Larangan Mencaci

Diriwayatkan dari Abu Jurray Jabir bin Salim r.a, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah engkau mencaci siapapun.” Ia berkata, “Maka mulai saat itu aku tidak pernah lagi mencaci baik orang merdeka, budak, unta, maupun kambing.” Dan beliau bersabda, “Jangan engkau sepelekan perbuatan baik walaupun sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah yang berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah engkau melakukan isbal, sebab isbal itu merupakan perubatan sombong. Apabila ada seseorang yang mencela da n mencacimu dnegan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya, sebab akibat buruknya hanya akan menimpa dirinya sendiri,” (Telah ditakhrij pada bab sebelumnya).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau meengatahui tentangnya. Sebab dengan itu engkau mendapat pahala sedang ia akan mendapat akibat buruknya,” (Shahih lighairihi, HR al-Manawi dalam kitab Faidhul Qadir [I/372]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Mencaci seorang muslim adalah perbuatan fasik dan memeranginya adalah peruatan kufur,” (HR Bukhari [48] dan Muslim [64]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang saling mencela menurut apa yang mereka katakan sedang dosanya ditimpakan kepada orang yang memulai terlebih dahulu, kecuali apabila orang yang dicaci membalas melebihi apa yang dikatakan oleh orang yang memulai,” (HR Muslim [2587]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya mencela seorang muslim dan menjadi fasiq bagi orang yang mencaci tanpa alasan yagn benar.
  2. Apabila seseorang mencela dan mencaci dengan sesuatu yang ia ketahui tentangmu maka janganlah engkau balas dengan hal yang sama. Agar ia menanggung dosamu dan dosanya sendiri.
  3. Orang yang terzhalimi tidak mendapatkan dosa selama ia tidak melewati batas dan tidak memberi balasan melebihi celaan yang dikatakan kepadanya. Namun siapakah yang mampu menahan diri disaat ia membukakan peluang untuk syaitan, kecuali orang yang dipelihara dan dirahmati Allah hanya saja orang seperti itu sangat sedikit.
  4. Apabila orang yang dicela membela diri dengan membalas celaan tersebut berarti imbaslah sudah dan orang yang mencela terlepas dari beban, yang tinggal hanyalah dosa akibat ia yang memulai.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/270-271.