Larangan Terfitnah Oleh Harta dengan Memperbanyaknya dan Menyia-nyiakannya

Diriwayatkan dari Abu Dzar r.a, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang banyak itulah orang yang sedikit pada hari kiamat. Kecuali orang yang Allah anugerahi kebaikan, ia menginfakkan hartanya ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang,” (HR Bukhari [6443] dan Muslim [94]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Lihatlah kepada orang di bawah kalian dan jangan lihat orang di atas kalian. Dan itu yang lebih pantas agar engkau tidak meremahkan nikmat Allah’,” (HR Muslim [2963]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari saw. beliau bersabda, “Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba sutra, dan hamba beludru. Jika diberi dia suka dan jika tidak diberi ia marah,” (HR Bukhari [2886]).

Dan diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Iyadh r.a, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya bagi setia umat itu ada fitnah dan fitnah umatku adalah harta,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [2336]).

Diriwayatkan dari Ka’ab bin Malik r.a, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang dilepas mengejar seekor kambing lebih merusak daripada ketamakan seseorang terhadap harta dan kemuliaan yang dikejarknya dalam agama,” (Shahih, HR at0-Tirmidzi [2376]).

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a, dari Nabi saw, “Bahwasanya beliau melarang berlebihan-lebihan dalam harta dan keluarga.”

Kandungan Bab:

  1. Celaan memperbanyak harta, menyimpannya dan tidak menginfakkannya di jalan Allah. Karena hal itu akan menjadikan hatinya tertuju kepada dunia dan perhiasannya.
  2. Seorang muslim dalam urusan dunia dan harta, ia melihat kepada orang yang di bawahnya, supaya ia dapat mensyukuri nikmat Allah. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, disebutkan, “Apabila salah seorang dari kalian melihat orang yang diberi kelebihan harta dan rupa, maka hendaklah ia melihat orang yang di bawahnya,” (HR Bukhari [6490]).

    Adapun jika ia melihat kepada orang yang lebih banyak harta dan anaknya daripada dirinya, niscaya ia akan gelisah dan tidak mensyukuri nikmat ALlah Ta’ala. Bahkan ia akan menganggap remeh dan sepele.

  3. Harta adalah fitnah bagi umat ini. Dengan harta akan diketahui kebenaran iltizamnya, kebersihan hati dan keteguhan mereka memegang manhaj, atau salah seorang dari mereka menjuali agama dengan dunianya atau dunia orang lain. Karena jiwa itu sangat cinta kepada harta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan,” (al-Fajr: 20).

    Barangsiapa terkait hatinya kepada harta tanpa iltizam dengan takwa kepada Allah, maka ia akan dapat merusak harta benda dan anak keturunan. Dan mengutus apa yang telah Allah perintahkan untuk disambung.

  4. Syaikhul Islam berkata dalam al-Washiyatu ash-Shughra (hal: 55) yang telah aku tahqiq, “Hendaknya ia mengambil harta dengan kemurahan hatinya, agar ia mendapatkan berkah padanya. Janganlah ia mengambil harta dengan sombong dan rakus. Bahkan selayaknya harta itu dalam pandangannya seperti jamban. Ia membutuhkannya namun jamban itu sama sekali tidak mendapat tempat dalam hatinya. Dan usahanya untuk membaguskan harta adalah seperti usahanya untuk memperbaiki jamban.”
  5. Janganlah seorang hamba menjadikan harta sebagai illah dalam kehidupannya. Ia mengejar keridhaannya dan berangan-angan mendapatkannya.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/393-395.