Para Ulama yang Mengetahui Ilmu yang Tidak Diketahui Orang-orang Pada Masanya

Ulama Baca

Jika kamu merasa heran, maka akan lebih mengherankan lagi jika kamu membaca biografi para ulama, keluasan ilmu dan variasi ilmu yang mereka kuasai. Bahkan, hal ini dipertegas dengan pernyataan sebagian ulama terhadap ilmu yang tidak diketahui oleh penduduk negerinya, walau hanya sekadar namanya. Berikut di antara pernyataan mereka:

  1. Ibnul Khasysyab An-Nahwi Al-Hanbali (w. 567 H) menyatakan, “Saya menguasai delapan macam ilmu. Tidak pernah seorang pun menanyakan ilmu tersebut dan tidak ada yang menguasainya selain diriku.”
  2. Abul Baqa’ As-Subki (w. 777 H) mengatakan, “Saya menguasai dua puluh ilmu. Tidak pernah seorang pun di Kairo ini yang menanyakannya.”
  3. Muhammad bin Abu Bakr bin Jama’ah (w. 819 Η) menuturkan, “Saya menguasai lima belas macam ilmu yang namanya tidak diketahui oleh para ulama pada zamanku.”
  4. Menurut sebuah riwayat, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Alim Al-Maliki (w. 842 H) mengatakan, “Saya menguasai dua puluh ilmu. Tidak pernah seorang pun bertanya kepadaku mengenainya.”
  5. Ahmad Bu Nafi’ Al-Fasi (w.1260 H) menuturkan, “Saya menguasai dua puluh empat macam ilmu. Tidak pernah seorang pun bertanya kepadaku mengenainya.”
  6. Dalam biografi Abu Thayyib Abdul Mun’im Al-Kindi (w. 435 H), beberapa orang menceritakan pertemuan mereka dengannya. Menurut mereka, Abu Thayyib menguasai dua belas macam ilmu dan mempunyai tulisan tentang matematika, teknik dan ilmu-ilmu kuno.
  7. Perhatikanlah cerita sejarawan Al-Jabarti tentang orang tuanya Al-Allamah Hasan Al-Jabarti senior (w. 1188 H) yang menguasai ilmu-ilmu syar’i. Kemudian, Al-Jabarti senior mengasingkan diri selama sepuluh tahun (1144-1154 H) untuk mempelajari sains, seperti teknik, kimia, ilmu falak sampai ilmu pemetaan, ilmu pengolahan besi, ilmu pengalengan, ilmu penjilidan, ilmu pahat dan ilmu pengukuran. Rumah Al Jabarti pun penuh dengan perabotan dan peralatan.
  8. Dalam bukunya Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din, Al-Mawardi menasihati muridnya, “Jangan pernah merasa puas dengan ilmu yang telah engkau ketahui. Sebab, perasaan puas seperti itu menunjukkan kurangnya perhatian terhadap ilmu. Kurangnya perhatian terhadap ilmu akan mendorong seseorang meninggalkan ilmu. Apabila seseorang meninggalkan ilmu, maka dia pun menjadi bodoh.”

Sebagian ahli hikmah berkata, “Carilah dan perbanyaklah ilmu. Sebab, sedikit ilmu itu identik dengan sedikit kebaikan, sedangkan banyak ilmu identik dengan banyak kebaikan. Hanya orang yang sedikit ilmu yang berani mencela kebaikan. Adapun orang yang banyak ilmu, dia tentu selalu mengharapkan kebaikan.”

Di antara faedah komitmen dalam mencari dan menambah ilmu adalah seperti yang disampaikan oleh Ibnul Jauzi dalam bukunya Shaidul Khatir, “Perkara paling utama adalah mencari tambahan ilmu. Sebab, orang yang membatasi ilmunya dan merasa cukup dengannya pasti akan keras kepala. Perasaan superiornya akan menghalanginya dari mendapatkan manfaat. Dengan belajar, seseorang dapat mengetahui kesalahannya.”

Sumber: Gila Baca Ala Ulama, Ali bin Muhammad Al-Imran, Pustaka Arafah, Hal 34-37.