Seorang laki-laki berkisah, “Batas waktuku tinggal di Britania (Inggris) hampir habis. Visa yang aku miliki dalam pekan ini juga hampir tidak berlaku lagi. Semestinya aku memperpanjang visa itu di Departemen Dalam Negeri, dan itu akan mudah apabila segala persyaratan sudah dipenuhi.
Aku pun mulai mempersiapkan segala keperluan dan berbagai hal yang mestinya dilakukan ketika hendak memperpanjang masa tinggal di negeri orang. Akan tetapi, kesibukan itu menjadikanku sering lalai, sehingga untuk mengurus perpanjangannya, selalu saja tidak sempat.
Hingga akhirnya datang surat teguran dari pihak keamanan agar aku segera mengurusnya ke kantor yang bersangkutan. Jika itu tidak dilakukan maka status tinggalku menjadi ilegal.
Aku menyimpan surat-surat penting itu ke dalam plastik kecil supaya tidak mengundang perhatian orang-orang jahat. Aku memegangnya erat-erat; karena apa yang ada di dalam plastik itu adalah sesuatu yang paling berharga bagi seorang berkebangsaan Palestina yang tinggal di negara asing.
Aku pergi untuk suatu keperluan, karena waktu masih pagi. Aku menuju ke kantorku, Himpunan Mahasiswa Muslim. Sesampai di sana, seperti biasa aku turun dari mobil dan mengucap basmalah untuk memasuki kantor. Akan tetapi, aku merasa ada keganjilan yang tidak biasanya. Kudapati pintu tengah telah lepas dan terlempar ke lantai. Dari situ aku mengetahui bahwa tadi malam telah terjadi pencurian sehingga beberapa barang dan berkas-berkas telah hilang dari tempatnya. Aku terduduk lemas di atas kursi. Lalu, aku mencari telepon, barangkali masih ada; aku pun menemukannya. Kemudian, aku menelepon pihak keamanan yang biasa memeriksa kantor kami secara rutin.
Aku dan beberapa teman mencoba membereskan sisa-sisa barang yang rusak. Setelah segalanya agak beres maka aku pun pulang ke rumah dan lupa akan semua hal yang berkaitan dengan paspor dan urusan tempat tinggal. Hal itu baru kuingat pada hari kedua setelah peristiwa pencurian di kantorku. Maka, aku bermaksud untuk segera mengurusnya. Mulai kucari berkas-berkas penting milikku dan keluarga yang kusimpan di dalam plastik kecil. Kucari di mobil, di rumah, di kantor, dan bertanya kepada keluarga, tetapi belum juga aku temukan. Mulai timbul waswas dalam diriku, aku berpikir jangan-jangan berkas itu diambil oleh pencuri saat kuletakkan sembarangan.
Aku mulai membuka satu per satu ruangan yang ada di kantor, namun tidak juga aku dapati. Aku pun masuk ke dalam mobil dan pada setiap sudutnya kuperiksa, namun juga tidak ada. Aku berjalan dengan mobil melihat dan memeriksa di jalanan. Di sana ada penjaga garis perbatasan Zionis yang menggeledah mobil orang-orang Palestina. Tetapi, di sepanjang jalan itu juga tidak aku temukan.
Saat itulah aku berdoa kepada Allah dan terus mengulang doaku. Tidak ada yang bisa aku lakukan, kecuali mengabarkan kepada pihak terkait agar bisa memberiku keluasan, dan kami diberi waktu satu minggu… dan bertambah satu minggu lagi. Sampai akhirnya datang lagi surat yang memaksaku harus datang ke kantor yang ditunjuk pada hari dan jam yang telah ditentukan. Aku merasa tidak ada jalan lain setelah itu, kecuali mengharap rahmat Allah turun.
Hari itu pun datang maka aku bersiap menuju kantor pihak terkait, tetapi aku terlambat karena harus menyelesaikan pekerjaan yang ada di Kantor Himpunan Mahasiswa Muslim. Saat itu terlintas dalam benakku, ‘Kenapa aku tidak shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengeluarkanku dari kesulitan ini.’ Waktu itu adalah waktu Dhuha, aku mulai melakukan shalat. Di dalam sujud kuserahkan masalah ini kepada Rabb- ku, mengadu dari lubuk hati yang paling dalam, mengharap kasih sayang Allah, agar Dia mengeluarkanku dari kesulitan dan menunjukkan kantong plastikku yang hilang.
Segala cara untuk mendapatkan pertolongan telah terputus, kecuali pertolongan Allah. Aku kemudian mengangkat kepala dari sujud dan duduk tasyahud. Aku merasa sekujur tubuh dan hatiku tenang, di mana kondisi ini sudah lama hilang dariku.
Saat aku mengakhiri shalat, salam ke kanan dan salam ke kiri, tiba-tiba aku melihat kantong plastik itu. Aku melihatnya antara percaya dan tidak, sehingga mataku terpana tak berkedip melihat bungkusan itu. Segera aku menyambarnya, kumasukkan tanganku ke dalam bungkusan itu, dan segala puji bagi Allah, kudapati apa yang kucari, masih utuh di dalam plastik. Ya…itulah barang yang aku cari… Aku letakkan plastik itu di sampingku dan aku sujud di atas sajadah shalat, sebagai wujud rasa syukur yang tiada tara kepada Rabb semesta alam.
Tak henti-hentinya lisanku memuji Allah dan menyanjung- Nya. Hingga tak terasa air mata saya menetes membasahi sajadah. Aku bertanya dalam hati, “Kenapa hal ini tidak kulakukan sejak kemarin.”
Setelah suasana menjadi tenang barulah aku ingat bahwa ketika aku melihat kondisi kantor yang baru saja disatroni pencuri, aku melemparkan kantong plastik itu di sampingku begitu saja. Saat aku membereskan barang-barang, kantong plastik yang kucari itu pun tertindih olehnya. Alhamdulillah.”
Sumber: Lihat Majalah Al-Mujtama’ edisi 1450, 19 Shafar 1422 dengan judul tersebut, ditulis oleh Majdi ‘Aqil Abu Syamalah. Dari buku Tak Ada yang Mustahil dengan Doa, Khalid bin Sulaiman Ar-Rib’i, Pustaka Arafah, Hal 90-93.