Larangan Mengatakan “Kata Orang-Orang”

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud atau Hudzaifah al-Yaman r.a, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sejelek-jelek kendaraan seseorang adalah selalu mengatakan za’amu (orang-orang mengatakan),” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [762]).

Kandungan Bab:

  1. Al-Khathabi berkata dalam kitabnya Ma’alimus Sunnan (VII/266), “Pada asalnya, makna hadits adalah seorang yang ingin berangkat untuk suatu kebutuhan dan berjalan ke suatu daerah dengan menggunakan kendaraan hingga kebutuhannya itu tercapai. Lalu Rasulullah saw. mengumpamakan seorang yang menggunakan kata za’amu (orang-orang mengatakan) untuk mencapai apa yang ia maksud dengan kendaraan yang dapat membawanya ke tempat yang ia tuju atau yang ia maksud. Kata za’amu (orang-orang mengatakan) digunakan untuk berita yang tidak ada sandarannya dan tidak jelas kebenarannya. Yaitu hanya berita yang tersebar dari mulut ke mulut. Oleh karena itu Rasulullah saw. mencela penyampai berita seperti ini dan memerintahkan untuk meneliti kebenarannya terlebih dahulu serta meyakini kebenaran berita yang ia sampaikan. Oleh karena itu janganlah ia menceritakan berita tersebut hingga ia cek kebenarannya dan ia dapati dari orang yang dapat dipercaya.”

    Al-Baghawi juga mengatakan hal yang sama dalam kitabnya Syarhus Sunnah (XII/362).

  2. Ath-Thahawi dalam kitabnya Musykilul Atsar (I/174) berkata, “Kami tidak mendapatkan kata za’ama dalam al-QUr’an kecuali menceritakan tentang orang-orang tercela yang melakukan perkara yang tercela. Diantaranya firman Allah SWT, ‘Orang-orang kafir menduga bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan,’ (At-Taghabun: 7).” Kemudian ia menyebut beberapa contoh.

    Kesimpulan semua ini bahwa apa yang diberatakan Allah tentang orang-orang tercela yang berada dalam kondisi tercela dan perkataan mereka yang berdusata terhadap Allah SWT, maka merupakan suatu hal yang dibenci jika seseorang yang meniru moral orang-orang tercela, agama orang-orang kafir dan ucapan para pendusta.

    Orang-orang beriman hendaknya mengutamakan mencontoh akhlak orang-orang mukmin yang telah lebih dahulu beriman dan memiliki madzhab yang terpuji, perkataan yang benar dan mereka itu telah mendapat pujian dari Allah. Semoga Allah meridhai dan merahmati mereka.

  3. Tidak ada pertentangan antara hadits yang lalu dengan hadits yang di dalamnya tercantum kata za’ama sebagaimana hadits Ummu Hani’, “Anak ibuku mengklaim telah membunuh seorang yang telah aku sewa,” (HR Bukhari [6158]).

    Ucapan Ummu Hani’ itu ditujukan kepada Ali dan tidak diingkari oleh Rasulullah saw. Demikian juga pada hadits Dhammam bin Tsa’labah r.a, “Utusanmu za’ama (menyampaikan)…” (HR Bukhari [63] dan Muslim [12]).

    Sibawih juga banyak menggunakan kata ini di dalam bukunya untuk sesuatu yang ia setujui, “Za’ama al-Khalil (mengatakan),” (Lihat Fathul Baari [X/551).

    Maksud hadits di atas adalah dilarang memperbanyak penggunaan kata za’ama tanpa meneliti terlebih dahulu. Jika hal tersebut terjadi pada diri seseorang berarti ia tidak akan selamat dari perkataan dusta dan sangkaan. Sebab kebanyakan kata ini digunakan untuk sesuatu yang tidak ada asal usulnya dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Allahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/273-275.