu Daud no: 3226, dan ’Aunul Ma’bud X:274 no:3783).
Dari Jabir r.a. bahwa Umar bin Khattab r.a. pernah memutuskan dalam (memburu) sejenis anjing hutan (dendanya) satu ekor kambing gibas, dalam (memburu) kijang (dendanya) seekor kambing betina, dalam (memburu) kelinci (dendanya) seekor anak kambing betina, dan dalam (memburu) tikus betina dendanya satu ekor anak kambing yang berusia empat bulan (Shahih: Irwa-u; Ghalil no:1051, Muwatha’ Imam Malik hal. 285 no:941 dan Baihaqi V: 183).
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah menetapkan atas orang yang sedang berihram dan yang halal yang memburu merpati tanah haram, dalam setiap ekor merpati, dendanya satu ekor kambing.” (Shahih: Isnad: Irwa-ul Ghalil no:1056 dan Baihaqi V:205).
Ibnu Katsir r.a. dalam tafsirnya II:100 menulis, firman Allah SWT, “Yang dibawa sampai ke Ka’bah ini”, yaitu tiba di Ka’bah. Maksudnya ialah sampai ke tanah suci untuk disembelih di sana, dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada faqir miskin yang berdomisili di tanah haram. Hal seperti ini adalah termasuk perkara yang sudah disepakati.
Dan firman-Nya yang artinya, "‘Atau (dendanya) membayar kafara dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu", yaitu apabila orang yang berihram tidak mendapati binatang yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, atau binatang buruan yang dibunuh itu tidak bisa dibandingkan dengan binatang lainnya. Menurut saya, kata AU dalam kedudukan memberi arti bebas memilih antara membayar denda, memberi makanan dan berpuasa. Berdasar ma’na lahiriyah AU. Jadi binatang buruan yang dibunuh itu harus diperkirakan berapa nilainya, kemudian jumlah uang tersebut dibelikan makanan, lalu dibagi-bagikan kepada faqir miskin, tiap-tiap orang mendapat satu mud. Kalau ternyata orang yang bersangkutan tidak mampu memberi makan orang-orang miskin, maka sebagai alternatif terakhir ia harus berpuasa, untuk setiap orang miskin satu hari.” Selesai dengan sedikit perubahan.
Denda Jima’ Pada Waktu Menunaikan Ibadah Haji
Barang siapa yang berhubungan inttim pada waktu sedang menunaikan ibadah haji, sebelum bertahallul pertama, maka batallah
ibadah hajinya, sebagaimana telah dijelaskan, dan ia harus membayar denda satu ekor unta yang gemuk. Sebaliknya, siapa saja yang melakukan hubungan intim sesudah tahallul pertama dan sebelum tahallul kedua, maka ia harus membayar denda berupa seekor kambing, namun ibadah hajinya tidak batal, tetap sah.
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah ditanya perihal seorang laki-laki melakukan hubungan intim dengan isterinya ketika ia berihram, pada waktu berada di Mina sebelum melakukan thawat ifadhah, maka ia menyuruh laki-laki itu agar menyembelih seekor unta yang gemuk. (Shahih mauquf: Irwa-ul Ghalil no:1044 dan Baihaqi V:171).
Dari Amir bin Syu’aib dari bapaknya (yaitu Syu’aib), ia berkata, sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Amr, bertanya kepadanya tentang orang yang sedang berihram melelakukan hubungan intim dengan istrinya, lalu ia memberi isyarat agar menemui Abdullah bin Umar, yaitu ia berkata, ”Pergilah menemui orang itu [Abdullah bin Umar] lalu bertanya kepadanya!” Ternyata laki-laki itu belum mengenal beliau. Lalu saya antar dia kemudian (sesampainya disana), dia bertanya kepada Ibnu Umar ra (tentang kasus yang menimpa dirinya). Maka jawab Ibnu Umar, ”Hajimu batal.” Kemudian laki-laki itu bertanya (lagi), ”Lalu apa yang haru saya lakukan?” Jawab Ibnu Umar, ”Pergilah bersama jama’ah haji yang lain, dan lakukanlah apa saja yang mereka lakukan. Kemudian apabila engkau mempunyai kesempatan [di tahun depan], maka tunaikanlah ibadah haji dan sembelihlah binatang hadyu.” Kemudian di kembali menemui Abdullah bin Amr bersamaku, lalu dia menginformasikan jawaban Ibnu Umar itu kepadanya. Maka jawab Abdullah bin Amr, ”Pergilah ke Ibnu Abbas ra, lalu bertanyalah kepadanya!’ Lalu ia (Syu’aib) dan laki-laki itu berangkat menemui Ibnu Abbas, lantas dia menanyakannya kepadanya. Maka Ibnu Abbas memberi jawaban kepadanya sebagaimana jawaban Ibnu Umar. Lalu dia kembali menemui Abdullah bin Amr bersama saya, lantas dia menginformasikan jawaban Ibnu Abbas kepadanya kemudian di bertanya kepadanya, ”Laku bagaimana pendapat Anda?” Maka jawab Abdullah bin Amr, ”Jawabanku persis seperti jawaban mereka berdua.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil IV:234 dan Baihaqi V:167).
Dari Sa’id bin Jabir ra, bahwa ada seorang laki-laki memulai berihram bersama istrinya untuk umrah. Kemudian sang istri sudah menyelesaikan manasik umrahnya, kecuali memendekkan rambut. Kemudian dia mencampuri istrinya sebelum istrinya memendekkan rambutnya. Lalu dia bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai kasus tersebut, maka jawabannya, ”Sesungguhnya ia (istrimu yang benar-benar perempuan yang besar syahwatnya.” Kemudian ada yang berkata kepada sang suami, ”Sesungguhnya ia (istrimu) mendengar (jawaban Ibnu Abbas itu). ”Maka kemudian dia (laki-laki) merasa malu karena kasus itu. Kemudian Ibnu Abbas berkata, ”Mengapa kalian beritahukan kepadaku?” Dan, kepada sang istri, Ibnu Abbas berkata, ”Hendaklah engkau menyembelih binatang ternak sebagai dam!” Lalu sang isteri bertanya, ”Apa itu?” Jawab Ibnu Abbas, ”Hendaklah engkau menyembelih seekor unta, atau sapi betina, ataupun kambing!” Kemudian sang isteri bertanya lagi, ”Manakah yang lebih afdhal di antara tiga macam binatang ternak itu?” Jawabnya, ”Onta”. (Shahih: Irwa-ul Ghalil IV:233 dan Baihaqi V:172).
Barangsiapa yang tidak mendapatkan unta atau kambing, maka ia harus berpuasa tiga hari ketika menunaikan ibadah haji dan tujuh hari bila sudah kembali ke kampung halamannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah, "Maka bagi siapa saja yang mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) binatan hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika ia menemukannya, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu pulang kembali."(Al-Baqarah:196).
Yang afdhal mendahulukan puasa tiga hari sebelum tiba hari Arafah, jika yang bersangkutan tidak melakukannya, ia boleh berpuasa pada hari –hari Tasyik, berdasar pernyataan Ibnu Umar dan Aisyah ra:
”Tidak diberi keringanan berpuasa pada hari-hari Tasyik, kecuali bagi jama’ah haji yang tidak mendapatkan binatang hadyu.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1042
Hal.513 dan Fathul Bari IV:242 no:1997).
Tanbih ‘Peringatan’:
Dalam masalah ini, perempuan sama persis dengan laki-laki. Hanya saja seorang istri yang dipaksa oleh suaminya untuk melakukan hubungan intim, tidak wajib membayar denda dan ibadah hajinya tetap sah. Ini berbeda dengan ibadah haji suaminya yang memaksa mengajak melakukan hubungan suami istri itu. (Lihat Irsyadus Sari).
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas r.a. lalu bertutur,’(Wahai Ibnu Abbas), saya telah menggali isteriku sebelum aku melakukan thawaf ifadhah, kemudian Ibnu Abbas menjawab. ”Jika ia menyetujui ajakanmu, maka masing-masing di antara kamu berdua harus membayar denda berupa seekor unta betina yang bagus lagi menarik. Jika ia tidak menyetujui ajakanmu, maka engkau sajalah yang harus membayar berupa unta betina yang bagus lagi menarik.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1044 dan Baihaqi V: 168).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 509 -514.