Ulama al-Azhar meminta supaya Syaikh Abdurrahman al-Barrak menarik kembali fatwanya. Pasalnya, Syaikh Abdurrahman al-Barrak, menfatwakan akan bolehnya mengafirkan dan membunuh orang yang membolehkan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan). Permintaan itu bertujuan supaya agama Islam tidak dituduh ekstrim dan radikal. Fatwa ulama senior Saudi itu bertolak belakang dengan fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama al-Azhar. Ulama Azhar menfatwakan akan bolehnya laki-laki dan wanita bercampur baur, tapi dengan tetap memperhatikan etika dan syarat-syaratnya.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh Abdurrahman al-Barrak (21/2) juga sempat membuat ramai di Saudi. Pasalnya, beliau mengizinkan untuk membunuh orang yang membolehkan ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, baik di tempat kerja ataupun pendidikan.
"Boleh untuk membunuh orang yang membolehkan ikhtilath di tempat kerja ataupun pendidikan, karena orang tersebut telah telah murtad, kafir, dan wajib dibunuh," tegas Syaikh Abdurrahman Al-Barrak (77 thn) dalam websitenya.
"Barangsiapa yang menghalalkan ikhtilath maka berarti ia telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, dan barangsiapa yang meghalalkannya maka ia adalah kafir, dalam artian ia telah menjad murtad. Maka harus diberi pengetahuan dan ditegakkan hujjah atasnya, apabila ia kembali maka tidak dibunuh dan jika tidak maka ia wajib dibunuh," tambah beliau.
Selian itu, beliau juga mensifati lelaki yang membolehkan saudara perempuannya atau isterinya bekerja atau belajar dengan kaum laki-laki sebagai dayyuts, yaitu orang yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap keluarganya.
Fatwa Syaikh Abdurrahman al-Barrak Tidak berlaku
Di sisi lain, Syaikh Abdurrahman al-Atrasy mengomentari fatwa tersebut. "Bila fatwa Syaikh al-Barrak terkait bolehnya mengafirkan orang yang membolehkan ikhtilath disetujui, maka kami semua telah murtad dan kafir. Tapi, hal demikian tidak boleh. Sekalipun fatwa itu disetujui, tapi tidak akan diterbitkan karena secara umum fatwa tersebut bathil," komentarnya kepada alarabiya.net. "Ikhtilath antara laki-laki dan perempuan diperbolehkan secara syar'i selama dalam batasan-batasan dan etika dan juga ketika dalam keadaan dhorurat. Nabi saw. telah membai'at para wanita pada Sulhul Hudaibiyah, walaupun beliau tidak menjabati tangan mereka, tapi beliau keluar menemui serta melihat mereka dan mereke pun melihat beliau. Beliau pun mengisyaratkan kepada mereka dengan kedua tangannya. Ini adalah dalil qathi' akan bolehnya ikhtilath, akan tetapi harus sesuai etika dan adab-adabnya," tambah Syaikh al-Atrasy.
Terkait dengan bolehnya ikhtilath di tempat kerja dan pendidikan, Syaikh Abdurrahman al-Atrasy menyatakan, "Wanita tidak dilarang pergi ke tempat kerja apabila ia orang fakir dan miskin, ia butuh terhadap pekerjaan ini. Tapi, ia harus memperhatikan syarat-syaratnya dan hendaknya tidak memakai baju ketat dan parfum."
Fatwa beliau ini sejalan dengan Fatwa para ulama Azhar. Kepada alarabiya.net, Syaikh Abdullah Mujawir mengomentari fatwa Syaikh al-Barak, "Fatwa Syaikh al-Barrak adalah fatwa yang berani dan perlu untuk dikaji lagi. Hal itu karena hukum ikhtilath secara umum tidak haram. Wanita boleh keluar ke tempat kerja dan sekolahnya. Ini tidak masalah."
"Ikhtilath yang diharamkan adalah bila keluar dari batasan agama. Kami katakan, ikhtilath yang seperti inilah yang haram. Akan tetapi, tidaklah dikafirka orang yang melakukan ikhtilath. Karena takfir berarti telah menghukuminya keluar dari millah. Barangsiapa yang membolehkan ikhtilath dengan cara haram maka ia dihukumi pelaku maksiat, dan bukan kafir yang wajib dibunuh," tambahnya. (Aby/Ist/Fani)