1. Syarat Thawaf
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Thawaf di (sekeliling) Baitullah adalah seperti shalat, melainkan kalian sewaktu thawaf boleh berbicara, maka barangsiapa yang berbicara pada waktu itu, janganlah berbicara, kecuali yang baik.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:121, Tirmidzi II:217 no:267, Shahih Ibnu Khuzaimah IV:222 no:2739, Shahih Ibnu Hibban 247 no:998, Sunar Darimi I:374 no:1854, Mustadrak Hakim I:459 dan Baihaqi V:85).
Maka, manakala thawaf disamakan dengan shalat dalam beberapa hal, maka ia memiliki sejumlah persyaratan:
a. Suci dari hadats besar dan kecil
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. ”Allah tidak akan menerima shalat (yang dilaksanakan) tanpa bersih (sebelumnya).” (Redaksi hadits dan takhrijnya sudah pernah dimuat dalam pembahasan wudlu).
dan sabda beliau kepada Aisyah r.a. yang datang bulan ketika sedang menunaikan ibadah haji, ”Laksanakanlah apa yang dilaksanakan oleh seorang yang haji, kecuali [satu hal] janganlah engkau thawaf di Baitullah sehingga engkau mandi bersih (dari haidh).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:504 no.1650, dan Muslim II:873 no:117 dan 1211).
b. Menutup aurat
Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al-A'raaf: 31)
Dan berdasarkan hadits Rasulullah saw, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pernah mengutusnya pada waktu memimpin ibadah yang telah diperintahkan Rasulullah saw. sebelum haji wada’, pada hari Nahar [tanggal 10 Dzhulhijjah, pent.] bersama sejumlah sahabat untuk menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: Setelah tahun ini, tidak boleh (lagi) ada orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan telanjang bulat di Baitullah. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I:477 no:369, Muslim II:982 no:1347, ’Aunul Ma’bud V:421 no:1930, dan Nasa’i V:234).
c. Melakukan thawaf tujuh kali putaran sempurna, karena Nabi saw. melakukannya tujuh kali putaran, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Umar ra, ”Datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah tujuh kali putaran dan shalat dibelakang maqam Ibrahim dua raka’at, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali; dan sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian”. Dengan demikian perbuatan, Rasulullah saw. ini sebagai penjelasan bagi firman Allah Ta’la, ”Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al-Hajj:29).
Jika seseorang yang menunaikan manasik haji sengaja meninggalkan sebagian dari tujuh putaran, walaupun sedikit, maka tidak cukup baginya, dan ia harus menyempurnakannya. Jika dia ragu-ragu maka peganglah bilangan yang paling sedikit sehingga dia yakit.
d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dan berakhir di situ juga, dengan menempatkan Baitullah berada di sebelah kiri. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menjamahnya, kemudian berjalan di sebelah kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran [pertama, pent.] dan berjalan biasa empat kali putaran.”
jadi, andaikata seseorang melakukan thawaf, sementara Baitullah berada di sebelah kanannya, maka tidak sah thawafnya.
e. Hendaknya thawaf dilakukan di luar Baitullah. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua (Baitullah)." (Al-Hajj:29).
Firman Allah di atas meliputi seluruh thawaf. Kalau ada orang yang thawaf di Hijr Isma’il, maka tidak sah thawafnya, karena Nabi saw menegaskan, "Hijr Isma’il termasuk Baitullah." (Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704)
f. Harus berurutan langsung [tidak diselingi oleh pekerjaan lain, pengoreksi], karena Nabi saw. melakukannya demikian dan Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu." (Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704).
Jika terhenti sejenak untuk berwudlu’, atau untuk shalat fardhu yang telah dikumandangkan iqamahnya, atau untuk istirahat sejenak, maka tinggal melanjutkan kekurangannya. Namun jika terputus dalam waktu yang cukup lama, maka hendaklah ia memulai lagi dari awal.
2. Syarat-Syarat Sa’i
Untuk sahnya sa’i ada sejumlah persyaratan:
a. Sa’i dilakukan sesudah melakukan thawaf
b. Harus tujuh kali putaran
c. Dimulai dari bukit Shafa dan diakhir di bukit Marwah.
d. Hendaknya sa’i dilakukan di lokasi sa’i [mas’a], yaitu jalan yang memanjang antara bukit Shafa dan Marwah. Begitulah Nabi saw. mengerjakannya. Di samping itu, beliau bersabda, ”Ambillah dariku manasik hajimu.”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 494 — 497.