Ibadah umrah termasuk ibadah yang paling agung dan upaya mendekatkan diri kepada Allah yang paling afdhal yang dengannya Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dan dengannya pula Allah menghapus kesalahan-kesalahan dari mereka.
Nabi saw. menganjurkannya baik melalui sabda dan perbuatannya. Rasulullah saw bersabda, ”Umrah (yang sekarang) sampai umrah (berikutnya) adalah penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:593 no:1773, Muslim II:983 no:1394, Tirmidzi II:206 no:937, Nasa’i V:125 dan Ibnu Majah II:964 no:2888).
Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda, “Kerjakanlah berturut-turut antara haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya dapat menghapus kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana halnya umpama tukang besi menghilangkan kotoran besi, emas dan kotoran perak.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:2899, Tirmidzi II:153 no:807, dan Nasa’I V:115).
Rasulullah saw. pernah berumrah dan para sahabatnya pun pernah berumrah bersamanya ketika Rasulullah saw. masih hidup dan sepeninggalan mereka berumrah lagi. (lihat Irsyadus Syar’i).
1. Rukun-Rukun Umrah
a. Ihram, yaitu niat hendak melakukan ibadah umrah.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (’Aunul Ma’bud VI:284 no:2186, Tirmidzi III:100 no:1698, Ibnu Majah II:1413 no:422, Nasa’i no:59).
b. Thawaf dan Sa’i.
Allah SWT menegaskan, “Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj:29).
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar
Allah ……….” (Al-Baqarah:158).
Rasulullah saw. bersabda, “Bersa'ilah; karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu melakukan sa’i!” (Teks Arab dan takhrijnya telah dimuat pada pembahasan haji).
c. Mencukur atau Memendekkan rambut:
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa yang tidak membawa binatang hadyu, maka hendaklah ia berthawaf di sekeliling Baitullah dan (melakukan sa’i) antara Shafa dan Marwah, dan hendaklah memendekkan rambutnya serta bertahalullah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:539 no:1691, Muslim II:901 no:1227, ’Aunul Ma’bud V:237 no:1788, dan Nasa’i V:151).
2. Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Umrah
Diwajibkan atas orang yang hendak berumrah memulai ihram untuk umrah dari miqat, bila ia bertempat tinggal di daerah sebelum kawasan miqat. Jika ia berdomisili di daerah sesudah kawasan miqat, maka ia harus memulai ihramnya dari tempat tinggalnya. Adapun bagi orang yang muqim di daerah Mekkah, ia wajib keluar ke daerah halal, lalu memulai ihramnya dari sana, karena Nabi saw pernah memerintahkan Aisyah ra berihram dari Tan’im. (Muttafaqun ‚alaih: Fathul Bari III:606 no:1784, Muslim II:880 no:1212,
Hal.517
‘Aunul Ma’but V:747 no:1979).
3. Waktu Umrah
Seluruh hari sepanjang tahun adalah waktu untuk melaksanakan umrah, hanya saja di bulan Ramadhan lebih utama daripada bulan-bulan lainnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw, “Berumrah di bulan Ramadhan, (pahalanya) menyamai ibadah haji." (Shahih: Shahihul Mami’ no:4097, Tirmidzi II:208 no:943, dan Ibnu Ma’bud II:996 no:2993).
4. Boleh Melaksanakan Umrah Sebelum Menunaikan Ibadah Haji
Kesimpulan kebolehan ini didasarkan pada riwayat berikut:
Dari Ikrimah bin Khalid ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar r.a. perihal berumrah sebelum menunaikan ibadah haji. Maka jawab Ibnu Umar r.a. pernah berumrah sebelum menunaikan ibadah haji.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:862, dan Fathul Bari III:598 no:1774).
5. Melaksanakan Umrah Berulang Kali (Lihat Irsyadus Sari)
Nabi saw. melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam rentan waktu empat tahun, dalam setiap safar beliau tidak pernah melakukan umrah lebih dari satu kali, dan begitu juga para sahabatnya ra.. Tidak pernah sampai informasi akurat kepada kami, bahwa ada seorang dari kalangan mereka pernah melakukan umrah dua kali dalam satu kali safar, baik pada waktu Rasulullah saw. masih hidup maupun sesudah beliau wafat. Kecuali ketika Aisyah r.a. datang bulan pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi maka Rasulullah saw memerintah saudara Aisyah yang bernama Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar Aisyah ke daerah Tan’im agar ia memulai ihram untuk umrah dari sana, karena ia menyangka bahwa umrah yang dilakukan berbarengan dengan haji, maka akan batal, sehingga kemudian ia menangis. Maka Rasulullah saw mengizinkan Aisyah melakukan umrah lagi demi memenangkan jiwanya.
Umrah yang dilaksanakan Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya, karena belum didapati satu dalil dari seorang sabahat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah setelah sebelumnya melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaimana yang telah dilakukan Aisyah ra. Andaikata para sahabat mengetahui bahwa perbuatan Aisyah tersebut disyari’atkan juga buat mereka setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, niscaya banyak sekali riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu. Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, ”Nabi saw. tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dipraktekkan banyak orang-orang sekarang. Padahal tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sabahat melakukan yang demikian itu.”
Sebagaimana tidak didapati riwayat yang sah yang menerangkan bahwa ada sebagian sahabat yang melaksanakan umrah berulang kali setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, maka tidak ada pula riwayat dari mereka yang menjelaskan bahwa mereka menunaikan ibadah umrah berulang kali pada seluruh hari di sepanjang tahun. Mereka menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah secara individu-individu dan ada pula yang secara berkelompok, mereka mengerti bahwa umrah adalah ziarah untuk melakukan thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shara dan Marwah, mereka mengetahui juga dengan yakin bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan dirinya dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, maka yang lebih utama mereka melakukan thawaf di sekeliling Baitullah. Dan, sudah dimaklumi bahwa waktu yang tersita dari orang yang pergi ke Tan’im untuk memulai ihram untuk umrah yang baru dapat ia manfa’atkan mengerjakan thawaf dengan ratusan kali keliling Ka’bah.
Thawus rahimahullah menyatakan, ”Orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, aku tidak tahu apakah mereka akan diadzab. Karena mereka meninggalkan thawaf di Baitullah dan pergi ke Tan’im yang berjarak empat mil, kemudian kembali lagi ke Mekkah yang kalau digunakan melakukan thawaf maka mampu melaksanakan thawaf sebanyak dua ratus kali. Jadi jelas sekali, bahwa thawaf di Baitullah jauh lebih afdhal daripada jalan-jalan yang tidak memiliki dasar pijakan yang kuat.
Jadi, pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umrah berulang kali, inilah yang ditunjukkan oleh sunnah Nabawiyah yang bersifat ’amaliyah dan ditopang oleh fi’il, perbuatan pun sahabat ra. Padahal Nabi kita ’alihissalam pernah memerintah kita agar mengikuti sunnah Beliau dan sunnah para khalifahnya sepeninggalan beliau. Yaitu Beliau saw. bersabda, ”Hendaklah kalian berpegang teguh sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku; hendaklah kalian mengigit dengan gigi gerahammu!” (Sunnah Abu Daud II:398 no:4607, Ibnu Majah II:16 no:42 dan 43, Tirmidzi V:43 no:2673, Ahmad VI:26, Takhrij hadits oleh Penterj).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 515 – 520.